BAB 10

2199 Kata
Aku dan Tanaka duduk di kursi tunggu. Masih banyak antrian yang didominasi oleh perempuan, yang mencolok hanya Tanaka sendiri dengan pakaian serba hitamnya, lengkap dengan topi dan masker. Awalnya, kami mendiskusikan dengan Dokter Sintia, untuk terapi radiasi Tanaka dilakukan malam saja, tapi, Dokter Sintia keberatan karena malam adalah waktunya istirahat setelah seharian lelah bekerja. Mau nggak mau Tanaka harus setuju layaknya pasien biasa. Mungkin pra-operasi dan operasi sedikit diistimewakan, tapi sekarang nggak bisa lagi. Berkali-kali aku mendapati lirikan aneh dari pasien lain, mereka juga berbisik-bisik membicarakan sesuatu. Aku memilih acuh dan fokus menunggu nama Tanaka dipanggil oleh suster. “Mia,” panggil Tanaka lirih. “Berapa lama lagi kita di sini? Aku bosan. Boleh berjalan-jalan?” “Jangan! Kalau Om jalan-jalan, maka aku akan pulang. Silahkan tunggu di sini sendiri, saat namamu dipanggil nanti, maka tanggunglah sendiri rasa malu karena hanya kamu satu-satunya pasien kanker p******a laki-laki.” “Gadis bermulut sialan.” “Aku sudah mendengar ini berpuluh-puluh kali.” Tanaka berdecak, selanjutnya tidak ada percakapan lagi. Yang kudengar sekarang adalah Tanaka mengeluarkan ponselnya dan bermain game, karena suara dari ponselnya tertangkap kupingku. “Kimia Avantika!” “Ah, bukan nam–eh, kenapa jadi namaku yang dipanggil, Om?!” Aku bahkan sampai berdiri saking kagetnya. “Lho-lho, ini nggak seperti yang kuketahui! Ada apa?!” Tanaka memasukkan ponselnya ke dalam kantong celana, kemudian tersenyum miring. “Pembantu selalu menuruti perintah majikan, Mia.” Tanaka berdiri dan merangkul lenganku. “Ayo, kita sudah ditunggu di dalam.” “Be–reng–sek!” bisikku penuh penekanan di samping Tanaka. “Itu nama tengahku,” jawabnya santai dan sumpah aku pengen nampol kenceng bekas operasi di d**a Tanaka! *** Jadi, ceritanya namaku yang selanjutnya dipanggil dan tidak ada lagi nama Tanaka. Bahkan, untuk penandaan dan CT scan. Kebangetan banget mereka, ngelakuin ini semua nggak bilang-bilang. Aku merasa jadi kambing hitam dan tertuduh sebagai pasien kanker p******a stadium satu. Saat di perjalanan pulang, aku sama sekali mengabaikan Tanaka dan nggak mau berbicara padanya, bahkan pada Bang Irfan. Aku marah, tentu saja! Walau pun bekerja jadi pembantu dan pesuruh, bukan berarti aku nggak punya hak buat menolak. Mereka selalu saja mengancam dengan kontrak sialan itu. Mungkin nanti kalau kemarahanku sudah diambang batas, aku bakalan nyari kontrak itu sampai ketemu dan membakar semuanya. Barulah setelah itu aku berhenti bekerja. “Masih ingat yang dikatakan Dokter Sintia?” Tanaka jauh lebih pandai mengingat dari siapa pun, jadi, pertanyaannya ini hanya alasan untuk membuatku bicara. Maaf, deh, udah ketebak jadi aku nggak akan tertipu. “Kamu bantu aku jelasin sama Mbak Zha. Karena dia tidak ikut, aku yakin dia akan merecoki dengan banyak pertanyaan nantinya.” Bodo amat aku nggak mau dengar maupun jawab. “Mia, please aku butuh responmu.” O to the gah. Ogah! “Maaf menggunakan namamu tanpa izin. Aku juga sebenarnya tidak menyetujui, tapi, Mbak Zha bersikeras mengusulkan ide seperti itu. Katanya dengan begini maka publik tidak akan tau penyakitku dan citraku tetap aman. Maaf, Mia. Aku tulus meminta maaf padamu.” Pelan mataku membuka, lalu melirik Tanaka sekilas. “Setidaknya kasih tau dulu. Kalo kayak tadi ‘kan aku kaget. Tiba-tiba namaku dipanggil tanpa tau sebab. Gimana kalau ketemu orang yang kukenal dan mereka ikut kaget setelah dengar itu.” “Maaf,” lirih Tanaka sekali lagi. “Katakan dengan cara apa aku menebusnya?” “Selalu begitu. Selalu semudah itu. Berbuat salah kemudian minta maaf. Lagu lama.” Helaan napas berat terdengar. “Ya sudah, aku tidak akan begitu lagi.” Sebenarnya aku nggak bermaksud semarah ini, tapi, karena sensitif akibat tamu bulanan datang, ya sudah dilampiasin aja mumpung ada tempatnya. Tanaka juga sudah meminta maaf baik-baik, nggak baik juga kalau nggak maafin dia. “Oke. Lain kali kalau ada apa-apa, diskusiin dulu. Meski aku nggak punya hak untuk memutuskan, tapi setidaknya aku tau rencana kalian.” Senyum Tanaka muncul, bahkan matanya sampai menunjukkan garis lurus saking lebarnya dia tersenyum. “Mia yang baik hati, aku tersanjung kamu menerima maafku.” “Jijik banget!” *** Setelah makan malam, aku duduk di ruang televisi. Benda layar datar itu menyala, tapi, volumenya dikecilkan karena aku sedang berbicara via telepon dengan adik-adikku. “Mbak kapan pulang, Kei kangen.” “Mei juga!” Aku tersenyum mendengarnya. “Nanti setelah ujian akhir semester. Nggak lama lagi, kok.” “Mbak jangan lupa bawa pizza, ya. Kei penasaran sama rasanya.” “Tenang. Kalian sebutin aja, biar Mbak beliin semua.” “Emang Mbak punya uang?” Kali ini Danis yang bertanya. “Asalkan Mbak tiba dengan selamat, itu sudah oleh-oleh yang berharga buat Danis.” Yaampun adekku manis banget. Apa dia udah punya pacar? Cewek beruntung mana yang dapetin hatinya? “Nggak pa-pa, Dan. Mbak di sini kerja juga dan gajinya lumayan. Sebutin aja kalau ada yang mau dibeli, biar sekalian nyarinya nanti.” “Danis nggak minta apa-apa, Mbak. Belikan untuk Kei sama Mei aja.” “Bapak sama ibu gimana, Dan? Bantu tanyain, ya.” “Iya, Mbak. Sebentar Danis samperin dulu.” Sementara menunggu, aku melihat Tanaka keluar dari kamarnya dan menghampiriku sambil bertanya lewat isyarat mulut tanpa suara, “Siapa yang menelpon malam-malam begini?” Aku memilih mengibaskan tangan guna mengusirnya. “Gimana, udah ditanya?” “Katanya terserah, Mbak. Dibeliin alhamdulillah, nggak dibeli pun nggak apa yang penting anak sulungnya pulang dalam keadaan selamat dan sehat.” “Aamiin. Kalo gitu udahan, ya. Mbak sayang kalian semua.” “Kami juga. Mbak jaga diri baik-baik di sana, kesehatan juga.” “Pasti.” Aku mematikan sambungan telepon dan saat menoleh aku menemukan kuping Tanaka dekat sekali dengan mukaku. “Ada apa ini, Om?” “Tidak apa-apa. Hanya kebetulan dekat saja.” Mataku menyipit curiga. “Nggak mungkinkan itu bentuk dari penasaran Om sama siapa lawan bicaraku? Please, deh, ini sangat tidak mencerminkan Tanaka Kawindra yang katanya aktor terbaik se-Indonesia.” “Mana mungkin!” sangkal Tanaka, diiringi gelak tawa. “Untuk apa? Kamu bukan tipeku, sangat aneh sekali kalau aku penasaran dengan urusanmu.” “Oh, ya? Emang ada gitu orang yang bukan tipe idealnya tapi udah dua kali dicium?” “Mia, kamu menganggap kejadian terakhir itu ciuman? Berarti pengalaman kamu benar-benar sangat minim.” “Ada yang salah?” tanyaku dengan alis terangkat sebelah, seolah sedang menentang. “Bukankah itu hal yang bagus. Aku cuma mau memberikan semuanya untuk suamiku saja, bukan laki-laki murahan sepertimu.” “Sebutan yang sangat enak didengar sekali, Nona Kimia.” “Kenyataannya gitu, kan?! Sudah nggak terhitung barangmu itu menikmati macam-macam perempuan, dan bukannya terlihat keren malah menurutku itu sangat murahan.” “Kamu berbicara seperti itu karena kamu tidak pernah merasakannya, Mia. Coba saja sekali mencicipi, maka kata-kata yang tadi kamu keluarkan akan berakhir jadi omong kosong belaka.” Pembicaraan ini semakin kemana-mana. Kalau terus-terusan di lanjutkan, aku yakin bakalan sama gilanya karena sudah meladeni Tanaka. “Bodo amat! Intinya aku akan melakukannya sama suamiku. Nggak ada istilah mencicipi dan bergabung di club murahan sama sepertimu.” Merasa cukup pedas menghina Tanaka, aku beranjak dari tempat duduk dan pergi dengan senyum penuh kemenangan. “Mungkin sekarang kamu dengan angkuhnya mempertahankan hal kolot semacam itu. Tapi, suatu saat nanti aku yakin kamu akan menyesalinya, gadis sialan.” Oh, mohon maap, Tuhan biasanya tidak mengabulkan doa yang jelek. Jadi, Om, simpan saja itu semua dan jangan pernah berharap lagi karena itu tidak akan mungkin terjadi. *** Entah sudah keberapa kali aku meneguk air mineral, yang pasti satu botol itu hanya tersisa seperempat saja. Cuaca hari ini begitu terik dan Tanaka sedang melakukan pemotretan bersama Gabriella di puncak. Pakaian yang digunakan keduanya sama-sama berwarna putih. Sementara outfit bawahanya mengenakan celana kain dengan warna yang sama. Aku menunggu sambil mengamati dari bawah pohon yang sudah disediakan pondokan beratap tanpa dinding. Di tanganku ada tisu dan kipas angin tangan potable, kedua benda ini sangat dibutuhkan oleh Tanaka saat jeda pemotretan nanti. Berlangsung dua puluh menit kemudian, akhirnya sesi untuk majalah bulan nanti berakhir juga. Fotografer terlihat sibuk membereskan kameranya, begitu juga dengan staf lain. Aku bergegas menghampiri Tanaka dan memberikan sebotol air mineral dingin yang sudah disediakan. “Habis ini tidak ada jadwal lagi, kan?” tanya Tanaka sebelum meminum airnya. “Tidak ada. Syuting iklan parfum dan juga deodorant besok dimulai pukul lima pagi. Oh iya, sorenya kamu juga ada pemotretan terakhir bersama Gabriella di pantai. Kali ini mengenakan pakaian pengantin sampai matahari terbenam.” Tanaka mengangguk-angguk paham kemudian lanjut meminum airnya. Aku sebagai kacung yang pengertian, melihat jejak peluh muncul di pelipis segera saja menghidupkan kipas angin dan mengarahkannya ke wajah Tanaka. “Permisi, apa aku mengganggu?” Aku menoleh, begitu juga Tanaka. Kami menemukan Gabriella mendekat bersama dengan manajernya. “Tidak. Kebetulan tidak ada hal penting yang kami diskusikan, jadi tidak mengganggu sama sekali,” jawab Tanaka santai. “Aku mengajakmu makan malam. Apa kamu keberatan, ... Naka.” Ah, sudah mulai akrab ternyata sampai memanggil nama kecilnya. Eh, ngapain coba aku peduli sama hal itu? Nggak penting banget! “Tidak sama sekali. Katakan di mana tempatnya dan aku akan datang dengan senang hati.” Raut Gabriella berbinar-binar. “Ada rekomendasi khusus? Aku kurang tau tempat menyenangkan untuk mengobrol.” “Bagaimana SKYE Bar & Restaurant?” “Boleh. Tapi ...” Gabriella melirikku kemudian beralih menatap Tanaka. “Hanya berdua.” Tanaka juga sama, menatapku sejenak dan terbahak setelahnya. “Tentu saja. Pernahkah kamu mendengar kencan bertiga?” Pipi Gabriella langsung bersemu merah karena malu, sedangkan aku diam-diam mendengkus kesal. Siapa juga yang mau ikut. Mending di rumah nonton televisi sampai meninggal dan itu lebih bagus daripada jadi obat nyamuk di antara mereka. *** “Mia pastikan pintu terkunci dan jangan langsung buka pintu saat bel berbunyi. Lihat dulu di layar, barulah kamu mengambil tindakan membukakan pintu atau tidak.” “Iya,” jawabku malas-malasan. “Jangan coba-coba mengundang temanmu ke rumah. Aku tidak akan pernah mengizinkan itu.” “Hm.” “Satu lagi, Mbak Zha akan ke sini untuk menemanimu. Aku tadi berpesan padanya, saat di depan pintu langsung telpon saja supaya kamu tau kalau itu benar-benar dia.” “IYA! Puas, Om? Udah pergi sekarang aja, jangan kebanyakan bacot!” Raut Tanaka berubah jadi datar. “Jangan mengusirku.” “Lho, apa yang salah?” “Sudahlah ...” Tanaka mengibas-ngibaskan tangan kemudian berbalik. “Ingat semua pesanku tanpa satu pun terlewat.” “Oke. Selamat berkencan, semoga berhasil sampai kalian menikah, beranak pinak serta mempunyai cucu dan cicit.” Aku mendengar Tanaka bergumam, “Doa yang sama sekali tidak masuk akal.” *** Aku kaget saat Mbak Zha datang bersama seorang pria dan seorang bayi embul yang perkiraan umurnya enam bulan. Lebih kaget lagi mengetahui ternyata keduanya itu adalah suami dan anak Mbak Zha. Gila! Kukira perempuan 31 tahun ini masih single, taunya udah punya buntut satu! “Kimi, tidak mempersilahkan kami masuk?” Kesadaran menghampiri, aku nyengir lebar dan membuka pintu selebar-lebarnya untuk mereka. “Refleks aja tadi, Mbak. Kukira masih ... emmm ... sendiri.” Samar aku mendengar tawa dari suaminya Mbak Zha. Serius, suaminya guanteng banget. Aku aja sampai mimisan, tapi, untungnya nggak jadi. “Ke ruang tamu dulu, ya, Mbak. Aku mau ambilin minum.” “Nggak usah repot-repot, kami baru makan, kok. Oh iya, ini ada martabak telur buat kamu.” Hal penting semacam bingkisan martabak aja sampai tidak kuperhatikan saking terpesonanya aku sama suami Mbak Zha. Apalagi ‘kan posisinya suami Mbak Zha sedang menggendong bayi embul dan aura hot daddy-nya keluar sampai tumpah-tumpah. “Kenalin, ini Tirta, suami saya. Dan Aranea, anak pertama saya,” ujar Mbak Zha, saat kami sudah duduk di sofa. Aku dengan semangat menyapa keduanya, apalagi pada bayi embul. “Halo, Ndut. Aku Kimia, salam kenal.” “Jangan menambah embel-embel, Kim. Saya tidak mau panggilan itu melekat sampai dia besar nanti.” “Tidak apa-apa, Sayang. Itu terdengar lucu.” Aku dibela dong sama hot daddy abad ini. Ya sudah, kuputuskan mulai sekarang aku berteman dengan Papanya Ara, karena dari wajahnya terlihat baik sekali. “Panggil mas aja kali, ya,” kataku pada Mbak Zha, tapi lebih utama pada suaminya. “Mas, Mbak Zha beruntung dapetin suami seperti Mas.” Mbak Zha melirikku dan aku menanggapinya dengan cengiran. Sudah lumayan lama kami mengenal dan tentu saja aku sudah mulai memberanikan diri untuk mengajak Mbak Zha yang super kaku dan super galak ini bercanda. “Kata siapa? Justru saya yang beruntung mendapatkannya.” Mas Tirta bergumam bangga. “Selama mengenal Zhafira, saya hampir tidak pernah melihatnya dekat dengan laki-laki lain semenjak tunangannya meninggal. Mengajaknya bicara pun susah, tapi, syukur sekarang sudah bisa ditaklukkan.” Cerita yang uwu sekali. Aku sebagai pendengar saja ikut bahagia sampai deg-degan sendiri. Ya Tuhan, kapan ini terjadi padaku. “Keren. Ada nggak laki-laki yang seperti Mas sekarang? Atau temen Mas gitu? Kalo ada, kenalin sama aku. Hehe ...” “Fokus kuliah sama kerja, Kimi. Dilarang mikir laki-laki sekarang.” Mbak Zha mengingatkan dan otomastis pembicaraanku dengan Mas Tirta berakhir. Kini giliran Aranea yang kurecoki, bahkan aku sampai memangkunya saking gemas sama si embul. “Ndut, sering-sering main sama, Mbak, dong.” Aranea merespon dengan mengemut kepalan tangannya. Air liur sampai meluber di sekitar bibir dan pipinya semakin menggembung lucu. Sebuah dering ponsel membuatku mendongak, dan ternyata itu milik Mas Tirta. Dia izin sebentar untuk mengangkatnya pada Mbak Zha, kemudian mengambil sedikit jarak yang masih dalam jangkauan penglihatan kami. “Mbak kalo kerja, Ara biasanya dititipin sama siama?” tanyaku penasaran. Pasalnya, Mbak Zha sangat sibuk sekali, bahkan malam saja dia sampai lembur dan sering ke tempat Tanaka. “Suka rewel, nggak? Minum ASI atau s**u formula?” “Sama neneknya. Kadang ke tempat orang tua Tirta, kadang ke tempat orang tua saya. Ara anteng ikut sama siapa pun, cukup ada persediaan ASI, maka dia nggak akan cerewet saat saya tinggal.” “Uuuh, pinter banget, sih?” Aku menoel-noel pipi Aranea. “Mau jadi temen, Mbak? Biar kita bisa main terus.” “Sayang.” Mas Tirta mendekat. “Bara masuk rumah sakit. Katanya kecelakaan.” “Siapa yang bawa kabar?” Suasana berubah jadi tegang, aku bergantian menatap keduanya. Begitu juga Aranea, yang seolah mengerti dengan situasi. “Tidak parah ‘kan, Mas?” “Mas belum tahu karena masih ditangani dokter. Kita harus ke sana sekarang.” “Tapi, Ara ...” Aku cepat-cepat mengajukan diri. “Samaku aja, Mbak. Persediaan ASI-nya dibawa juga, kan?” Mbak Zha dan Mas Tirta menatapku bersamaan dan aku mengangguk pasti. “Ya sudah.” Buru-buru Mbak Zha menyerahkan tas kecil yang berisi peralatan lengkap Aranea. “Kami pergi sebentar, ya, Kim. Tolong jaga Ara.” “Iya, Mbak. Hati-hati di jalan.” “Tidak usah mengantar,” kata Mas Tirta. “Terima kasih, Kimia.” “Sama-sama,” jawabku. Dua orang itu terburu-buru keluar, aku memandanginya hanya sampai pintu tertutup, setelahnya aku kembali mengalihkan atensi pada Aranea. “Jangan rewel, Ndut. Mama sama Papa pergi sebentar.” Ocehan Aranea sebagai responnya. Aku jadi tambah gemas dan memainkan lengan-lengan bulatnya, nggak cuma itu aja, aku sampai mengecup pipinya berulang kali. Sepuluh menit sudah terlewat dan aku mendengar bunyi kartu akses ditempelkan ke pintu. Sepertinya itu Tanaka. “Mia!” panggilnya. “Aku di sini,” sahutku. Tidak lama, Tanaka memasuki ruang tamu. Dari kejauhan aku melihat keningnya mengkerut melihatku sedang memangku bayi. “Siapa itu, Mia?” Kutolehkan wajah Aranea ke arah Tanaka dan menggoyang-goyangkan tangannya. “Halo, Om Naka.” Tatapan Tanaka berubah jadi berbinar-binar, dengan semangat Tanaka mempercepat langkahnya sambil berseru, “Kesayangan Daddy Naka!” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN