Bab 3

1344 Kata
Setelah tiba di depan klub, Alisha menatap pantulan wajahnya di cermin mobil. Mata sembab, riasan yang mulai luntur—semua ini mengingatkannya pada apa yang baru saja terjadi. Dengan tangan gemetar, ia membenahi makeup seadanya. Tapi bukan demi siapa-siapa, melainkan untuk dirinya sendiri. “Lupakan semuanya, Sha. Malam ini milikmu,” gumamnya sambil tersenyum miring ke bayangan dirinya. Ia menepis rasa sakit itu dengan kasar, membuka pintu mobil, dan melangkah masuk ke klub dengan langkah penuh tekad. Begitu memasuki klub, dentuman musik yang keras seolah memeluk tubuhnya. Cahaya lampu yang berkedip liar menyambutnya, seperti tempat ini mengerti caranya melupakan semuanya. Ia langsung melihat Tika dan Arabel melambai dari dekat meja. “Kamu ke mana aja? Lama banget!” Tika hampir berteriak agar suaranya terdengar di tengah musik. “Dari sana ke sini,” jawab Alisha santai, menarik kursi dan duduk. Ia langsung mengambil gelas minuman di meja tanpa basa-basi. Dengan satu tegukan panjang, minuman itu habis. “Ah, tambah lagi.” Tika menatap Alisha, kaget. “Whoa, pelan-pelan dong! Kamu kenapa sih?” Alisha menatap balik dengan senyum miring. “Kenapa? Karena hidup ini nggak pernah adil, Tik. Jadi, biar aku aja yang main curang sama hidup.” Arabel menyipitkan mata, curiga. “Kamu lagi kenapa? Zian? Apa ada hubungannya sama itu?” Alisha meletakkan gelas dengan keras. “Persetan dengan Zian, persetan dengan semuanya. Aku cuma mau bersenang-senang malam ini. Jadi, kalau kalian mau ceramahin aku, silakan. Tapi aku nggak akan dengerin.” Tika dan Arabel saling pandang, lalu akhirnya menyerah. “Oke, oke. Kalau kamu mau gila, kita gila bareng.” Tika menarik tangan Alisha berdiri. “Ayo ke lantai dansa!” Alisha tersenyum, kali ini lebih liar. Ia menggenggam tangan Tika dan melangkah ke tengah lantai dansa. Di sana, lampu-lampu neon berganti warna, suara musik menggetarkan setiap sudut tubuhnya. Tanpa ragu, ia mulai menggoyangkan tubuh, seolah membuang semua rasa sakit yang tadi menyesakkan dadanya. “Lepasin semuanya, Sha!” Arabel berseru sambil menari liar di sebelahnya. “Jangan pikirin apa-apa lagi!” “Aku nggak mikirin apa-apa!” balas Alisha dengan tawa yang hampir histeris. “Aku nggak mau peduli lagi! Zian? Keluarga? Omong kosong semua!” Dentuman musik semakin kencang, dan Alisha semakin larut. Ia menari seperti tak ada hari esok, membiarkan alkohol mulai merasuk ke dalam tubuhnya. “Aku nggak butuh Zian! Nggak butuh siapa pun!” teriaknya di tengah dentuman musik. Tika mendekat, mencoba menenangkan. “Sha, pelan-pelan dong, kamu minum udah banyak banget!” Alisha tertawa keras, menggenggam bahu Tika. “Tik, kamu tahu nggak? Hidup itu cuma permainan, dan aku nggak mau main sesuai aturan mereka lagi! Semua ini bullshit!” Ia mengambil gelas baru dari pelayan yang lewat, menegaknya tanpa pikir panjang. “Al, kamu serius nggak apa-apa?” tanya Arabel, wajahnya mulai khawatir. Alisha berhenti sejenak, menatap Arabel dengan mata yang nyaris merah. “Tahu nggak, Bel? Aku baru aja ngelihat pacarku, Zian, di tempat tidurnya. Sama perempuan lain. Telanjang. Di depan mataku.” Arabel terkejut, matanya melebar. “Astaga, Al… aku nggak tahu. Kamu…” “Jadi nggak usah tanya aku baik-baik aja atau nggak,” potong Alisha sambil tersenyum sinis. “Karena aku nggak baik. Aku sakit. Tapi biar aku nikmati kesakitanku malam ini, oke?” Tanpa menunggu jawaban, Alisha kembali ke lantai dansa, tubuhnya bergerak semakin liar. Ia tertawa, menari, dan terus minum. Di balik semua kegilaan itu, ia tahu dirinya sedang melarikan diri. Tapi malam ini, ia memilih tidak peduli. “Cheers buat hidup sialan ini!” serunya sambil mengangkat gelas, menatap sahabat-sahabatnya dengan senyum miring. Tika dan Arabel, meski masih cemas, akhirnya mengangkat gelas mereka juga. “Cheers,” gumam mereka, mencoba mengikuti Alisha. Di tengah lampu gemerlap dan dentuman musik, Alisha menari seolah tak ada yang salah. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa begitu malam ini selesai, rasa sakit itu akan kembali. Namun, malam ini bukan tentang menangisi nasibnya. Ini adalah tentang merayakan kebebasan dari kebohongan yang selama ini membelenggunya. Persetan dengan Zian. Persetan dengan perintah keluarganya. Malam ini, ia adalah Alisha—liar, bebas, dan tak terhentikan. Di meja VIP yang terpisah dari keramaian klub, seorang pria duduk dengan sikap tenang namun memancarkan aura dingin yang dominan. Nawasena Gunawan—CEO muda yang sukses—memperlihatkan postur tegapnya dengan jas mahal yang membingkai tubuh kekarnya. Rahangnya tegas, sedikit dihiasi brewok rapi, menambah kesan berwibawa namun tak tersentuh. Di sekelilingnya, teman-teman lama dari masa SMA asyik bercanda dan berbagi nostalgia. Namun, Nawasena hanya mendengarkan, sesekali menyeringai kecil, lebih karena basa-basi daripada ketulusan. “Gila, Sen, nggak nyangka kamu sekarang punya Gunawan Group,” seru Dava, menepuk bahunya. “Yang kita tahu dulu kamu cuma anak bandel yang sering bolos.” “Karena hidup bukan soal masa lalu,” jawab Nawasena singkat, suaranya rendah namun tajam. Ia mengangkat gelasnya, menyesap minuman dengan elegan. “Sukses itu soal kemauan, bukan sekadar keberuntungan.” “Wih, sombong sekarang ya,” celetuk Gege sambil tertawa kecil. “Dulu anak yang paling sering dihukum guru.” Nawasena tersenyum tipis, tapi senyumnya lebih menyerupai sindiran. “Dulu kita hidup dalam kebodohan. Sekarang, aku nggak punya waktu untuk itu. Dunia ini menghukum mereka yang lemah, dan aku nggak punya niat jadi salah satunya.” Obrolan berlanjut dengan tawa ringan dari teman-temannya, namun Nawasena tetap menjaga jarak emosional. Ia bukan lagi remaja SMA yang mudah terhanyut oleh nostalgia. Di balik senyum dinginnya, ia menatap setiap orang seperti sedang menilai nilai tukar mereka. Kemudian, matanya tanpa sengaja tertarik pada keramaian di lantai dansa. Di sana, di bawah lampu neon yang berkilauan, seorang wanita menari liar, tubuhnya seolah melawan dunia. Wajahnya sedikit kabur dari kejauhan, tapi ia mengenali sosok itu. Alisha. Alis Nawasena bertaut tipis. Matanya menyipit, menyelidik. Dia? pikirnya. Apa yang dilakukan Alisha di sini? Dan apa yang membuatnya menari seperti itu—gila, tak peduli dunia? “Hey, bro,” suara Dava tiba-tiba memotong lamunannya. “Gimana kabar soal mantan istri?” Ekspresi Nawasena seketika berubah tajam. Pandangannya beralih dari lantai dansa ke Dava, tatapannya seperti bilah pisau yang siap menusuk. “Untuk apa membahas hal itu?” balasnya dingin. Gege, menyadari perubahan suasana, segera mencoba melerai. “Santai, Sen. Dava cuma bercanda.” Namun, Nawasena tidak melunak. “Aku nggak punya waktu untuk bercanda tentang sesuatu yang sudah mati,” ujarnya datar, tapi setiap kata mengandung tekanan yang membuat meja itu terasa lebih dingin. Dava tertawa kaku, mencoba mencairkan suasana. “Yah, maksudku cuma ingin tahu, siapa tahu kamu mau buka babak baru.” “Babak baru?” Nawasena menyeringai sinis, menggeleng pelan. “Dava, aku tidak bermain-main dengan hidupku seperti itu. Aku tidak mencari cinta, dan aku tidak percaya lagi pada omong kosong itu.” Gege mencoba mengambil alih pembicaraan. “Tapi, Sen, kau dulu begitu serius dengannya, bukan?” “Keseriusan?” Nawasena memutar gelasnya di atas meja, memperhatikan kilauan minuman di dalamnya. “Keseriusan adalah kelemahan. Dan kelemahan adalah sesuatu yang aku hindari.” Dava, tak menyerah, mencoba menggoda lagi. “Tapi hidup tanpa cinta itu dingin, Sen. Kau kan nggak mau jadi patung es.” Nawasena menatap Dava dengan pandangan datar namun penuh ketegasan. “Lebih baik dingin daripada dihancurkan,” ujarnya pendek. “Kalian tidak paham. Satu pengkhianatan sudah cukup untuk mengajarkanku semua hal yang perlu aku tahu.” Suasana meja itu membeku. Teman-temannya tahu tidak ada gunanya mendorong pembicaraan ini lebih jauh. Namun, sebelum mereka bisa berkata apa-apa lagi, Nawasena berdiri, mengambil jasnya dengan gerakan anggun namun tegas. “Kalian boleh terus berbincang tentang hal-hal yang tak berguna. Aku tidak akan menghabiskan waktuku untuk itu.” Suaranya datar, nyaris dingin. “Sen, ayolah, kami hanya bercanda…” Dava mencoba memanggilnya, tapi Nawasena sudah melangkah pergi tanpa menoleh. Saat ia berjalan melewati lantai dansa, matanya kembali menangkap Alisha yang masih menari liar, tubuhnya bergoyang seperti ingin melupakan dunia. Sekilas, sesuatu di dalam dirinya terusik—perasaan yang sudah lama ia kubur dalam-dalam. Namun, ia segera menggelengkan kepala kecil, menepis pikiran itu. “Persetan,” gumamnya pelan, hampir tidak terdengar di tengah dentuman musik. Nawasena Gunawan tidak akan membiarkan dirinya diusik oleh masa lalu atau wanita manapun. Tidak lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN