Tabrakan

1517 Kata
Rigel mengedip-ngedipkan mata, syok sekaligus tak percaya akan apa yang baru saja menimpanya. Jantungnya serasa berhenti untuk beberapa detik ketika tabrakan tak dapat dihindari dan mengakibatkan benturan sangat keras ketika mobil yang dikemudikannya menabrak mobil terbengkalai yang terparkir di sisi kanan jalan. Rigel yang sempat tidak fokus karena melihat wajah Joanna dengan jarak yang begitu dekat di depan matanya, apalagi ketika netranya terfokus pada luka di kening perempuan itu yang hanya dibalut dengan slayer. Terlalu sibuk memperhatikan Joanna sampai Rigel tak berkonsentrasi penuh dengan mobil yang sedang dikendarai. Alhasil mobil tersebut oleng keluar dari jalur dan menghantam mobil yang terparkir di sisi jalan. Rigel mengembuskan napas berat saat melihat kepulan asap pekat muncul dari kap mobil depan yang sedikit terbuka karena benturan tersebut. Tangannya yang tadi berusaha mengendalikan laju mobil pun masih gemetaran mencengkram erat stir mobil. Sekali lagi Rigel merasakan nyawanya dicabut beberapa detik, lalu dikembalikan dalam keadaan syok berat. "Kau tidak apa-apa?" Suara serak Joanna menyadarkan Rigel dari keterkejutan. Rigel refleks menoleh ke spion di atasnya untuk melihat keadaan Joanna di bangku belakang. Perempuan itu menegakkan duduknya, setelah sebelumnya kepala Joanna membentur keras dasbor dan terhempas kasar ke belakang sampai terjungkal ke bawah akibat tabrakan barusan. "Apa kau baik-baik saja?" Joanna kembali bersuara, memperhatikan Rigel yang masih menatapnya lewat kaca spion. "Ada yang sakit?" tanyanya lagi saat Rigel tak memberinya jawaban dan memilih diam, ditambah tatapannya yang sulit untuk dijabarkan dengan kata-kata. "Rigel." Namanya dipanggil barulah Rigel tersadar, buru-buru menurunkan pandangannya saat sadar mata mereka tengah saling beradu. Rigel tak mengerti kenapa jantungnya selalu berdetak lebih cepat seperti ini tiap kali berada di dekat Joanna dan perasaan aneh yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata selalu mengganggu benaknya dan mengacaukan pikirannya sesaat. "Rige, are you okay?" Joanna mengernyit, merasa keheranan akan tingkah laku Rigel yang terus diam dengan gelagat mengkhawatirkan. Karena Rigel juga tak kunjung memberinya respon. Joanna jadi ikut khawatir, takut jika kecelakaan barusan membuat Rigel lupa ingatan karena kepalanya yang membentur dasbor. Dugaannya tersebut diperkuat dengan tingkah laku dan cara Rigel menatapnya, seolah-olah lelaki itu seperti tidak mengenalinya dan mencoba mengingat-ingat akan wajahnya yang mungkin saja terasa sangat asing baginya. "Rigel———" "I am okay, Joanna." Panggilan kesekian kali barulah Rigel menyahut. Setelah menormalkan detak jantungnya yang bekerja di luar kendali, disusul napasnya yang ikut-ikutan memburu membuat Rigel butuh waktu cukup lama untuk merespon pertanyaan khawatir dari Joanna. "Syukurlah kalau kau baik-baik saja. Aku sangat khawatir, aku pikir kau amnesia. Walau rasanya agak aneh sekali kalau kau mengalami amnesia di dunia semacam ini." Joanna terkekeh geli, mencoba mencairkan suasana yang terasa begitu canggung di antara keduanya. Rigel membalas perkataan Joanna tersebut dengan seulas senyum tipis. Mencoba bersikap normal seperti biasa walau jantungnya kembali dibuat ketar ketir saat menatap wajah berseri Joanna ketika terkekeh. Mata Joanna yang menyipit saat tertawa menarik perhatian Rigel, apalagi senyuman lebar Joanna. Manis dan menakjubkan, begitu teduh juga menenangkan, wajah Joanna seperti magnet yang membuat Rigel tak bisa berkedip. Shit What the hell! Are you crazy, Rigel!!! Rigel buru-buru berpaling ke jendela samping, menatap apa pun yang ada di luar jendela mobil sebagai pelarian. Ia mengenyahkan segala pikiran tentang Joanna yang sekarang ini berkeliaran dalam otaknya dan semakin merajalela sampai menguasai sepenuhnya pemikiran Rigel. Rigel benar-benar mengutuk perasaan aneh serta pemikiran konyol tersebut. Ia sekali lagi menegaskan kalau perasaan dan pemikirannya tentang Joanna bukanlah sebuah ketertarikan, hanya sekadar perasaan semu yang seharusnya tidak pernah muncul dalam benak apalagi sampai menguasai otaknya. Rigel tak habis pikir kenapa juga ia harus memiliki perasaan tak jelas itu, ditambah pikirannya yang jadi tak fokus hanya karena senyuman Joanna. Ini sangatlah konyol, karena menurutnya situasi sekarang tidak cocok untuk melakukan hal-hal seperti itu. "Aissh, darah ini. Kenapa keluar lagi." Suara Joanna yang disertai ringisan kesakitan menarik perhatian Rigel kembali. Kali ini Rigel tak menatap Joanna lewat kaca spion di atasnya, tapi secara spontan menoleh ke belakang langsung untuk melihat apa yang terjadi kepada Joanna. "Kau terluka?" Mata Rigel langsung terfokus pada kening Joanna yang berdarah-darah saat slayer yang tadi menutupi luka di kening dibuka oleh Joanna. "Oh, ini." Joanna menunjuk luka di keningnya. "Bukan apa-apa, cuma luka kecil. Tadi aku tak sengaja menabrak rak dan keningku terbentur sisi rak besi, alhasil keningku tergores sedikit. Padahal tadi darahnya sudah berhenti mengalir, tapi kayaknya gara-gara kena dasbor barusan jadi keluar lagi———" Joanna tercekat, ketika ia hendak menyeka darah di keningnya dengan slayer tapi langsung ditahan oleh Rigel. Rigel mencengkram erat tangan Joanna, mengambil alih slayer dari tangan Joanna yang niatnya akan dipakai untuk menyeka darah segar yang mengalir dari luka di keningnya. "Kotor," ucap Rigel, membuang slayer itu keluar. "Yah kok di buang ...." Joanna mendesah berat ketika slayer miliknya yang sudah ternoda darah itu dibuang begitu saja ke luar jendela mobil. "Sudah kotor, buat apa juga masih dipertahankan," kata Rigel, lalu memberikan sapu tangan miliknya kepada Joanna. "Pakai ini." Joanna memandang sapu tangan yang diulurkan Rigel. Tampak ragu-ragu, terlebih ketika melihat sapu tangan Rigel bewarna putih. Joanna merasa tidak enak hati untuk mengotori sapu tangan Rigel dengan darah segar dari luka di keningnya. Lantas, Joanna pun menolak sapu tangan tersebut. "Tidak usah, aku bisa menyekanya dengan tangan———" Lagi-lagi Joanna tercekat, terkesiap karena Rigel mencengkram satu tangannya yang terbebas ketika berniat ingin menyeka darah di keningnya. Dan sekarang kedua tangan Joanna dipegangi sama Rigel. "Kenapa keras kepala sekali sih kalau dikasih tahu." Rigel menatap tajam Joanna, ekspresinya begitu serius sampai Joanna tak bisa berkata-kata. "Tangan kamu kotor, kalau lukanya malah infeksi gimana?" Joanna terkekeh mendengar penuturan Rigel dan hal itu membuat Rigel mengerutkan keningnya, tampak kebingungan akan reaksi dan ekspresi yang Joanna berikan. "Kenapa tertawa? Memangnya ada yang lucu?" ucap Rigel, agak tersinggung karena Joanna malah menertawakan ucapannya. Padahal Rigel hanyalah bersikap peduli pada lukanya, tapi malah mendapatkan tanggapan seperti itu. "Tentu saja ada, kata-katamu barusan yang lucu." Joanna tertawa renyah, menarik kedua tangannya dari cengkraman Rigel dan langsung menyeka darah di keningnya menggunakan tangan kananya di depan mata Rigel. Sontak saja Rigel melotot, spontan ingin menghentikan tapi sudah terlambat karena pergerakan Joanna yang cepat. Dan Joanna sekali lagi menertawakan Rigel atas sikapnya barusan. "Why?" Joanna tersenyum lebar. "Apa kau mengkhawatirkan lukaku akan infeksi. Tentu saja tidak, ini dunia game——" "Lalu kalau dunia game kenapa?" potong Rigel, menyela ucapan Joanna. "Memangnya kalau di dunia game semuanya jadi beda? Apa terus kita tidak boleh berpikiran logis?" Rigel berdecak kesal. "Buktinya kau tetap merasakan luka, lalu apa bedanya dunia ini sama dunia kita." Joanna terdiam, tak menyangka Rigel akan meresponnya sejauh ini. Joanna juga merasa keheranan atas hal tersebut. Ia juga tak menemukan jawabannya dan memilih menganggap kalau dunia ini konyol. Tapi kalau dipikir-pikir, semua yang dialaminya di sini sama persis dengan yang ia alami di dunia nyata. Ia tetap merasa sakit saat terluka dan juga membutuhkan asupan makanan saat merasa lapar, ia juga tetap melakukan hal-hal seperti yang dilakukan di dunia nyata, seperti panggilan alam yang tak bisa diabaikan. Bukankah itu semua sama persis dengan yang terjadi di dunia nyata? Mungkin yang membedakan adanya hal-hal di luar nalar yang terjadi di sini. Contohnya saja benda-benda yang seperti memiliki kekuatan sihir dan tak bisa diterangkan dengan logika. Kayak kantong darah yang diberikan Rigel sekarang, bagaimana bisa darah fermentasi bisa menyembuhkan luka dengan cepat. Bahkan bisa menghapus bekasnya juga. Bukankah itu tidak masuk akal? "Nih, minum." Rigel menarik tangan Joanna, memaksa Joanna menerima kantong darah yang ia ambil dari hasil jarahan Joanna sebelumnya. "Dan bersihkan lukamu." Rigel juga memberikan sebotol air serta sapu tangan miliknya yang sebelumnya ditolak Joanna. Setelah itu Rigel langsung berbalik, karena enggan jika Joanna akan menolaknya dan mengembalikan sapu tangannya seperti tadi. Joanna yang menyadari Rigel begitu tulus dan mengkhawatirkan lukanya, ia pun tak berniat untuk mendebat ataupun menolak pemberian Rigel tersebut. Ia tersenyum lebar, diam-diam merasa tersentuh karena ada yang mengkhawatirkan dirinya sampai seperti itu, membuat Joanna jadi merindukan kehidupannya di dunia nyata. Ia merindukan keluarganya, berharap bisa berkumpul kembali. Tapi mungkinkah bisa? Sementara dirinya saja sudah lama terjebak di sini. "Percuma dilihatin terus, nggak bakal berubah jadi emas," celetuk Rigel yang memperhatikan Joanna lewat kaca spion. Joanna yang tersentak oleh suara Rigel seketika mengangkat pandangannya dan mata mereka pun saling beradu lewat kaca spion. Namun, Rigel buru-buru memutus kontak mata itu dan membuang muka ke samping. Sok sibuk memandangi apa saja yang ada di luar dari jendela mobil. Joanna terkekeh pelan, tahu kalau Rigel sedang salah tingkah. Apalagi pipinya saja sampai bersemu. Tapi Joanna tak berniat menggoda dan membiarkannya. Ia hanya mengatakan ucapan terima kasih atas pemberian Rigel. "Thank's buat ini." Joanna mengangkat sapu tangan dan kantong darahnya. "Hm." Rigel hanya bergumam, masih pura-pura menyibukkan diri dengan menatap ke luar jendela. Padahal diam-diam ia melirik lewat spion di sisi luar, tersenyum senang saat melihat Joanna meminum kantong darah pemberian darinya dan juga menyeka darah di luka keningnya dengan sapu tangan miliknya. Rigel merasa ada kebanggaan tersendiri saat Joanna memakai sapu tangan miliknya. Namun, ia menyadari sesuatu yang aneh kembali berkuasa dalam hati kecilnya. Sesuatu yang tak bisa dienyahkan dan juga tidak bisa dijelaskan secara rinci dengan kata-kata. Sesuatu yang sangat aneh dan membuat Rigel bertanya-tanya. Perasaan macam apa ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN