Bab 2

1238 Kata
Alisha menghela napas panjang begitu tiba di luar rumah besar Eyangnya. Setelah percakapan yang menegangkan tadi, udara malam terasa lebih lega, meski di hatinya masih bersisa perasaan sesak. Ia berjalan menuju mobil, mencoba meredakan kegelisahannya. “Ini terlalu berat…” gumamnya pelan sambil membuka pintu mobil, lalu duduk di dalam dan membanting pintu lebih keras dari biasanya. Pikirannya segera melayang ke satu nama: Zian. Lelaki yang telah menemani hari-harinya selama tiga tahun terakhir. Zian adalah seorang fotografer berbakat, yang berhasil memikat hati Alisha dengan ketulusan dan pesona sederhananya. Namun, di balik hubungan yang terlihat indah itu, ada dinding tak kasat mata yang menghalangi mereka melangkah lebih jauh. Zian selalu merasa rendah diri, tak sebanding dengan Alisha. Baginya, kesenjangan di antara mereka terlalu lebar—Alisha adalah seorang CEO muda yang sukses, sementara dirinya hanya seorang fotografer biasa. Meski berkali-kali Alisha meyakinkan bahwa ia dan keluarganya tak pernah mempermasalahkan hal itu, Zian tetap bersikukuh bahwa ia belum siap menikahi Alisha. Bukan karena tak mencintai, melainkan karena merasa dirinya belum cukup layak. Namun, Alisha mulai lelah. Tiga tahun adalah waktu yang panjang, dan kini tuntutan keluarga semakin membebani pikirannya. Di satu sisi, ia ingin memberi Zian waktu untuk mengejar apa yang ia anggap “layak.” Di sisi lain, ia juga ingin hubungan mereka memiliki arah yang jelas. Dengan segala keraguan yang melingkupinya, Alisha meraih ponselnya. Ia menekan nama Zian di daftar kontak, lalu memanggil nomor itu. Dering terdengar di telinganya, namun tak ada jawaban. Alisha mendesah, menekan panggilan ulang sambil mengetuk-ngetuk setir dengan gelisah. “Jangan bilang kamu lagi sibuk, Zian…” gumamnya pelan, berharap kali ini lelaki itu mengangkat telepon. Tapi tetap saja, tak ada respons. Alisha memutuskan untuk tidak menunggu lebih lama. Ia tahu ke mana harus pergi. Mesin mobil dinyalakan, dan dengan tekad yang baru, ia memutar arah menuju apartemen Zian. Kali ini, ia tak ingin membuang waktu. Alisha ingin menatap Zian langsung dan meminta jawaban atas hubungan mereka. “Aku perlu tahu ke mana ini semua akan berakhir,” bisiknya pelan, mencoba menguatkan hatinya. Sebab, jika Zian tetap tak mampu memberi kejelasan, Alisha tahu, ia harus mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. “Zian, aku butuh kejelasan. Aku nggak bisa terus begini,” gumamnya, dengan nada putus asa namun penuh tekad. Hari ini, Zian berjanji akan menemaninya menghadiri reuni teman-teman lama, tetapi pria itu tidak bisa dihubungi. Tak ada kabar, tak ada penjelasan. Hal ini membuat Alisha semakin tertekan, terutama dengan tuntutan keluarganya yang mulai mendesak. Eyang Kakung sudah memberi pilihan: memperkenalkan kekasih atau menerima perjodohan. Semua itu seakan membuat Alisha terjepit dalam dilema antara cinta, keluarga, dan karier. "Apa yang harus aku pilih, Zian?" bisiknya, meski ia tak tahu jawabannya sendiri. Karena sudah terlalu lama menunggu, Alisha akhirnya memutuskan untuk mendatangi apartemen Zian. Jika pria itu tak bisa memberinya jawaban malam ini, maka Alisha akan membuat keputusan sendiri. Sesampainya di gedung apartemen Zian, Alisha segera keluar dari mobil dan melangkah cepat menuju pintu masuk. Tika meneleponnya lagi, tapi kali ini Alisha tak terlalu memperhatikan. "Sha, kamu di mana? Kita semua sudah nunggu nih!" “Maaf, Tika. Aku nyusul Zian dulu. Bentar lagi sampai kok,” jawabnya cepat, tak ingin membuat teman-temannya khawatir. Begitu kode akses apartemen Zian diterima dan pintu terbuka, Alisha melangkah masuk tanpa pikir panjang. “Zian! Kamu ada di mana?” teriak Alisha dengan nada tinggi, mencoba mencari Zian. Tapi suara Alisha langsung terhenti, matanya membesar saat melihat pemandangan yang tak pernah ia bayangkan. Di atas tempat tidur Zian, seorang wanita berambut pendek terbaring tanpa sehelai kain pun. Suasana yang tadinya hening kini terasa mencekam. Alisha hanya berdiri terpaku, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tiba-tiba, pintu kamar mandi terbuka. Zian keluar dengan hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya. Begitu melihat Alisha, wajahnya langsung berubah menjadi pucat, seperti seseorang yang tertangkap basah. Alisha memandang Zian dengan perasaan yang campur aduk. Ada kekecewaan yang mendalam, ada kemarahan yang membara, dan ada juga kelegaan yang sulit dijelaskan. "Kamu tahu nggak sih, Zian?" suara Alisha tercekat, seolah setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah belati yang menusuk. "Aku datang ke sini bukan untuk melihat semua ini... Aku datang untuk mencari jawaban atas hubungan kita!" Zian tampak terkejut dan diam, matanya tak berani menatap Alisha. Sementara Alisha, yang sudah lama menahan perasaan ini, hanya bisa berdiri di sana, menunggu penjelasan yang seharusnya datang dari Zian, tapi malah hilang begitu saja. "Alisha, sayang... ini nggak seperti yang kamu bayangin!" Zian berusaha mendekat, mencoba meraih tangan Alisha dengan panik. Alisha menarik tangannya dengan kasar, menjauhkan diri dari Zian. "Nggak seperti yang aku bayangin? Jadi apa, Zian? Mau kasih alasan apa sekarang?" tanya Alisha dengan suara mendesah marah. Wanita di tempat tidur, yang sempat tertidur, terbangun dan tampak bingung. Melihat Alisha, dia buru-buru menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. "Siapa dia?" Alisha menatap Zian dengan mata penuh kebencian, tatapan yang begitu tajam seperti mencabik-cabik hati. "Siapa wanita ini, Zian?" Zian terdiam sejenak, wajahnya memucat. "Aku bisa jelasin, Sha... dia... dia cuma temen kerja yang kebetulan—" "Teman kerja?" Alisha mengulang dengan nada sarkastik, bibirnya menyeringai. "Teman kerja mana yang tidur di tempat tidur laki-laki tanpa sehelai kain pun? Teman kerja macam apa yang berbagi keringat seperti ini?" Zian mengepalkan tangannya, tampak semakin terpojok. "Kamu pikir aku ini bodoh?" Alisha melangkah maju, matanya membara. "Aku nggak perlu penjelasan kamu, Zian. Aku udah lihat semuanya, dan cukup!" Dengan satu gerakan cepat, Alisha berbalik, siap meninggalkan apartemen Zian yang sekarang terasa asing baginya. “Sha, aku mohon… tolong kasih aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya.” Zian berlari menghalangi pintu, menahan lengannya. “Aku sayang kamu, sungguh. Kita udah jalan jauh sampai sini. Ini… ini cuma kesalahan bodoh…” Alisha menatap Zian dengan penuh kebencian, matanya tak lagi ragu. "Kesalahan bodoh?" ia mendengus, hampir tertawa penuh amarah. "Kamu memang bodoh, Zian, dan aku pun terlalu bodoh percaya dengan lelaki b******n sepertimu." Zian terdiam, tak tahu harus berkata apa lagi. Alisha bisa merasakan betapa menyesalnya Zian, namun itu tak cukup lagi untuk menebus luka yang ada di hatinya. “Sekarang… sudah cukup.” Alisha berbicara dengan tenang, meskipun hatinya hancur. “Tidak ada kesempatan terakhir untukmu, Zian. Hari ini kita berakhir.” Zian membuka mulutnya, mencoba mengatakan sesuatu lagi, tetapi Alisha segera mengalihkan pandangannya dan berjalan cepat menuju pintu. "Sha, please... Sha!" Zian berteriak, namun Alisha tak mendengarkan. Ia sudah selesai. Begitu pintu apartemen Zian tertutup, Alisha menghela napas dalam-dalam, berusaha menahan tangis yang hampir meluap. Namun, kelegaan datang bersama rasa sakit yang dalam. Ia tahu, ini adalah keputusan yang tepat. Setelah beberapa detik, Alisha mengusap air matanya dengan cepat, tak ingin memberi Zian lebih banyak ruang di pikirannya. Ponselnya berdering, dan meskipun ia tahu siapa yang menelepon, ia menolak panggilan itu dengan tenang. Memasukkan ponselnya ke dalam tas, ia berkata pelan pada dirinya sendiri, "Semua sudah berakhir, Zian." Di dalam mobil, Alisha menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Tidak ada gunanya menyesali sesuatu yang sudah lewat. “Aku akan baik-baik saja,” gumamnya, meyakinkan dirinya. Ia mempercepat laju mobilnya menuju tempat reuni teman-temannya. Meski hatinya masih terluka, ia tahu bahwa sahabat-sahabatnya bisa memberinya kenyamanan yang ia butuhkan. Di tengah perjalanan, pikirannya berputar-putar. Mungkin memang orang tuanya benar selama ini. Zian bukan orang yang tepat untuknya. Mereka sudah merasakan keganjilan dalam diri Zian sejak awal. “Andai aku lebih percaya pada kata-kata mereka,” pikir Alisha, namun ia tahu, penyesalan tak ada gunanya. “Yang penting, aku bisa melangkah maju sekarang.” Alisha menekan gas, meninggalkan segala rasa sakit dan keraguan di belakangnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN