The Rose Blood & The Secret Of You

Bahasa Yang Tak Kupahami

           Rasanya seperti tersesat dan tak memiliki petunjuk apa-apa. Lorong ini begitu berat dan Jevan tak menggenggam cahaya apapun . Lelaki itu kehilangan arah. Udara seakan menipis di sekitarnya. Apakah ini sebuah mimpi buruk yang panjang? Haruskah dia tidak usah bangun saja?

            Lelaki itu mengerti. Dia paham. Jika dia bisa memohon untuk  bisa tidak dilahirkan sama Tuhan mungkin dia akan memilih tidak pernah dilahirkan.Kelahirannya menjadi sebuah kutukan dan penderitaan bagi penduduk Argenta.

            Dia tidak ingin bangun. Biarkan saja dia mati sekarang. Toh, tak akan ada yang mengharapkan dia hidup di dunia ini. Argenta akan lebih damai jika Jevan pergi. Jika Jevan D’movic tidak ada di dunia ini lagi.

            Hampa, sebuah perasaan yang Jevan pendam dan tak sanggup dia bagikan pada siapapun. Dia tidak sanggup menatap wajah Biandra yang sedih karena dirinya. Luka fisik yang dia terima tidak seberapa. Rasa bersalah yang terus  menghantamnya jauh lebih menyakitkan.

            Jevan menarik napas dalam. Sebuah lorong tanpa cahaya berada di depannya. Mungkin ini saatnya dia pergi.

            “Briekey, Driekey* , Vile, Drean dan Hezelfin, maafkan aku,” dengan putus asa Jevan mengucapkan kalimat terakhir yang dia ingin sampaikan kepada keluarganya. Langkahnya mulai melangkah ke dalam kegelapan. Pelan-pelan kegelapan itu semakin menelan dirinya, ketika dia yakin bahwa dia akan berhasil dalam percobaan ini, sebuah tangan menarik lengan Jevan dengan kasar.

            ‘Lo gila ya?” Teriak seorang perempuan  dengan wajah khawatir. Perempuan dengan manik mata berwarna hitam. Pakaian yang terlihat asing di mata Jevan dan juga rambut pendek sebahunya yang menarik perhatian Jevan. Tak lupa tiga pasang anting kecil yang terpasang di telinga kanannya.

            “Lo beneran pengen mati?” Teriaknya kesal. Sementara Jevan yang ditatapnya tidak mengerti dengan kosa kata “Lo” yang terucap dari bibir perempuan itu.

            “Maksudku kau. Kau ingin mati? Gak liat terowongannya gelap banget. Gimana kalau ada orang jahat di sana. Lo dibegal apa dibunuh. Mau lo kayak gitu?” ujarnya dengan penuh penekanan.

            Jevan menatap perempuan ini dengan tatapan datar dan dingin. Dia mengamati wajah perempuan ini. Siapa tahu dia mengenal sosok perempuan di hadapannya ini. Namun tak ada satu pun perempuan di Argenta yang berpenampilan seperti dirinya. Kecuali di kota Vrein. Jevan pernah melihat seseorang dengan pakaian seperti ini tapi dengan celana yang tidak seperti itu. Alih-alih bertanya siapa perempuan di hadapannya ini Jevan malah seperti pengamat mode yang memperhatikan perempuan ini dari atas sampai bawah.

            Pletak!

            Sebuah jitakan mendarat lurus di kepala Jevan. Membuat rasa sakit pada kepalanya. Meski kepalan tangan gadis ini kecil namun cukup kuat dan sakit ketika dia menjitak kepala Jevan.

            “Ngapain lo natap gue kayak gitu? m***m ya lo?” Jovanka menatap Jevan tak suka.

            Belum selesai dengan teka-teki apa kata lo ditambah lagi dengan m***m dan gue. Sebenarnya perempuan ini siapa. Kenapa bahasanya sangat sulit dipahami.

            “Jangan berpikir aneh-aneh. Seharusnya di sini saya yang nanya kamu siapa?”  Gumam Jevan dengan bahasa formal.

            “Aku adalah Jovanka,” jawab Jovanka.

            Wait! Jawaban Jovanka membuat dirinya terkejut. Bukan karena dia menggunakan kata aku. Tapi baru saja dia mengucapkan bahasa aneh, tapi dia bisa menuturkannya dengan lancar. Jovanka merasa aneh dan janggal. Terlebih sejak awal lelaki di hadapannya ini bicara dengan bahasa yang tidak dia mengerti tapi anehnya dia mampu memahami dan menjawab perkataannya dengan baik.

            “Gue …”

            “Aku maksudnya. Eh gak gitu gue …”

            Jovanka mencoba mengucapkan kata-kata gue dan bahasa Indonesia seperti biasa. Namun anehnya justru bahasa lain yang keluar dari bibir Jovanka. Ini benar-benar aneh.

            Jovanka  mengetuk kepalanya sendiri memastikan bahwa dia tidak sedang bermimpi sekarang. Jevan memandang gadis aneh di hadapannya ini dengan tatapan tak mengerti.

            “Kenapa kau memukul kepalamu sendiri?”

            Jovanka mendongak dan mendapati kekonyolan dirinya di hadapan lelaki ini. “Aku pikir aku sedang bermimpi sekarang,” tukas Jovanka.

            “Kau sedang berbicara bahasa apa sekarang?”

            Belum sempat Jevan memahami tentang gadis aneh ini dia kembali menanyakan pertanyaan yang aneh kepadanya.

            “Buenos,” jawab Jevan singkat.

            Jovanka mengamati penampilan Jevan dari atas ke bawah. Penampilannya jelas bukan orang Jakarta. Jevan mengenakan setelan blazer panjang berwarna abu-abu dengan pakaian yang menutupi lehernya. Rapi dan sangat elegan. Rambutnya tersisir rapi meski sedikit berantakan tapi malah menambah kesan seksi pada dirinya.Jovanka meneguk ludahnya sendiri. Satu hal pikirannya saat ini adalah bahwa lelaki ini sangat tampan.

            “Kau juga bicara dalam bahasa Buenos, kenapa kau menanyakan itu?”

            Jovanka tidak tahu apa yang terjadi sekarang. Semua kalimat yang meluncur dari bibirnya, semuanya berubah menjadi bahasa asing yang bahkan dia sendiri tak mengerti. Setiap kali dia membuka mulutnya dia bisa mendengar dirinya mengucapkan bahasa Buenos dengan sangat lancar dan fasih.

            Apa ini?

            Sebuah pertanyaan besar di kepala Jovanka adalah di mana dia saat ini dan kenapa dia bisa berada di sini di depan sebuah terowongan panjang dan dunia yang asing. Mungkinkah dia sudah mati sekarang atau ini hanya sebuah mimpi.

            “Apa kita sudah mati?’ Jovanka bertanya dengan perasaan takut. Meski hidupnya susah dan tidak segera kaya, tapi Jovanka belum siap untuk mati sekarang. Masih banyak hal yang ingin dia kerjakan sekarang. Jadi dia tidak mau bertemu dengan Tuhan terlebih dahulu.

            “Aku harap juga begitu,” Jevan menjawab dengan wajah datar, “namun sayangnya kita masih hidup. Bisa dibilang antara mati dan hidup.’

            “Maksudmu?”

            Jevan menatap mata biru safir Jevan dengan tatapan yang sulit diartikan. Lelaki ini tampak menghindari tatapan Jovanka. Beberapa kali dia menghindari tatapan Jovanka. Gadis itu mengamati Jevan sejenak. Dari sorot matanya dia bisa membaca bahwa Jevan seperti tengah putus asa.

            “Kau baru patah hati?”

            Jevan membulatkan matanya kaget. Jovanka mendekat ke arahnya, dia menepuk pundak Jevan pelan. “Aku tahu patah hati itu berat tapi aku yakin kau pasti bisa mendapatkan pacar yang lain nanti. Seputus apapun kamu kau harus hidup. Tetap putus asa dan jangan semangat. Eh, maksudku tetap semangat dan jangan putus asa. Hidup  pasti akan berputar, kau hanya tinggal menunggu saja kapan kebahagiaan datang padamu.” Tukas Jovanka. Sepertinya Jovanka ketularan Jole, dia bahkan kaget ketika dirinya bisa bicara bijak seperti itu. Jevan hanya diam tak menanggapi.

            “Dasar es batu,” Jovanka bergumam sendiri. Dia mengamati sekitarnya. Hanya ada terowongan gelap di hadapannya. Haruskah dia memasuki terowongan ini?

            “Apa kau tahu terowongan apa ini?” Jovanka menunjuk terowongan gelap di hadapannya.

            “Tetranium. Batas antara hidup dan mati.”

            “Hah maksudmu kita sedang sekarat begitu?”

            Sebuah pukulan seperti tengah menghantam Jovanka. Jevan mengangguk. Mendadak Jovanka putus asa. Semua nasehat untuk Jevan yang dia berikan sepertinya lebih cocok untuk dirinya sekarang.. Apa benar dia sedang sekarat sekarang?

                                                                                                                                                                                              Note:

*Driekey: Sebutan ayah di Argenta