Aku terbangun dengan kepala luar biasa pening. Saat mengedarkan pandangan ke sekeliling, aku tau ini adalah kamarku di penthouse Tanaka.
Hari ini aku ada kuliah pukul sembilan pagi. Melirik jam di nakas masih menunjukkan pukul setengah delapan. Inginnya lanjut tidur, tapi, aku baru ingat kalau aku di sini hanyalah pembantu, bukan majikan.
Jadi, dalam keadaan terhuyung-huyung aku menuju kamar mandi. Di pantulan kaca, aku melihat kondisiku mengenaskan. Hanya mengenakan kaos kebesaran dan wajah pucat. Eh, tunggu, ... ada yang salah di sini.
Kupandangi bagian tubuhku dengan teliti. Setelah dapat berpikir dan mencerna, aku langsung membelalakkan mata. Bagaimana bisa ... pakaianku berganti?! Siapa yang menggantikannya?!
Ini nggak bisa dibiarkan. Aku harus menemui Tanaka dan menuntut penjelasan padanya. Tapi, sebelum itu aku harus membersihkan diri dan berpakaian lebih sopan.
Dengan tergesa aku melepaskan kaos kebesaranku, namun, gerakanku dibuat terhenti saat melihat sesuatu yang janggal. Ada satu ... dua ... tiga ... dan empat tanda merah di dadaku. Apa ini? Digigit serangga atau ...
“TANAKA BERENGSEK KAMU APAIN AKU!!!”
***
“Ampun, Mia, ampun.” Tanaka melindungi kepalanya dengan dua tangan saat aku memukul membabi buta. “Kita bicarakan ini baik-baik, jangan pakai kekerasan.”
“Apa yang perlu dibicarakan baik-baik, hah?! Berani-beraninya mengambil keuntungan dari ketidakberdayaan seseorang!”
“Oke-oke aku salah, tapi, biarkan aku menjelaskannya dulu.”
Dadaku kembang kempis menahan kesal sekaligus marah. “Jelaskan sekarang!”
Tanaka berdehem dan memperbaiki posisi duduknya, sedangkan aku berdiri menjulang di hadapan Tanaka dengan tangan terlipat di d**a. Jarak kami hanya sejengkal dan itu posisi yang cukup bagus untuk mengintimidasi.
“Jadi, tadi malam kamu mabuk. Aku membawamu pulang ke penthouse dan mengantarmu ke kamar. Tapi, saat di kamar ada insiden kecil.” Tanaka melirikku kemudian berdehem lagi. “Kamu muntah saat aku ingin membaringkanmu di kasur. Bajuku dan bajumu sama-sama kotor.”
Walau pun aku nggak mengingatnya sama sekali, tapi, aku percaya yang diceritakan Tanaka ini kebenarannya. Apalagi, rasa malu diam-diam muncul dan aku nggak sanggup memberikan tatapan setajam tadi pada Tanaka.
“Aku memberishkan badanku lebih dulu barulah setelah itu ... ehm, kamu. Selanjutnya, kamu ... bisa menebaknya sendiri. Aku ... aku dibutakan naf–”
“Jangan dilanjutkan!” Aku memukul kepala Tanaka kesal. “Jangan berani-berani mengungkit kejadian tadi malam dan membayangkannya lagi! Kalau sampai itu terjadi, aku bakal nggak maafin kamu seumur hidup, bahkan sampai aku mati sekali pun!”
“Uhm ... iya.” Tangan Tanaka mengusap tengkuknya. Berkali-kali juga aku mendapati Tanaka membasahi bibir bawahnya. “Aku ... aku janji, Mia.”
Setelah itu, aku berbalik dan berderap meninggalkan Tanaka. Dalam hati, aku merasa luar biasa malu dan marah, terlebih ke diriku sendiri. Salahku juga menerima minuman dari laki-laki yang nggak begitu kukenal. Dan sekarang, tanggung sendiri akibatnya.
Argh, Kimi bodoh!
***
Aku bengong. Dari pertama dosen masuk sampai jam kuliah berakhir, aku sama sekali nggak bisa menangkap apa yang dijelaskan. Kepalaku kosong dan nggak bisa mikir apa-apa.
“Ka,” panggilku secara nggak sadar. “Pukul kepala gue.”
Dan kalian tau? Alka benar-benar memukulnya, bahkan aku sampai terhuyung ke depan saking tidak siapnya menerima pukulan.
“Lo gila, ya, Ka?! Sakit tau!”
“Katanya dipukul. Giliran dipukul, gue yang diomelin. Lo gimana, sih, Kim? Perasaan makin ke sini makin sensitif dan makin kayak cewek tulen aja.”
“Gue itu cewek asli! Lo jangan nyari perkara, ya. Ini emosi lagi nggak stabil, salah-salah lo gue omelin sampai meninggal.”
Alka tertawa dan mengusak-usak rambutku. “Iya-iya. Lo kenapa, dah? PMS? Perasaan nge-gas mulu dari tadi.”
Bibirku mengerucut. “Gue lagi dirundung rasa malu dan marah, Ka. Dan itu menyebalkan, bikin kepikiran sampai sekarang.”
“Ya tinggal pilih satu. Gitu aja repot.”
Gantian, aku yang memukul Alka. “Kalau semudah itu, gue nggak bakal ngomong sama lo!”
“Yaudah, sih, biasa aja.”
“Makin ngeselin lo!”
“Lo juga.” Alka mengendik acuh. “Ke kantin sekarang, gue lapar.”
“Ayo. Tapi, bayarin.”
“Kebiasaan. Dasar pengemis!”
“Kenyataannya lo betah berteman sama pengemis ini.”
“Khilaf gue.” Begitu kami beranjak dari tempat duduk, Alka merangkulku. “Bercanda. Lebih tepatnya, gue nyesal temenan sama lo.”
“Alka jamet berengsek Wijaya!”
***
Hari ini Tanaka syuting iklan minuman berenergi. Lokasinya berada di tempat terbuka dan tidak mengenakan pakaian, kecuali celana pendek selutut dan mengenakan sepatu.
Saat kutanya kenapa harus begitu, jawabannya adalah sengaja menampilkan tubuh berotot Tanaka. Apalagi sehabis berlari, otomatis otot-otot semakin menonjol dan akan ada keringat yang menambah kesan jantannya.
Kreatif juga yang punya ide. Fans Tanaka ‘kan banyak, pasti bakal banyak juga yang mesem-mesem lihat badannya, termasuk aku yang sedari tadi gagal fokus karena Tanaka tepat di depanku dan hanya berjarak beberapa langkah saja.
“Mia tolong minum,” pinta Tanaka, membuyarkan lamunanku. “Sekalian tisu. Sepertinya air ini masuk ke mataku.”
Dengan segera aku menurutinya. Nggak begitu jauh juga jadi nggak memakan waktu banyak untuk mengambil.
“Ini, Om. Khusus area mata dan kelopaknya aja yang diusap, sisanya nggak boleh.”
“Kalau begitu kamu saja yang membantu.” Tisu yang tadinya kuberikan pada Tanaka kini dikembalikan lagi. “Pelan-pelan jangan sampai kecolok mataku.”
Saat Tanaka merendahkan tubuhnya, aku nggak segera melakukan tugasku. Secara nggak sadar aku mengamati Tanaka tanpa berkedip. Ini aneh, tapi ... jantungku berdetak kencang. Terlebih, kejadian itu samar muncul di otakku.
“Ayo tunggu apa lagi, Mia? Syuting akan dimulai sebentar lagi.”
Aku berdehem canggung dan segera mengusap sekitar mata Tanaka, untuk menghilangkan air yang nantinya berpotensi menyakiti mata. “Apa masih perih?”
“Sudah tidak lagi. Terima kasih, Mia.” Saat Tanaka akan menegakkan tubuh, aku menahan lengannya, “Sebentar, Om, rambutmu harus diperbaiki.”
Diperbaiki di sini adalah mengacak-acaknya, sebagaimana saat seseorang berkeringat dan tentu rambutnya akan berantakan.
“Sudah mengering ternyata. Sebentar aku basahin sedikit.” Aku mengambil botol khusus untuk membasahi rambut Tanaka kemudian menyemprotkannya. “Agak menunduk dikit lagi, Om.”
“Segini cukup?” tanya Tanaka, setelah kembali melebarkan kakinya. “Jangan lagi, ya, Mia. Celanaku bisa sobek nanti.”
Aku tertawa dan mengangguk. Selanjutnya, aku melakukan tugasku. Tidak lupa sedikit mengacaknya agar terkesan benar-benar berantakan.
“Sudah,” ucapku puas setelah melihat hasilnya.
Tanaka nggak langsung berdiri, melainkan menyejajarkan tingginya dengan tinggiku. “Mia,” panggil Tanaka.
“Hm?” Alisku terangkat pertanda bertanya. “Ada yang dibutuhkan lagi?”
“Bukan.” Pelan Tanaka memperpendek jarak kami. “Hanya ingin melakukan ini saja.” Selanjutnya, mukaku ditiup keras sampai aku refleks menutup mata. “Ekspresimu lumayan juga.”
Setelah terdengar langkah kaki menjauh barulah aku berani membukanya lagi. Dengan rasa dongkol yang mulai merasuki, aku berteriak dan mengabaikan orang-orang yang berpotensi kaget setelah mendengar teriakanku. “Tanaka sialan nggak ada akhlak!”
Semua mata tertuju padaku dan tentunya ada yang kaget campur terperangah. Sedangkan orang yang menjadi objek umpatan hanya terbahak kencang dan dengan santainya melambai-lambai tangan.
Sumpah keinginan untuk nyekik Tanaka berada di urutan nomor satu!
***
Mbak Lena menelponku, katanya aku harus menemuinya di salah satu bukit untuk mengukur baju. Ya, Mbak Lena memilihku untuk menjadi bridesmaid-nya, bersama satu teman Mbak Lena yang sama bekerja di bar.
Di sinilah aku. Baru turun dari ojek online dan menatap takjub penampakan luar butik. Ini adalah milik desainer ternama dan merupakan sebuah kehormatan untukku bisa menginjakkan kaki di sini.
Dengan masih dilingkupi perasaan kagum, aku mengambil ponsel di kantong celana dan menghubungi Mbak Lena.
“Aku udah di depan. Mbak di mana?”
“Lagi pasin gaun, Kim. Masuk aja.”
“Oke.”
Setelah mematikan telepon, aku memasukkan kembali ponsel ke kantong celana dan melangkah dengan perasaan berdebar-debar. Ah, beruntungnya jadi Mbak Lena, bukan hanya mendapatkan cinta, tapi mendapatkan kehidupan yang berkecukupan dari suaminya.
Mungkin ini saatnya Mbak Lena menikmati, karena sebelumnya kehidupan Mbak Lena nggak mudah. Sedikit banyaknya aku tau alasan Mbak Lena menjadi wanita malam. Awalnya untuk membiayai rumah sakit ibunya, namun setelah ibunya meninggal, Mbak Lena nggak bisa meninggalkan dunia malam begitu saja karena bos di tempat kerja begitu kejam dan licik.
“Kimi! Sini!”
Panggilan Mbak Lena membuat pikiranku buyar. Aku menyunggingkan senyum dan tergesa-gesa menghampiri.
“Astaga, Mbak! Aku sampai pangling.”
“Bisa aja kamu.” Mbak Lena tersipu malu. “Ini baru model pertama. Ada empat model lagi sebenarnya.”
“Sebanyak itu?” tanyaku kaget, kemudian memandang sekeliling dan mendapati teman Mbak Lena sibuk membuka-buka majalah, tanpa menghiraukan kami. “Apa nggak capek? Dan lagi, itu perut udah menonjol. Nggak takut baby-nya kejepit?”
“Santai, Kimi. Ini yang pilihkan semua Mas Jay, lho. Mbak cuma cobain satu-satu aja.”
“Terus orangnya ke mana? Mbak ke sini sama temen?”
“Tadi diantar sopir. Temen Mbak naik taksi online, kok. Mas Jay ada rapat di kantor, sebentar lagi nyusul untuk pasin jasnya.”
“Syukurlah kalau begitu.” Aku tersenyum lega. “Oh iya, aku ke sini ngepasin gaun juga, Mbak? Sama teman Mbak itu.”
“Iya. Sana minta tolong sama pegawainya. Katakan saja gaun untuk bridesmaid, mereka akan mengerti.”
“Siap, Mbak.” Aku mengangguk hormat. “Terima kasih.”
“Sama-sama, Kimi.”
***
Setelah dari butik, kami bertiga, aku, Mbak Lena dan Mas Jayden menuju restoran Itali untuk makan siang. Sedangkan teman Mbak Lena pulang lebih dulu, katanya ada urusan.
Kenapa kami makan di restoran Itali sedangkan masih banyak rumah makan atau restoran lain yang menjual makanan khas nusantara? Karena ini kemauan Mbak Lena. Selera ngidamnya jadi berkelas setelah dapat suami bule. Mantap nih Mbak Lena, patut jadi panutanku.
Mas Jayden sudah mereservasi tempat lebih dulu. Kami diarahkan ke sebuah meja dan diberikan masing-masing satu buku menu.
Sebenarnya ... aku buta makanan luar. Untuk menghindari rasa malu-maluin, maka aku meminta pesananku disamakan saja seperti pesanan Mbak Lena, tapi porsinya lebih sedikit.
Pelayan mencatat semua itu kemudian undur diri setelahnya. Aku yang awal hanya berdiam diri atau melihat-lihat sekitar, kini memilih menyibukkan diri bermain ponsel. Mbak Lena sama Mas Jayden jangan ditanya, mereka romantis-romatisan seolah dunia milik berdua, melupakan aku yang jomlo di depan mereka.
“Ah, Hani, aku lupa temanku akan bergabung bersama kita.”
Aku mendongak saat mendengar Mas Jayden berbicara. Lumayan fasih berbahasa Indonesia tapi aksen baratnya masih kental.
“Siapa, Hani?”
“Kamu tidak akan tau, Hani. Tapi, akan kukenalkan setelah dia tiba.”
“Tentu, Hani. Aku tidak keberatan.”
Hana-hani Hana-hani, aku yang dengernya jadi geli sendiri. Ini ‘kan panggilan ibu kost untukku, ternyata dipakai juga sama mereka.
“Nah itu dia, Hani!” Mas Jayden berseru dan mengangkat tangannya untuk menyapa. Aku penasaran dan segera saja menoleh. Mataku membelalak kaget. “Yudistira!”
***
Jadi ceritanya, teman Mas Jayden itu ternyata adalah Yudistira. Dunia sempit sekali, kan? Sama, aku juga mikir gitu.
Setelah makan dengan kenyang, kami pulang masing-masing. Maksudnya, Mbak Lena sama Mas Jayden sedangkan aku dengan Yudistira. Yang orang bilang keberuntungan tidak datang dua kali itu adalah salah, buktinya hari ini lebih dari sekali aku beruntung. Ditraktir makan dan ... bertemu Yudistira.
“Mau ke mana setelah ini, Kimi?”
“Emmm ...” Sebenarnya ingin lama-lama jalan berdua, tapi, aku masih punya malu, kok. “Pulang aja. Udah pukul empat sore juga.”
Yudistira terlihat menimbang-nimbang sesuatu. “Bagaimana kita mampir di kafe dulu? Ngopi sambil ngobrol.”
“Tentu saj–maksudnya boleh.”
Samar aku melihat sudut bibir Yudistira terangkat. “Aku merekomendasikan sebuah kafe yang bagus. Kamu harus tahu ini.”
“Terima kasih,” ucapku. Mati-matian menahan senyum supaya nggak terlihat ngebet di depan Yudistira. “Ngomong-ngomong, gimana kabarmu? Hampir satu bulan kita tidak bertemu.”
“Baik. Kamu sendiri?”
“Baik juga. Kerjaan gimana? Apa masih ke rooftop untuk merokok?”
“Bagus. Dan kebiasaan masih sama. Lain kali kamu harus mengunjungiku dan kita mengobrol di sana lagi.”
Berarti ini kode akan ada pertemuan berikutnya lagi. Seneng banget sampai mau guling-guling. “Tentu saja. Sebelum itu, aku harus mempunyai nomor ponselmu dulu untuk mempermudah membuat janji temu.”
“Apakah ini sebuah modus?”
Aku tertawa. “Kalau kamu menyebutnya begitu, tidak apa.”
Yudistira ikut terbahak. Perjalanan yang kami tempuh menuju kafe terasa menyenangkan karena obrolan mengalir begitu saja.
***
Begitu aku pulang, jam menunjukkan pukul delapan malam. Rekor terlama aku jalan-jalan, terlebih lagi dengan seorang pria.
Menyenangkan sekali. Yudistira pria kaku sekaligus menyenangkan. Aku suka berbicara dengannya karena Yudistira sangat dewasa. Terlebih Yudistira penyayang anak-anak.
Kalau aku menikah dengannya, hidupku pasti berkecukupan dan bah–
“Mia kenapa kamu senyum-senyum sendirian?”
“Eh, masa, sih?” Aku meraba bibirku sendiri. “Nggak, ah. Kamu salah lihat, Om.”
“Dari mana?” Pertanyaan berganti lagi. “Perutku lapar dan aku belum makan malam.”
“Pesan online aja, ya, Om. Aku baru pulang dan badanku lengket.”
“Salah sendiri keluar sampai lupa waktu. Mia, ada yang perlu kutegaskan lagi di sini, aku ini majikan dan kamu itu pembantu. Jadi, jangan berbuat seenaknya, apalagi kemana-mana tanpa sepengetahuan dan tanpa seizinku.”
“Iya-iya aku minta maaf. Lain kali nggak diulang lagi, kok.” Aku mengangguk sekali kemudian berlalu, sayangnya itu tidak semudah yang kupikirkan karena Tanaka kembali menanyaiku, “Mau kemana?”
“Kamar. Mandi setelah itu aku pesenin makanan buat kamu.”
“Nanti saja. Ada yang lebih penting.”
Aku memutar bola mata malas. “Apa?”
“Mendekatlah.”
Kali ini, aku menyipit curiga. “Katakan dari sini.”
“Bisa sekali saja kamu langsung menurut, Mia?”
Bibirku mengerucut. Dengan kaki menghentak aku mendekati Tanaka dan berdiri tepat di hadapannya. “Sudah. Katakan sekarang karena aku nggak sanggup lama-lama di sini, badanku udah nggak enak banget.”
“Lebih dekat lagi.”
“Om mau ngapain, sih?”
“Menurut, Mia. Jangan sampai aku mengulang untuk yang kedua kalinya lagi.”
Kali ini, embusan napas berat yang kukelurkan. Capek hati capek badan. Diperlakukan begini bawaannya jadi pengen ngunyah seseorang.
“Nih, udah.” aku mencondong pada Tanaka. “Sekarang apa lagi? Perlukah aku kayang atau salto di depanmu.”
Tanaka menarik kerah bajuku semakin mendekat kemudian mengendus-endus di lekukan leherku. “Sudah kuduga kamu bau parfum pria dan rokok, Mia.”
“Om, kamu–” Aku memotong ucapanku sendiri dengan mata melotot. “Apa-apaan ini? Kenapa lagi-lagi kamu melakukannya? Sudah kubilang jangan terlalu dekat karena aku bukan tipe idealmu!”
“Oh, ya? Apa aku pernah bilang begitu?” Tanaka menaikkan alisnya seolah terlihat sedang berpikir, padahal aslinya yang kutangkap hanya raut geli di sana. “Kalau begitu, Mia, aku menariknya kembali. Semenjak melihat sesuatu aku jadi merubah pikiranku.”
“Beraninya!” Telunjukku mengacung tepat di depan wajah Tanaka, tapi malah ditepisnya dengan santai. “Iya, Mia, aku tertarik padamu.”
“TANAKA KAMU SUDAH GILA YA!”
***