Part 7

1956 Kata
Jauh dari perkiraan Nayara. Waktu satu bulan yang dimaksud Devon, justru hanya berlaku dua Minggu saja. Pria itu sudah mendesak agar mereka bisa menikah. Meskipun tak meriah, tapi cukup untuk memberi tahu semua orang kalau mereka sudah sah menjadi sepasang suami istri. Devon berdalih tidak ada yang bisa menjamin Nayara setia kepadanya karena tak ada lagi yang menjaganya sang ibu sudah tiada, sang ayah pun sibuk dengan rumah tangganya yang baru. Awalnya Nayara menolak. Tapi, dengan bujukan dari Devon akhirnya Nayara setuju juga. Sehingga mereka menikah dua minggu setelah ibunya Nayara meninggal dunia. Cukup tak adil. Disaat ia berduka Devon malah memaksanya untuk menikah. Tidak tahu mesti sedih atau bahagia, terlebih lagi sang ibu tidak pernah memberikan restu untuk mereka berdua. Bahkan, kata yang terucap lebih mirip kutukan daripada peringatan. Namun, takut kehilangan tetap menuntun Nayara melangkah. Menerima tawaran Devon untuk menikah dan kini pesta pernikahan itu sudah selesai dipersiapkan. Semua tahu undangan telah datang dan hadir untuk memberikan selamat kepada mereka berdua. Atas pernikahan dadakan yang berlangsung di atas duka yang dialami Nayara. Acara yang berlangsung tidak terlalu meriah. Tamu yang datang hanya berasal dari teman Nayara. Keluarga besar kedua mempelai, dan rekan dari orang tua mereka. Hanya itu saja. Untuk teman Devon, hanya beberapa saja, karena pria itu berdalih kebanyakan dari temannya tengah sibuk. Pernikahan dadakan begini tidak cocok untuk mereka yang membenamkan diri di dalam pekerjaan. Meskipun merasa ada yang disembunyikan Devon, Nayara tetap percaya dengan segala kata yang terucap dari bibir kekasih yang kini telah resmi menjadi suaminya. Bahkan Nayara menurut saja saat Devon mengatakan bulan madu mereka hanya sebatas menginap di sebuah hotel bintang lima. Sisanya, Devon berjanji akan mencari waktu yang tepat untuk pergi liburan. Entah itu keluar kota atau sejenisnya. Katanya, untuk pergi liburan dan berbulan madu Devon butuh pengajuan cuti jauh-jauh hari. Ia juga mengatakan tidak bisa asal libur tanpa persiapan apapun. Padahal sebelum menikah Devon mengatakan sudah mempersiapkan semuanya. Saat Nayara bertanya, apakah benar tidak akan mengganggu jika mereka menikah secara mendadak? Devon menjawab, “Tidak apa. Aku sudah mengatur semuanya.” Namun, setelah mereka berdua sudah sah menjadi suami istri, Devon justru mengatakan harus kembali bekerja lusa. Benar-benar sangat mengejutkan. Meskipun begitu, Nayara tetap menerima segala alasan yang Devon berikan. Sehingga ia memiliki niat untuk tampil sebaik mungkin di depan Devon. Layaknya seorang pengantin wanita yang tengah mempersiapkan diri untuk menyambut sang suami yang kini tengah mandi. Dengan jantung yang berdetak kencang, Nayara membuka paket yang baru saja diantarkan oleh kurir. Nekad, ia memesan sebuah lingerie untuk menggoda Devon. Ah, tepatnya memanjakan Devon nantinya. Cukup gugup saat menerima paket, tapi Nayara tetap bisa mengendalikan dirinya di depan Devon yang baru saja keluar dari kamar mandi. Pria itu tampak segar dengan rambutnya yang masih basah. "Aku sudah mempersiapkan pakaianmu di sandaran sofa, aku mandi dulu," ucap Nayara seraya masuk ke kamar mandi Tanpa menoleh sedikitpun ke arah Devon, demi menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah. Membayangkan bagaimana saat melakukan hubungan suami istri dengan Devon. Cukup lama Nayara menimbang. Berpikir sejenak sebelum benar-benar keluar dengan lingerie biru muda yang begitu tipis dan pendek. Tidak sanggup menutupi tubuh rampingnya, yang putih dan mulus. Perlahan Nayara keluar dari kamar mandi, berjalan mendekat ke arah Devon yang duduk bersandar di kepala ranjang. Nayara berkeringat dingin, maka lebih dingin lagi Devon yang telah duduk di ujung ranjang. Paling ujung agar tidak bisa melihat kulit mulus Nayara yang kini tengah duduk di ujung satunya. Gadis itu tampak salah tingkah, dengan mengalihkan perhatian pada ponsel yang ada di tangannya. Tidak tahu kini Devon sedang panas dingin melihat paha mulusnya, Nayara tetap saja menatap ponsel. Membuka satu persatu foto yang ada di galeri ponsel. Entah berpengaruh atau tidak. Yang jelas baginya itu cukup ampuh sebagai pengusir rasa gugup. Dan karena itulah Nayara baru tahu bagaimana gugupnya menggoda suami sendiri. Sedangkan Devon. Langsung berbaring dan menutup tubuhnya dengan selimut agar Nayara tidak melihat dirinya yang mulai menonjol di balik celana katun selutut yang ia kenakan. Meskipun sudah sah, tetap saja ini sangat sulit dijalani. Pria itu juga menggunakan tangannya untuk menutup mata, agar Nayara tak melihat matanya yang dipaksa terpejam. Disisi lain, Nayara melirik Devon. Jantungnya berdegup kencang memikirkan bagaimana caranya untuk menarik Devon agar mau menyentuhnya Meski mereka sudah resmi menikah, tapi Devon tidak ada sedikitpun niat untuk mendekat. Apalagi melakukan malam pertama. Ternyata semuanya tidak semudah yang Nayara pikirkan. Devon yang berusaha abai pun semakin membuatnya salah tingkah. Haruskah aku yang memulai? pikir Nayara dalam hati. “Dev, bolehkah aku meminjam tanganmu?” tanya Nayara gugup. Sedikit beringsut mendekati Devon yang sedang berusaha menidurkan adik kecilnya. “Tangan? Untuk apa?” sahut Devon. Dengan berat hati menoleh ke arah Nayara yang kini telah dekat dengannya. Dan betapa Devon tersentak melihat dua benda bulat padat yang menggantung, karena kini Nayara tengah merangkak, mendekat. “Mau aku genggam. Lalu aku foto dan jadikan status di media sosial.” Sama gugup dan panas dinginnya, Nayara kini sudah duduk di samping Devon. Ia sengaja menekuk satu kakinya, dan menopang dagu di lutut. Semua dilakukan agar Devon bisa melihat dengan jelas seonggok daging merah muda yang begitu mulus. Tangan Devon bergetar. Mendekat pada Nayara yang menengadahkan tangannya. Agar mereka saling menggenggam satu sama lain. Sesuai keinginan Nayara tadi, gadis itu menggenggam dan memfoto tangannya dengan Devon. Menjadikan foto tersebut sebagai foto profil sekaligus status di seluruh media sosial miliknya. Dan rasanya Devon ingin meremas dan menyesap benda bulat yang tiba-tiba saja keluar dari belahan lingerie, karena Nayara berbaring miring. Devon meneguk ludahnya. “Nay …,” lirihnya. Menatap Nayara yang mengulas senyum begitu manis, menatap ke arahnya. “Kamu sengaja memancingku?” sindir Devon. Matanya begitu sayu dengan tatapan yang begitu memuja kepada Nayara. Alih-alih menyembunyikan benda bulat yang terlanjur keluar dari jalur, Nayara justru mendekat kepada Devon. “Aku tidak memancing, Dev. Aku hanya ingin melakukan kewajibanku. Bolehkah? Aku ingin menjadi istrimu secara utuh.” Mengusap rahang tegas Devon yang mulai ditumbuhi bulu-bulu halus. “Kamu yakin, Nay? Karena aku melihat kamu masih ragu dengan segala janji yang aku ucapkan.” Menangkap pergelangan tangan Nayara yang meraba halus rahangnya. “Aku yakin. Sangat-sangat yakin,” bisik Nayara lembut. Meraih tangan Devon dan membawanya untuk menyentuh dadanya. Nayara gelap mata. Ia akan mencoba menggoda lebih keras lagi, agar Devon mau menyempurnakannya sebagai seorang istri. Agar Devon tak lagi ragu dengan keputusannya. Devon beringsut duduk ketika telapak tangannya menyentuh betapa lembut dan padatnya Nayara. Ia juga merasakan ujung yang masih belum terlalu muncul ke permukaan. Cukup menandakan area tersebut belum pernah disentuh oleh siapapun. Dan malam ini Devon yang akan menyentuhnya. “Nay ….” Devon menggeram. Saat jari telunjuk Viola melukis di dadanya. Menggambar secara asal untuk membuat hasrat Devon terpantik. “Kamu mau kan, Dev?” Devon memiringkan kepalanya. Dengan tangan yang meremas lembut salah bulatan padat Nayara. “Seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Karena disini kamu yang akan dirugikan. Sebagai pria tidak akan pernah ada yang tahu apakah aku sudah pernah melakukannya atau belum. Maka dari itu, aku ingin melakukannya ketika kamu benar-benar siap.” Menyelipkan rambut panjang Nayara ke belakang telinganya. “Aku sangat yakin dan telah berpikir semenjak di rumahmu tadi. Aku sudah memantapkan diri untuk membina rumah tangga denganmu. Aku juga berpikir ini adalah takdir sehingga kita bisa bertemu seperti ini. Meskipun aku tak kunjung mendapatkan restu dari ibu. Tapi, aku tahu. Ibu pasti bahagia ketika melihatku bahagia." Nayara mengalungkan tangannya di tengkuk Devon “Maka dari itu aku sengaja membeli lingerie ini khusus untukmu.” “Nay, aku akan berusaha menjadi suami yang baik untukmu. Meski aku bukanlah pria yang sempurna. Masih banyak ….” Devon diam. Menelan kembali kata-katanya karena Nayara tidak mengizinkan kata itu keluar dari mulutnya. Tidak ingin Devon merendah lagi, sehingga gadis itu membungkam dengan sebuah pagutan yang begitu lembut. Perlahan berubah dalam, disaat Devon menurunkan tali tipis di pundak Nayara. “Sepertinya kamu sudah merencanakan ini semua,” ucap Devon, seraya mengetatkan rahangnya. Bertepatan dengan Nayara yang melepaskan pagutan bibir mereka, ketika kedua tali tipis di pundaknya turun. Dengan sangat mudah lingerie tersebut turun dan lolos dari kedua kaki Nayara, ketika gadis itu berdiri. Tubuh putih mulus tanpa cela itu terpampang nyata. Hal yang tidak pernah dibayangkan Devon, meski hanya sebatas hayalan semata. Nayara yang telah membuang jauh rasa malunya duduk di pangkuan Devon. Menarik ujung kaos tipis yang pria itu kenakan dan melepaskannya. Membuang ke sembarang tempat. Layaknya wanita sewaan, Nayara menggoda dan bergerak asal di pangkuan Devon agar pria itu merasakan miliknya yang ranum ingin dimasuki. Merasakan pahanya saling bergesekan dengan Nayara dibawah sana, semakin mendorong Devon untuk menikmati malam pengantin mereka. Dan tanpa mampu dicegah, dirinya sudah menggeliat dan sangat menyesakkan karena celana yang masih utuh. “De-dev ...,” Nayara tersentak. Tiba-tiba saja Devon memeluk erat punggungnya dan menuntun untuk berbaring. Seraya menyesap salah satu ujung dadanya yang telah menegang. Terbakar oleh hasrat yang dibuatnya sendiri. Lembut, tapi menggebu. Devon menyesap dan meremas secara bersamaan. Membuat Nayara semakin bergerak gelisah dan sesekali mendesah pelan. Merapatkan tubuh bawahnya pada Devon yang telah mengeras, tapi masih tertutup rapat. “Nay, lihat aku!” Devon menangkup kedua pipi Nayara yang telah terengah-engah karena merasakan kenikmatan dari kedua ujungnya yang dinikmati Devon hingga memerah dan sedikit bengkak. Dengan nafas yang masih putus-putus, Nayara mengikuti apa yang Devon katakan. Menatap pada kedua manik yang tadinya jernih, kini ditutupi kabut hasrat. “Kamu masih ada kesempatan untuk memintaku berhenti. Dan kita akan mulai ketika kaki benar-benar siap." Mengusap dahi Nayara yang pasrah dengan apa yang akan dilakukannya. Devon juga menggoda Nayara dibawah sana, agar basah dan mudah dimasuki. Agar semakin licin dan tidak membuat lecet ketika Ia masuk nanti. Nayara mengangguk. Menggigit bibir bawahnya, menahan desahan kenikmatan yang berasal dari gesekan Devon yang keras dengan dirinya di bawah sana. Sesekali Nayara menahan nafas karena Devon yang terasa keras dan besar, menyapa seakan ingin memperkenalkan diri. Devon menarik kedua sudut bibirnya. Kembali memagut kedua belah bibir Viola yang memerah karena ulahnya. Dengan bertumpu pada satu tangan menekan kasur, Devon memilin dan mengusap salah satu ujung gundukan kenyal Nayara. Membuat gadis itu semakin tidak sabar dimasuki Devon dibawah sana. Nayara tersentak. Saat Devon mulai masuk. Berhenti tepat di jalan masuk yang telah banjir oleh cairan kenikmatannya. Nayara menahan nafas, merasakan betapa besarnya Devon dibawah sana. Ia sempat berpikir jika Devon masuk ia akan merasakan sakit yang amat sangat. Dan benar saja. Nayara merintih. Menggigit bibir bawahnya, menahan sakit ketika Devon menekan. Mencoba masuk dan merusak penghalang yang masih utuh di bawah sana. Tubuh Nayara bergetar. Sakit yang ditimbulkan layaknya seperti Devon membelahnya menjadi dua bagian. Dan itu baru separuh dari bagian pria itu. Tahu Nayara kesakitan, Devon memeluknya dengan Erat. “Kita istirahat, ya. Aku tidak ingin menyakitimu.” Nayara menggeleng. “Sekarang saja, Dev. Sudah setengah, kan? Lagipula, nanti atau sekarang sakitnya sama.” Meremas pelan rambut tebal Devon. Membenarkan apa yang dikatakan Nayara, Devon kembali menekan dan berusaha masuk. Menembus secara sempurna dan utuh. Nyaris saja Nayara terpekik ketika ia benar-benar masuk dan merusak penghalang dibawah sana. Beruntung Devon cepat membungkam mulut Nayara. Devon diam sejenak. Membiarkan Nayara terbiasa dengan dirinya yang keras dan besar. Seraya menanti, Devon melumat dan menyesap kedua belah bibir Nayara. Meninggalkan kecupan basah di leher Nayara yang mulus, hingga kedua ujungnya yang telah berubah bentuk karena Devon tidak pernah mengabaikan mereka berdua. “Dev,” desah Nayara tertahan. Ketika mulut Devon menyesap salah satu ujung dadanya, seiiring dengan pergerakan di bawah sana. Sakit memang, bahkan Nayara yakin cairan kentalnya sudah bercampur dengan darah segar dibawah sana. Tapi, rasa sakit itu semakin nikmat ketika ia mulai terbiasa dengan Devon di bawah sana. Sehingga rintihan yang keluar dari mulut Nayara, berubah menjadi desah kenikmatan yang saling bersahutan dengan Devon. Terlebih lagi saat Devon menghentak dalam hingga menyentuh Nayara di dalam sana. Rasanya tidak dapat digambarkan sama sekali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN