Musuh tak diundang

2137 Kata
Rigel terbangun ketika mendengar suara berisik dari luar mobil. Ia memaksakan matanya perlahan terbuka, mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk mencari sumber suara yang membuatnya terhempas dari tidur nyenyak. Rigel mengucek-ngucek sebelah matanya, rasa kantuk masih mendominasi. Meski kesadaran berangsur mengambil alih tubuhnya. Bersamaan dengan deru suara mesin mobil yang kini terdengar sangat jelas di telinganya. Rigel melihat ke depan, di mana kap mobil depannya terbuka. Lantas ia pun turun saat tak mendapati Joanna di dalam mobil, beranggapan kalau perempuan itu yang sedang membuat bunyi berisik di depan mobilnya. Dan benar saja, ketika keluar dari mobil Rigel menemukan Joanna sedang mencoba memperbaiki mesin mobilnya yang sempat bermasalah akibat tabrakan tadi. "Hai," sapa Joanna ketika menyadari suara langkah kaki Rigel. "Kau sudah bangun?" Joanna melempar senyuman ramah saat Rigel mendekat, setelah itu kembali fokus pada pekerjaannya. "Hm." Rigel hanya bergumam, berhenti di samping Joanna. Ia memperhatikan Joanna yang sedang memperbaiki mesin. "Apa rusaknya cukup parah?" tanya Rigel kemudian. Sejujurnya Rigel merasa sangat bersalah, karena keteledoran yang ia perbuat dan tidak berkonsentrasi sampai mengakibatkan tabrakan. Salah, lebih tepatnya menabrak mobil yang terparkir di sisi jalan. Tapi Rigel merasa heran, kenapa mobilnya bisa rusak hanya karena benturan dengan bodi mobil lain. Sementara sebelumnya mobil itu begitu tangguh layaknya mobil baja. Bukankah memang mobil baja? Karena seingat Rigel mode perlindungan ganda merupakan pelapisan baja pada seluruh bodi mobil sebagai pengamanan utamanya. "Lumayan, kayaknya ada yang konselet deh," kata Joanna, menegakkan badannya lalu menyeka keringat bercucuran di dahi. "Sorry," ucap Rigel. Joanna terkekeh, menepuk pelan bahu Rigel. Tapi Rigel yang ditepuk justru terlihat sedikit terkejut sampai spontan menoleh pada Joanna dengan mata menatap penuh padanya. "It's okay. Ini biasa terjadi kok. Emang mobilnya sering bermasalah kelistrikannya," terang Joanna. Rigel manggut-manggut mengerti. Kemudian ia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Hari memang masih gelap, matahari belum menunjukkan diri meski sudah memasuki waktu pagi. Keadaan sekitar memang terpantau sepi, tapi dengan kondisi gelap tanpa adanya penerangan tidak menutup kemungkinan jika ada musuh yang bersembunyi dan diam-diam mengawasi mereka. Bukankah itu sangat bahayan? "Why?" Joanna bertanya, mengernyit ketika melihat gelagat Rigel. Rigel kemudian mengalihkan pandangan sepenuhnya pada Joanna. Ekspresinya tampak begitu cemas, seolah ada kekhawatiran yang mengganggu pikirannya saat ini. "Ada apa?" tanya Joanna tak sabaran. Pasalnya ekspresi dan diamnya Rigel mengundang tanya besar dalam otak Joanna. Membuat benaknya terus menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi sampai Rigel menatapnya seperti itu. "Rigel." Rigel tersentak, gagal fokus karena menatap terlalu lama wajah Joanna. Tapi pikirannya malah melantur entah ke mana. Agar Joanna tak perlu khawatir seperti itu, Rigel pun menggelengkan kepalanya. "Enggak apa-apa." Rigel melemparkan pandangan ke sekitar lagi. "Hanya sedikit khawatir saja kalau tiba-tiba ada musuh yang menyerang. Secara tempatnya gelap, kita tidak tahu kan kalau semisal ada musuh yang sedang bersembunyi dan mengawasi kita diam-diam. Lalu setelah kita lengah, mereka akan sergap menyerang kita." Rigel akhirnya bisa menerangkan kekhawatirannya pada Joanna. Joanna turut memperhatikan keadaan sekitar, tidak begitu gelap sebenarnya. Apalagi sudah memasuki waktu pagi dan sebentar lagi matahari pun akan muncul. Sebenarnya Joanna tak begitu mengkhawatirkan hal tersebut, karena ia yakin tidak ada musuh yang  akan menyerang secara semua musuh sudah dibabat habis. Tapi melihat Rigel tampak begitu gusar, membuat Joanna mau tidak mau mencari opsi lain untuk menenangkannya. "Bagaimana kalau kau berjaga di sini, sampai aku membereskan semuanya. Jadi semisal ada musuh yang datang setidaknya ada satu yang stand by dan siap menghalau. Gimana? Atau kau punya opsi lain? Karena tidak mungkin kita bersembunyi di dalam mobil terus-terusan. Bukankah perjalanan misi kita baru saja dimulai?" Joanna mengajukan pilihan pada Rigel, membiarkan lelaki itu yang memilih sendiri ingin opsi seperti apa. Rigel menghela napas panjang, ia tak punya ide apa pun, jadi solusi satu-satunya ya mengikuti apa yang diusulkan Joanna saja. Seenggaknya itu sedikit mengurangi kekhawatirannya akan musuh yang bisa saja datang tiba-tiba. "Baiklah, aku akan mengambil s*****a untuk berjaga-jaga," ucap Rigel kemudian, menyetujui usul yang Joanna berikan. "Oke." Joanna tersenyum lebar, setelahnya kembali sibuk meneruskan pekerjaannya yang sempat terhenti. Tanpa mereka sadari memang ada seseorang dari kubu musuh yang sedang mengintai keduanya. Diam-diam mengawasi dan menunggu Rigel dan Joanna lengah. Tapi ketika melihat Rigel keluar dari mobil dengan membawa senapan laras panjang, sontak saja hal itu memupuskan harapan orang tersebut. "s**l!" Orang itu yang tidak lain ialah Jorce mengumpat kesal. "Harusnya aku tadi langsung menyerang saja," ungkapnya, menyesali keraguannya tadi. Kini sekarang ia tak bisa berbuat apa-apa selain terus mengawasi. "Semua gara-gara luka s****n ini!" Jorce yang kesal melampiaskannya pada luka tembak di pahanya. Luka tembak yang Joanna beri sebelumnya dan menjadi acuan Jorce untuk balas dendam pada perempuan itu. Meski kawanannya tak lagi bersisa dan menyisakan dirinya seorang diri, tapi Jorce tak gentar sama sekali. Ia justru semakin bertekad untuk membalaskan dendam rekan-rekannya yang telah di binasakan oleh Joanna dan Rigel. "Aaarrrggghh!!" Jorce mengerang kesakitan ketika ia terlalu keras memukul lukanya. "s**t———" Setelahnya is spontan membungkam mulutnya karena menyadari suaranya yang cukup keras bisa saja mengundang perhatian lawan. Benar saja, Rigel yang sepertinya mendengar suara erangan Jorce barusan langsung sigap mengangkat senjatanya. Ia mengarahkan moncong s*****a laras panjangnya ke segala arah, seolah bersiap menembak apa pun yang dirasanya mencurigakan. Jorce pun panik, mengurungkan niat untuk menyerang. Ia sadar betul dengan kondisinya yang sekarang mustahil bisa mengalahkan Rigel dan Joanna. Apalagi ia hanya membawa pistol dengan peluru terbatas, berbanding terbalik dengan pihak lawan yang memiliki persediaan s*****a banyak setelah menjarah markasnya. Sepertinya sekarang pilihan terbaik untuk Jorce ialah kembali ke markas, mempersiapkan diri secara matang sekalian menyembuhkan lukanya. Siapa tahu ada rekannya yang kembali, Jorce sangat berharap ada satu orang saja dari kawanannya yang tersisa. Walau rasanya terlalu mustahil ada yang selamat, tapi sekali lagi Jorce hanya bisa berharap lebih. "Tunggu waktunya tiba, aku akan membalaskan dendam rekan-rekanku pada kalian. Terutama kamu, perempuan sinting yang sudah membuat kakiku terluka!" Jorce menatap tajam ke arah Rigel dan Joanna berada, ia berkata lirih sebelum akhirnya memutuskan kembali ke markas. Sementara Joanna yang sedang sibuk menyambung kabel yang putus, perhatiannya teralihkan oleh gelagat Rigel yang terus mondar-mandir sambil mengarahkan moncong s*****a laras panjangnya ke segala arah. Seolah-olah lelaki itu sedang mengintai musuh. Joanna menarik tubuhnya ke posisi tegak berdiri. Lalu bertanya saat Rigel kembali ke sampingnya. "Ada apa?" "Apa kau tak mendengar? Barusan aku mendengar sebuah suara. Aku yakin ada musuh yang sedang mengawasi kita," kata Rigel, masih memandang ke segala arah dengan waspada. "Suara?" Joanna menaikkan sebelah alisnya. Kemudian ikut memperhatikan keadaan sekitar yang terpantau masih sepi. Tidak ada hal mencurigakan menurutnya. "Suara apa?" "Aku mendengar seseorang mengerang, lalu mengumpat. Aku yakin kalau tadi suaranya dari arah sekitar sana." Rigel menunjuk lurus ke arah jalanan di belakang mobilnya, di mana jalanan itu terlihat gelap ditambah banyak mobil-mobil liar yang terparkir sembarangan di setiap sisi jalan. "Kau yakin?" Joanna mengecek lebih dekat ke arah yang ditunjuk oleh Rigel. Memantau lebih jeli keadaan di depannya. Tapi tetap saja tidak menemukan apa pun yang mencurigakan. "Sungguh, aku benar-benar mendengar suaran erangan dari sana." Rigel tetap kekeh, ia sangat yakin kalau pendengarannya tidak mungkin salah. Joanna berbalik menghadap Rigel, memperhatikan gurat keseriusan dari ekspresi lelaki itu. Joanna percaya kalau Rigel tidak mungkin berbohong, lagi pula untuk apa juga Rigel berbohong karena tidak ada untungnya lelaki itu melakukan hal seperti itu. Lantas, untuk memastikan apakah ucapan Rigel benar atau tidak, Joanna berinisiatif mengeceknya sendiri. "Kau mau apa?" tanya Rigel saat Joanna kembali ke dalam mobil dan mengambil sesuatu dari tas ranselnya. Joanna mengambil senter dan pistol andalannya bewarna pink. Ia menunjukkan kedua benda itu pada Rigel saat keluar dari mobil. "Apa yang mau kau lakukan dengan kedua benda itu?" Rigel kembali bertanya saat melihat senter dan pistol di kedua tangan Joanna. Tampak kebingungan, mencoba menerka-nerka sendiri apa yang akan Joanna lakukan. "Apalagi, tentu saja aku akan mengeceknya dan memastikan sendiri apakah ada musuh atau tidak di sana." Joanna mengedikkan dagunya ke jalanan depan sana. Namun, Rigel malah menahan tangan Joanna, mencegahnya untuk pergi ke sana. "Jangan ke sana, terlalu berbahaya. Bagaimana jika ternyata benar ada musuh di sana, lalu musuh itu langsung menyerangmu?" Joanna tergelak, lucu melihat ekspresi khawatir Rigel yang menurutnya terlalu berlebihan. Seakan-akan musuh yang akan dihadapinya seekor beruang ganas yang menyeramkan. Lantas Joanna menepuk pundak Rigel, mencoba memberikan pengertian agar lelaki itu tidak mencemaskannya secara berlebihan. "Tidak akan, kalaupun ada musuh aku bisa menjaga diri dengan ini." Joanna tersenyum lebar, menggoyangkan pistol yang dipegangnya. Rigel mengembuskan napas panjang, tak bisa memaksakan kehendaknya pada Joanna. Walau ia tidak ingin Joanna pergi ke sana, tapi kenyataannya Joanna sendiri yang tetap kekeh ingin mengecek tempat itu sendiri. "Kalau begitu kita cek bareng-bareng," kata Rigel yang pada akhirnya membiarkan Joanna mengecek tempat itu, ia juga mengusulkan diri untuk mengeceknya bersama-sama. Namun, Joanna menggelengkan kepala yang artinya ia menolak tawaran Rigel untuk mengecek tempat itu bersama-sama. "Aku bisa sendiri. Kau di sini saja. Takutnya ini jebakan, mereka sengaja memancing kita ke sana agar bisa mengambil kembali hasil jarahan kita di dalam mobil." Ucapan Joanna memang cukup masuk akal. Di dalam mobil terdapat persediaan makana dan s*****a yang mereka curi dari kawanan perampok. Tentu saja hal itu mengundang para kawanan itu untuk mengambil kembali dan bisa saja mereka memakai cara licik seperti ini agar bisa mengecoh Joanna dan Rigel  "Apa tidak apa-apa kalau kau pergi sendiri?" Rigel masih tidak rela melepas Joanna pergi sendiri. Padahal tempat yang akan dicek oleh Joanna hanya berjarak beberapa meter saja dari posisi Rigel sekarang. Joanna terkekeh, entah apa yang lucu. Tapi menurutnya sikap Rigel yang terlalu mencemaskannya itu begitu lucu, karena sebelumnya lelaki itu seakan tidak peduli dengan dirinya. "Why? Apa kau pikir aku akan ditelan kegelapan? Ayolah, sebentar lagi matahari juga muncul. Lagi pula aku yakin di sana tidak ada apa-apa, jadi nggak perlu mencemaskan aku terlalu berlebihan seperti itu." "Siapa yang berlebihan? Aku nggak berlebihan mencemaskanmu." Rigel salah tingkah, mengelak tuduhan Joanna dan menyanggahnya dengan alibi lain. "Aku hanya tidak mau kau kenapa-napa saja, karena kalau kau sampai kenapa-napa, terus bagaimana nanti caranya aku keluar dari sini." Rigel buru-buru membuang muka ke sembarang arah saat matanya tak sengaja beradu dengan mata Joanna yang sedang menatapnya. "Oh, aku pikir karena kau memang terlalu mencemaskan keadaan aku. Tapi ternyata bukan. Ya sudahlah." Wajah Joanna tampak kecewa, tapi sebisa mungkin ia tetap tersenyum. Kemudian melangkah pergi untuk mengecek keadaan di depan sana. Rigel mengalihkan pandangannya, memandang punggung Joanna yang sudah melangkah ke depan sana. "Sebenarnya aku mencemaskanmu, Jo. Aku takut kamu kenapa-napa. Aku belum siap. Entah bagaimana jika aku tanpamu, aku tak yakin bisa bertahan sendirian di sana." Rigel menghela napas kasar, ia terlalu cemen untuk mengungkapkan perasaan ketakutannya akan kehilangan Joanna pada perempuan itu. Gengsi juga jadi alasan yang membuatnya tak berani mengutarakannya langsung pada Joanna. Sementara Joanna terus melangkah maju, mengarahkan senter ke depan untuk melihat keadaan sekitarnya. Tampak begitu sunyi, sepi dan tak ada apa pun. Keadaannya masih cukup gelap seperti waktu subuh. Karena Joanna tak punya jam, begitu juga Rigel maka ia tak bisa mengetahui dengan pasti waktunya. Hanya bisa mengira-ngira saja, mengandalkan gerak matahari saat siang dan cahaya bulan ketika malam. Kadang juga sama sekali tidak tahu waktu ketika keduanya tidak muncul. "Jo!" Teriakan Rigel terdengar, menginterupsi langkah Joanna yang refleks menoleh ke belakang di mana Rigel berada. "Kau menemukan sesuatu? Apa ada tanda-tanda yang mencurigakan?" Joanna menggeleng maklum, tersenyum tipis. Ia memastikan sekali lagi kalau keadaan di sini benar-benar sepi dan tidak ada tanda-tanda keberadaan musuh ataupun orang di sini. Setelah itu ia kembali menghampiri Rigel. "Bagaimana?" tanya Rigel saat melihat kemunculan Joanna berjalan ke arahnya. Joanna menggelengkan kepalanya, lalu menjelaskan keadaan di tempat tadi pada Rigel. "Tidak ada apa-apa di sana, hanya jalanan gelap dan mobil-mobil tua yang terparkir di sepanjang jalan." "Kau yakin?" Rigel seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya dari Joanna. Ia yakin kalau tadi mendengar suara seseorang yang mengumpat, tapi Joanna sudah mengeceknya dan tidak ada siapa pun di sana. Apa iya kalau pendengarannya salah? Rigel terdiam, sibuk memikirkan berbagai spekulasi. "Sudahlah, tak perlu dipikirkan. Lebih baik kau masuk saja, istirahat," ucap Joanna yang sudah kembali mengurusi pekerjaannya yang terbengkalai. "Tapi Jo." Rigel sontak berbalik, tetap yakin dengan pendengarannya tadi. Ia tidak mungkin salah dengar. "Rigel, cukup. Aku sudah mengeceknya sendiri dan tidak ada apa pun di sana." Begitu juga dengan Joanna yang kekeh dengan jawabannya karena ia sudah memastikannya sendiri. "Aku tidak mau berdebat Rigel, aku harus menyelesaikan ini secepatnya agar kita bisa segera pergi dari sini, karena memang bisa saja musuh tiba-tiba datang atau yang lebih parah agen biro kontrol yang datang." Baru saja Joanna selesai bicara, tiba-tiba alarm mobilnya berbunyi menandakan adanya bahaya di sekitar mereka. Karena memang sebelumnya Joanna mengaktifkan alarm untuk berjaga-jaga jika ada musuh yang datang selama ia mengerjakan pekerjaannya dan Rigel yang tertidur pulas. "s**t!" Joanna mengumpat, segera menutup kap mobilnya. "Rigel masuk!" Ia juga menyuruh Rigel masuk ke mobil. Rigel terlihat ingin protes, tapi Joanna dengan cepat mendorongnya masuk ke mobil. "Cepat Rigel!" seru Joanna panik setengah mati ketika mengetahui kedatangan musuh tak diundang. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN