BAB 11

2028 Kata
Siang ini aku, Alka, dan beberapa teman lain sedang diskusi tugas kelompok di salah satu kafe dekat kampus. Sebenarnya, Alka bukan bagian dari kelompok kami, tapi, karena si Jamet ini nggak bisa pisah dari aku, yaudah dibiarin aja dia ikut ngintil. “Semua tugas harus dibagi-bagi, ya.” Rina, selaku ketua kelompok kami memulai pembicaraan. “Untuk bahan yang udah ketemu, kirim aja di email gue. Edit serapi mungkin sama periksa typo-nya, biar gue tinggal gabungin-gabungin aja.” “Oke,” jawab kami serempak. “Untuk bagian print nanti biar serahin sama Adel. Jadi, setelah gue edit, bikin kover, kata pengantar, daftar isi sama penutup, file-nya gue kirim ke Adel untuk di print dan di-copy untuk kita berlima.” “Siap,” jawab kami lagi. “Untuk moderator saat persentasi nanti Kimia, pematerinya Bina dan notulennya Aulia. Semua setuju pembagian tugasnya?” “Setuju, Bu Rina!” seru kami, kali ini disertai derai tawa. “Eh, ngomong-ngomong lo cocok banget jadi ketua. Pengatur dan aura berwibawanya keluar, meskipun lo cewek,” kataku. “Bisa aja lo, Kim. Oh iya, hampir kelupaan.” Rina menepuk pelan pelipisnya. “Nanti uang print sama copy-nya pake punya Adel dulu, kalo udah baru kita ganti.” “Iya.” “Ya sudah, nggak ada lagi. Lo pada boleh bubar atau tetap stay di sini.” Aku melirik Alka yang fokus bermain ponselnya, kemudian melirik mereka lagi. “Kalian duluan aja, gue masih ada urusan sama si Jamet.” “Iya deh yang mau pacaran,” sorak Bina. “Kami mah apa atuh.” “Siapa yang pacaran sama siapa?” Aku mengibaskan tangan. “Hush! Pergi sana! Jangan lupa bayar masing-masing.” Mereka berempat terkikik geli. Lambaian tangan kudapatkan saat mereka menjauh dari meja menuju kasir. Kini giliran aku yang menghampiri Alka. Ni anak satu belum makan, bahkan memesan minuman pun enggak. “Pulang sekarang, Met?” Alka melirik sekilas dan fokus kembali pada ponsenlnya. “Gue belum makan. Perut gue lapar.” “Ya siapa suruh nunggu nggak mesan apa-apa!” “Gue mau makan sama lo.” “Yang Mulia Alka Wijaya, gue sama sekali nggak baper, ya. Malah kedengarannya jadi jijik.” Sepertinya game Alka sudah selesai, buktinya ponsel dimasukkan kembali ke dalam kantong celana dan Alka mengabaikanku dengan memanggil waitress untuk memesan. “Nasi goreng, kentang goreng, ayam geprek sama lemon tea, Mbak. Masing-masing dua porsi.” Selesai mencatat pesanan, waitress mengatakan pada kami untuk menunggu dan pamit setelahnya. Aku kembali bertatapan dengan Alka, dan aku menemukan binar menuntut di netra kecoklatannya. “Jangan pasang tampang gitu. Gue jadi takut, Met.” Dengkusan Alka terdengar. “Kim, lo tau gue tetap nggak ngizinin lo kerja di sana, terlepas semua penjelasan yang lo katakan.” “Ka, masalahnya gimana cara kita ganti rugi? Emang lo punya uang? Berapa banyak, kalo milyaran boleh lo keukeuh mempertahankan keputusan lo ini.” “Nggak ada, tapi ...” “Kalo nggak ada yaudah, jangan bahas ini lagi. Sumpah gue capek, Ka.” “Sama! Gue juga capek mikirin lo, capek khawatirin lo!” “Emangnya gue nyuruh? Nggak sama sekali!” “Permisi.” Dua orang waitress menyela perdebatan kami. Masing-masing dari mereka meletakkan pesanan di hadapanku dan Alka. “Selamat menikmati.” “Terima kasih, Mbak,” ucapku, dibarengi senyuman. “Sama-sama.” Setelah mereka undur diri, aku memakan lebih dulu makanan yang ada di depanku, mengabaikan Alka. Biarin dia, soalnya jadi orang nyebelin banget. Kesannya sekarang kayak pacar yang lagi cemburu dan posesif tingkat akut. “Kimi, lo harus ngerti kalau semua yang gue lakukan ini demi lo.” Alka masih belum menyentuh nasi gorengnya. “Percayalah, gue juga cowok dan gue lebih mudah mengetahui sifat sesama kaum gue.” Aku menyuap satu sendok dan mengunyahnya dengan kesal. “Oh, ya? memang apa yang Bapak Alka ini ketahui? Silahkan dijelaskan, dan gue akan mendengarnya.” “Tanaka itu ... cowok nggak baik. Dilihat dari tampang dan gerak-geriknya, gue tahu dia b******n kelas kakap. Lo seperti kelinci di depan singa kayak dia. Dan tinggal menunggu waktu, maka lo akan dimangsa dia.” Kuakui tebakan Alka keren. Bahkan, keren banget. “Tapi, Met, lo udah tau luar dalamnya gue dan gue nggak akan membiarkan orang seperti Tanaka mempengaruhi gue. Nggak tau kalau Tuhan berkehendak lain.” Helaan napas berat Alka terdengar. “Lo jadi cewek terlalu batu, ya. Nggak bisa sekali aja nurutin omongan gue.” “Alka, gue sayang dan bakal selalu berterimakasih sama lo karena lo satu-satunya sahabat yang gue punya di sini. Cukup percaya aja sama gue, maka semua itu akan baik-baik. Gue yakin gue bisa ngatasin Tanaka dan nggak akan terpengaruh sama dia.” “Janji, ya, Kim. Kalau sampai lo ingkar, gue nggak bakal nganggap lo sebagai sahabat lagi.” “Itu hal yang berat, tapi, gue berusaha menepatinya.” Perlahan tapi pasti, Alka menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman. “Gue pegang janji lo.” Aku juga ikut tersenyum, kemudian mengangguk. “With my pleasure, Ka.” *** Saat aku diantar ke lokasi pemotretan oleh Alka, raut kusut Tanaka menyambut kedatangan kami. Bahkan, Tanaka sengaja menunggu di parkiran tanpa mau masuk ke pantai padahal Gabriella bersama yang lain sudah berkumpul di sana. “Kamu lama sekali, Mia! Waktu kami banyak terbuang!” Aku baru turun dan menyerahkan helm pada Alka. Sebelum menjawab Tanaka, aku lebih dulu mengusir Alka pulang, takutnya mereka berbuat keributan dan tentunya nanti akan sangat merepotkan. “Hati-hati di jalan. Kalau udah sampe jangan lupa kabarin gue.” “Bentar Kim–” “Udah pulang sana!” Aku mengibaskan tangan. “Buruan!” Alka berdecak. Sebelum memacu motornya, Alka dan Tanaka sempat saling berbagi tatapan tajam, tapi itu berakhir saat kuputuskan dengan paksa. Setelah motor Alka menjauh, aku berbalik menatap Tanaka. Dengan tatapan yang nggak kalah tajam dan masing-masing tangan bertengger di pinggang. “Apa? Siapa suruh nungguin aku? Kan bisa mulai duluan soalnya yang penting itu modelnya, bukan manajernya.” “Tetap saja aku tidak bisa memulai tanpa kamu! Siapa yang mengusap keringatku saat pemotretan berjalan? Siapa yang mengambilkan air minumku seandainya aku haus? Dan, siapa yang kusuruh seandainya perutku lapar dan minta dibelikan sesuatu?” “Kan ada Bang Irfan!” kataku gemas. Ini Tanaka nggak bisa mikir panjang atau gimana, sih? Kok tiba-tiba jadi kekanakan gini? “Ya sudah cepat. Mentang-mentang kamu modelnya, jadi bisa berbuat seenaknya. Coba aja kalau kamu staf biasa, aku yakin banyak yang omelin kamu.” Tanaka mendengkus dan berjalan lebih dulu di depanku. “Yang seharusnya marah siapa, yang dimarahi siapa.” “Aku masih dengar,” sindirku. “Gadis sialan,” umpat Tanaka. “Malam ini kamu harus meminta maaf padaku.” *** Gaun pengantin yang dikenakan Gabriella terlihat berkibar. Kedua tangan Tanaka bertengger di pinggang Gabriella sedangkan kedua telapak tangan Gabriella berada di d**a Tanaka. Ditambah sunset yang memperindah, suasananya sekarang jadi terkesan romantis. Kaki telanjang mereka menapaki pasir dan tawa keduanya lepas saat kamera menangkap momen itu. Yah, nggak diragukan lagi. Keduanya begitu piawai dan lihai, hasil fotonya pun pasti akan sangat menakjubkan. “Hei, kamu!” Saat aku melamunkan kedua model yang sedang dipotret, seseorang memanggilku. “Ada apa, Bang?” “Yang lain butuh minuman. Tolong pesankan di sana dan ini uangnya.” Dengan ragu aku menatap uang dan si Abang bergantian. “Tunggu apa lagi? Cepat!” Setelah melihat sekeliling, akhirnya aku mengambilnya juga. Nasib gini amat, nggak bisa ngelihat orang nganggur dikit main suruh aja. Huh, dasar! Aku menendang-nendang pasir yang kulewati. Suasana pantai terlihat ramai di sore ini, nggak sedikit pasangan yang asik pacaran kutemukan. Bahkan ada yang lebih berani sampai peluk-pelukan dan mencuri-curi kecupan di pipi. Terlihat romantis sekaligus geli. Masa di tempat umum begitu? Apa nggak malu? Atau, cuma aku yang kuno karena nggak pernah berada di posisi mereka? Ah, tauk! Daripada sibuk memikirkan itu, mending aku segera membeli air minum dan kembali sebelum pemotretan selesai. *** Para staf mengadakan pesta di sebuah Bar malam ini. Bintang utama, Tanaka dan Gabriella, tentu saja wajib datang, sisanya terserah. Aku yang awalnya nggak berniat ikut, malah sekarang diseret-seret Tanaka. Bahkan, aku dibawa paksa ke salon dan dipermak tanpa izin. Menyebalkan! Empat puluh menit terlewat akhirnya selesai juga. Aku menatap malas-malasan pantulanku di kaca dan begitu pasrah saat pemilik salon membawaku menemui Tanaka. “Gimana, Ka?” Tanaka menilai, tangannya mengusap-usap dagu seolah sedang berpikir, tapi di mataku justru terlihat seperti om-om m***m. “Lumayan, Mam. Terima kasih.” “Sama-sama,” jawab Mami, tersenyum puas. “Mia.” Tanaka memanggilku, kemudian dengan isyarat matanya Tanaka ingin aku merangkul lengannya tapi aku mengabaikan itu dengan keluar dari salon lebih dulu. “Apaan, sih? Cuma pesta, ya, Om. Bukan acara penghargaan dan semacamnya.” Aku membuka pintu van kemudian menyingkir untuk mempersilahkan Tanaka masuk. “Lagian, aku manajer bukan pasanganmu.” “Ya tidak ada salahnya, kan?” Setelah Tanaka berlalu, aku menyusul dengan mengambil jok di sebelahnya. “Seharusnya kamu merasa istimewa karena diberi tawaran rangkulan gratis oleh aktor ternama sepertiku.” “Nggak, tuh!” Aku beralih tatapan pada Bang Irfan. “Jalan, Bang.” “Kenapa sulit sekali membuatmu menurut padaku, Mia? Itu sangat menyebalkan sekali dan membuatku begitu tertantang.” “Karena aku terlalu pintar untukmu, Tuan Tanaka. Belum kenal aja aku nggak suka, apalagi setelah kenal dan tau sisi burukmu. Jadi, tidak begitu sulit untuk menolak semua yang berhubungan denganmu, kecuali pekerjaan ini karena itu di luar kuasaku.” “Lihat, bukankah kata-kata ini membuat yang mendengarnya jadi kesal? Tapi, anehnya aku sudah akrab dan merasa biasa saja.” Aku diam dan nggak ingin menanggapi lagi. Ini Tanaka lama-lama kayak balita yang baru bisa ngomong, bawaannya ngoceh mulu tanpa mau berhenti. Kupingku sampai sakit mendengar omongannya. Logikanya ‘kan, orang yang bukan tipe idealmu pasti sangat dijauhi. Tapi, dalam kasusku berbeda, karena Tanaka justru gencar mendekati. Dikiranya aku senang, gitu? Maaf, nggak sama sekali! *** “Bersulang!” Jason mengangkat gelasnya yang berisi champagne, begitu juga dengan yang lainnya. “Kerja bagus semua, terutama untuk dua model kita.” Semuanya saling tersenyum dan mengangguk, apalagi Tanaka dan Gabriella yang saat ini terlihat kompak menunjukkan gelas mereka. “Silahkan diminum.” Semua langsung menurut, begitu juga dengan aku. Namun, belum sampai permukaan gelas menyentuh bibir, tanganku ditahan oleh Tanaka. Dengan mengabaikan keramaian di sekitar kami, Tanaka mencondongkan tubuhnya dan berbisik, “Jangan, Mia. Kamu terlalu muda untuk ini.” “Sedikiiiittt aja,” ujarku memohon. “Pengen tau gimana rasanya, Om.” Tanaka tetap menggeleng. Malah sekarang gelasku diambil alih olehnya dan diteguk sampai tandas. “Cari jus jeruk atau cola saja. Besok kamu kuliah.” “Menyebalkan!” Aku berdengkus dan membuang pandangan. Mataku tentu saja tak tinggal diam, melainkan jelalatan melihat apa saja yang ada di atas meja. Macam-macam kue, buah-buahan dan aku yakin juga beberapa minuman beralkohol lebih mendominasi di sini. Tenggorokanku butuh air minum tapi aku belum menemukan mana yang cocok untukku. Saat ingin bertanya pada Tanaka, tapi Tanaka terlihat sibuk berbicara dengan Gabriella dan Jason. Aku mengurungkan niat dan memilih berdiam diri dengan pikiran membentuk sebuah persepsi. Ngapain, sih, aku datang ke sini? Cuma jadi kambing congek dan nggak ada satu pun yang peduli dengan keberadaanku. “Manajer Kimi sudah berusaha keras. Silahkan dinikmati minumannya.” “Eh?” Aku menoleh dan tentu saja kaget saat asisten fotografer, Rafael, mengajakku berbicara. “Uhm ... aku nggak tau mau minum apa?” ungkapku ragu-ragu. “Kalau begitu, boleh aku kasih rekomendasi?” “Silahkan,” jawabku, langsung antusias. Rafael masih terlihat muda, mungkin hanya terpaut jarak beberapa tahun di atasku. Style-nya keren, ditunjang dengan wajah khas Tionghoa yang membuatnya benar-benar terlihat good looking man. Bagiku yang pencinta bule-bule, Rafael tidak menarik, tapi sangat lumayan buat cuci mata. “Ini.” Rafael menyerahkan padaku satu gelas yang diisi cairan berwarna kekuningan yang mirip seperti jus jeruk. “Kamu pasti suka.” Kuendus-endus dulu baunya kemudian meminum dengan sekali teguk. Keningku langsung mengernyit saat merasakan pahit dan asam sekaligus memenuhi mulut serta kerongkongan. “Apa ini? Kenapa rasanya aneh?” Rafael pun sama, mengerutkan keningnya. “Kamu tidak tahu?” Aku mengangguk sekali kemudian meminumnya lagi. “Tapi, lama-kelamaan jadi enak.” “Ini ... kali pertamamu mencicipinya?” “Iya.” Kepalaku mengangguk-angguk. “Bahkan, ini kali keduaku menginjakkan kaki di tempat seperti ini.” “Wow!” Rafael menunjukkan raut penuh ketertarikan. “Apa yang kamu lakukan saat pertama kali itu?” “Emmm ... kerja.” Saat aku ingin meneguk untuk yang ketiga kalinya, isi minuman di gelasku sudah nggak ada lagi. “Boleh nambah?” “Tentu saja.” Senyum Rafael melebar. Diambilnya gelas di tanganku kemudian digantinya dengan gelas yang sudah berisi minuman dengan warna yang sama. “Silahkan. Kita bisa mengobrol sambil minum.” “Terima kasih.” Tak sampai satu detik menerima gelas, aku langsung meneguknya satu kali. “Apa rasanya memang seperti ini? Tidak enak tapi membuat ketagihan.” “Ya. Bahkan, minuman itu bisa membuat badanmu ringan dan pikiranmu tenang.” “Benarkah?” Pijakanku terasa oleng, bahkan wajah Rafael terlihat memburam. “Apa yang terjadi? Gempa, kah?” Tawa Rafael pecah, dan itu mengundang lirikan beberapa orang termasuk Tanaka. Saat aku ingin meletakkan gelas di atas meja, tanganku dicekal dengan erat. “Mia sudah kubilang minum jus jeruk saja!” Mataku berkedip pelan menatap Tanaka. “Iya ... jus jeruk.” “Pembohong!” “Eh ... serius, kok.” Dan tiba-tiba aku jadi cegukan. “Warnanya kuning ... rasanya pahit ...” “Argh, gadis sialan!” “Om–” Belum sempat aku melanjutkan, dunia terasa terbalik dengan bagian kepalaku menghadap bawah. “Tolong aku tergantung,” teriakku lemah. “Tolong.” Hingar-bingar semakin jauh di kuping, apalagi saat kurasakan udara dingin menyapu bagian lengan dan leher. “Om ... aku pusing.” Begitu diturunkan, aku tanpa sadar mencengkram jas Tanaka untuk berpegangan. “Bumi bergelombang.” “Sangat merepotkan. Ayo masuk!” Aku merasa tubuhku didorong pelan dan didudukkan. Berikut juga kurasakan posisiku diatur senyaman mungkin dengan jok yang diturunkan. Mataku mengerjap-erjap kemudian terbuka. “Dingin, Om.” “Saat mabuk ternyata kamu semakin menyebalkan, Mia.” Sebuah kain tersampir menutupi tubuh bagian atasku, aku menariknya dan semakin memejamkan mata. “Lain kali, tidak ada lagi bar atau sejenisnya kecuali denganku. Karena itu terlalu berbahaya untukku.” Pendengaranku entah jelas menangkap entah tidak. Yang penting sekarang adalah rasa kantuk lebih mendominasi di atas segalanya. “Pulang memang pilihan lebih baik. Selamat malam, gadis sialan.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN