Nawa menggenggam setir mobilnya erat, matanya menatap lurus ke jalanan dengan ekspresi dingin. Tapi di balik ketenangan itu, dadanya bergejolak. Rindu yang ia pendam begitu lama terasa seperti bara yang membakar setiap inci tubuhnya. Jemarinya mengetuk setir dengan ritme gelisah, dan sekali, ia mengepalkan tangan lalu menghantam setir dengan frustasi. “Sial,” gumamnya, napasnya berat. “Kamu di mana, Sayang? Aku hampir gila menahan ini…” Mobilnya melaju cepat, tak peduli pada pemandangan Swiss yang indah di sekitarnya. Yang ada di kepalanya hanya satu: Alisha. Dia harus menemukannya, memeluknya, memastikan istrinya ada dalam pelukannya lagi. Begitu tiba di villa, Nawa hampir melompat keluar dari mobilnya. Kakinya melangkah cepat melewati koridor, lalu berhenti di ruang tengah. Dan di san

