Rigel tak pernah membayangkan sebelumnya, bahwa dirinya akan berakhir mengenaskan, meninggal di dunia antah berantah, tanpa satu pun orang di sisinya. Jatuh dari ketinggian atap gedung lima lantai, rasanya mustahil ia akan selamat. Hanya saja yang Rigel sesalkan sampai di titik terakhir hidupnya, kenapa ia harus terdampar di sini? Kenapa? Itu masih menjadi tanda tanya besar dalam benaknya dan sepertinya akan ikut terkubur tanpa adanya jawaban bersama dirinya yang meninggalkan dunia fana ini.
Sebelum Rigel benar-benar memejamkan mata, senyumnya masih sempat terbit ketika bayangan wajah kedua orangtuanya menghias langit. Wajah kedua orangtuanya yang melambaikan tangan seraya tersenyum hangat kepadanya. Seolah mereka tengah menyambutnya pulang, disusul suara-suara keduanya yang bergema di telinga Rigel.
"Rigel, pulang nak. Kami merindukanmu."
Namun, akankah Rigel pulang ke dunia nyata, atau justru pulang kepada sang Maha pencipta. Walau opsi pertama yang Rigel harapkan, tapi sekali lagi opsi kedua lebih kuat. Tubuhnya melayang dari ketinggian gedung lima lantai, di bawahnya mobil-mobil berjajar di sepanjang jalan beraspal. Mungkinkah ia akan selamat saat tubuhnya menghantam ke bawah? Tentu saja jawabannya tidak, mustahil ia akan selamat. Sebab itu Rigel pasrah dan memilih menutup matanya.
Maafkan Rigel, pa, ma. Rigel sayang kalian.
"Tembak!!!" Seruan tiba-tiba memaksa Rigel membuka mata, disusul suara tembakan yang menghentak jantungnya sampai berdebar tak karuan.
"JANGAN BIARKAN DIA LOLOS!!!"
"KEJAR!!!"
Bersamaan dengan teriakan nyaring dari atas dan suara tembakan di sekelilingnya, tubuh Rigel terhempas dengan kasar. Punggungnya yang kokoh menghantam sesuatu cukup keras, tapi anehnya ia tidak merasa begitu kesakitan. Seakan di bawahnya bukanlah jalanan keras beraspal, melainkan bantalan empuk yang membuat tubuhnya tak merasakan sakit berlebih.
"TEMBAK!"
"Jangan biarkan mobil itu kabur!"
Rigel yang belum menyadari sepenuhnya apa yang terjadi, di saat dirinya tengah bertanya-tanya; apakah ia sudah mati? Apakah sekarang ia sudah ada di alam baka? Suara-suara kesal dari atas gedung kembali memekakkan gendang telinga, begitu nyaring sampai rasanya Rigel ingin menyumpal mulut orang yang berteriak dengan sepatunya.
Tapi tunggu.
Rigel terdiam sesaat, mengontrol diri dan mencoba menguasai keadaannya. Perlahan matanya bergerak dan ia baru menyadari jika sesuatu di bawahnya tengah berjalan. Ketika ia melihat apa yang ada di bawahnya, barulah ia melebarkan mata, terkejut luar biasa. Rigel tak menyangka jika dirinya jatuh di atas sebuah mobil dengan bantalan empuk di atasnya, pantas saja ia sempat merasakan badannya mental.
Tapi siapa yang menyelamatkannya?
Rigel seketika panik, takut jika dirinya bukannya selamat malah dalam bahaya yang lebih besar. Ketakutan jika ternyata itu mobil anggota agen biro kontrol, sontak Rigel mengecek dengan melongokkan kepala ke samping untuk melihat siapa yang mengemudikan mobil tersebut. Dan saat ia melihat siapa yang berada di balik stir kemudi, Rigel semakin terkejut.
"Joanna?" Rigel tak menduga jika yang menyelamatkannya Joanna. Perempuan itu menepati janjinya untuk kembali menyelamatkannya dari kejaran para perampok ganas.
"Kau baik-baik saja?" teriak Joanna dari dalam mobil, menyembulkan kepalanya sekilas keluar dari jendela mobil. Sebelum akhirnya kembali fokus mengemudikan mobilnya dengan kecepatan penuh, pasalnya para perampok itu masih mengejar mereka.
"Bagaimana bisa kau———" Awalnya Rigel ingin bertanya pada Joanna, tapi perempuan itu dengan cepat memotong ucapannya.
"Jangan banyak bicara, lebih baik kau bersiap menghindar." Baru saja mulut Joanna selesai berkata, dari arah belakang sebuah tembakan mengejutkan keduanya.
Rigel yang berada di atas mobil, spontan tiarap dan mencengkram apa saja untuk pegangan agar dirinya tidak jatuh. Karena saat ini Joanna makin menggila mengendarai mobilnya, ugal-ugalan dan mulai oleng demi menghindari setiap peluru yang meluncur cepat ke arahnya.
"Rigel? Kau baik-baik saja?" Joanna kembali berteriak dari dalam mobil, bertanya tentang keadaan Rigel di atas sana.
Rigel mempererat pegangannya pada besi di depannya, memiringkan tubuhnya sedikit agar kepalanya bisa melihat Joanna dari samping. "Aku baik-baik saja, kau sendiri?"
"I am okay," jawab Joanna, tetap fokus memperhatikan jalanan di depan yang berkelok-kelok. Jalanan kecil dan sempit yang diapit gedung-gedung tinggi terbengkalai.
Duar!
Joanna spontan mengerem mendadak saat jalan di depannya meledak. Napasnya terengah, jantungnya serasa baru meloncat keluar. Tapi ia tak punya waktu untuk terdiam lama menatapi kobaran api yang menghalangi jalannya. Joanna melongokkan kepala keluar jendela, mendongak ke atas dan dengan cepat tahu apa yang terjadi.
"s**l!" Joanna mengerang kesal saat melihat drone-drone yang sempat menyerangnya di awal kini kembali mengejar dan menembaki mobilnya. Lantas Joanna segera menarik persneling dan kembali melajukan mobilnya, mengambil ke sisi kiri dan masuk ke sebuah jalanan g**g yang lebih sempit dari sebelumnya.
"Rigel!" Joanna berteriak memanggil Rigel.
Rigel yang masih merapatkan diri pada bantalan empuk di atas mobil, seketika mengangkat kepalanya saat mendengar Joanna memanggil. Kali ini ia tidak memiringkan tubuhnya ke samping, tetap diam di posisinya. Pasalnya tembakan-tembakan itu masih menyerang dan Rigel sangat ketakutan, mencoba menghindari.
"Rigel!" Joanna kembali memanggil karena Rigel tak kunjung merespon panggilannya. "Rigel!" Panggilan ketiga kalinya barulah Rigel menyahut.
"Apa?" Rigel mencoba menyembulkan kepalanya sedikit untuk melihat Joanna.
"Cepat masuk!" perintah Joanna.
"Ya?" Rigel kaget mendengar apa yang diperintahkan Joanna. Bagaimana bisa ia masuk sementara Joanna tetap menjalankan mobilnya secepat mobil F1. Ditambah serangan-serangan yang diluncurkan musuh, bisa kapan saja mengenai Rigel jika dirinya tidak menghindari. Dan menurut Rigel tak ada cara teraman kecuali meringkuk dan jangan bergerak.
Tapi sepertinya bukan itu yang diinginkan Joanna. Perempuan itu tetap menyuruhnya masuk meski tahu kondisinya tidak memungkinkan. "Rigel, buruan masuk. Kau bisa mati jika terus di sana!"
Ya, resiko mati tertembak memang lebih besar. Tapi jika ia bergerak untuk masuk, resiko jatuh tertembak dan menghantam kerasnya jalanan beraspal jauh lebih memungkinkan akan terjadi. Rigel tak mampu membayangkan akan seperti apa tubuhnya jika ia terjatuh dari mobil yang melaju kencang. Mungkin kepalanya akan langsung hancur berkeping-keping, disusul tubuhnya yang remuk tak berbentuk.
"Rigel, tunggu apa lagi?" Joanna gemas karena Rigel tak kunjung masuk ke dalam mobil. Sementara dari kejauhan, mobil para perampok sudah mulai menampakkan wujudnya dan drone-drone s****n yang tak berhenti melakukan p*********n. "RIGEL!!!"
Rigel yang tengah berpikir, tersentak kaget oleh teriakan Joanna. Namun, ia masih diam belum bereaksi melakukan apa pun. Setidaknya harusnya Rigel segera bergerak masuk, karena Joanna takut jika tembakan peluru dari drone-drone itu akan mengenainya. Tapi sepertinya Rigel tak memahami ketakutan dan kekhawatiran Joanna.
"Rigel, kau tak mau masuk? Oke, terserah. Tapi aku tak bisa terus menolongmu, jangan salahkan aku jika kau tertembak lagi!" Joanna berteriak lebih lantang agar Rigel mendengar dan itu ucapan terakhir perempuan itu. Ia sudah malas membujuk Rigel yang keras kepala.
Rigel mengembuskan napas kasar, menatap drone-drone yang mengejar semakin mendekat. Bahkan salah satu dari mereka mulai menyorotkan sinar merah pada dirinya, tahu jika sinar merah itu merupakan titik bidikan. Seketika Rigel panik dan buru-buru bangun.
"Jo!" Rigel berteriak, tapi Joanna enggan menyahuti. "Joanna, pelankan sedikit, aku akan masuk." Rigel merayap ke samping, di mana Joanna langsung membukakan kaca jendela bagian belakang.
Rigel berusaha masuk, tapi sialnya salah satu drone menembak. Beruntung Joanna memperhatikan dengan jeli, ia membanting stir ke kanan sehingga tembakannya meleset tak mengenai Rigel. Namun, hal naas terjadi, Rigel terhempas dari atas mobil, walau akhirnya ia tetap bisa bertahan dengan bergelayutan di pinggiran mobil.
"Buruan Rigel!" Akhirnya Joanna berteriak lagi.
"Aku sedang berusaha," sahut Rigel. Tangannya gemetaran, mencoba masuk lewat celah jendela.
Namun, baru saja Rigel memasukkan kepala ke mobil lewat jendela samping. Joanna terpaksa harus membanting stir lagi ke arah samping saat melihat deretan mobil yang menghadang. Ditambah para agen biro kontrol yang tengah menunggu.
"s**l!" Joanna mengumpat, terdesak. Ia menatap tajam ke depan, sembari berpikir untuk melewati mereka semua.