Joanna menahan napas, tubuhnya menegang dalam dekapan erat Rigel yang baru saja menyelamatkan dirinya dari serangan drone-drone s****n yang mengikuti mereka berdua. Tapi sepertinya suara drone tak lagi terdengar, itu artinya mereka sekarang sudah aman.
"Rigel." Joanna memanggil nama Rigel, karena lelaki itu tak kunjung melepaskan pelukannya. "Rigel, are you okay?" Diamnya Rigel justru membuat Joanna jadi khawatir, takutnya serangan peluru tadi melukai Rigel. "Ri——" Ia tercekat saat suara napas Rigel langsung terdengar, untungnya lelaki itu masih bernyawa.
Rigel mengembuskan napas kasar, matanya perlahan terbuka ketika mendengar Joanna memanggil namanya. Sedari tadi ia berpikir dirinya telah mati karena terkena tembakan, tapi ternyata ia hanya tak sadarkan diri sesaat. Jaket Joanna benar-benar berfungsi dengan sangat baik, melindungi tubuhnya dari serangan yang dilancarkan drone-drone tadi.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Joanna lagi karena Rigel belum melepaskan pelukan padanya.
"Hm." Rigel hanya bergumam, lalu tersadar jika tengah memeluk Joanna. Sontak ia segera melepaskan pelukan, seketika bangun dan terlihat sangat kikuk. "Kamu sendiri, apa ada yang terluka?" tanya Rigel, tampak canggung sampai tak berani memandang Joanna yang tengah bangun.
"I am okay. Thank's, udah nolongin aku," ucap Joanna, memamerkan senyuman manisnya. Lalu netranya melihat ke arah lengan kanan Rigel dan teringat akan luka sebelumnya. "Apa lenganmu baik-baik saja?" Joanna hendak menyentuhnya, tapi Rigel yang menyadari buru-buru menghindar.
"Iya. Lenganku nggak apa-apa, nggak perlu ada yang kau khawatirkan. Sekarang apa yang harus kita lakukan, bukankah kau bilang kalau waktu kita tidak banyak?" Rigel mengingatkan Joanna akan tujuannya datang ke sini.
"Emm, oke." Joanna menghela napas, tak mengambil pusing sikap Rigel barusan. Walau ia tahu kalau Rigel terkesan menolak untuk disentuh, padahal ia hanya ingin memastikan keadaan lengannya baik-baik saja.
Joanna mengambil sebuah denah lokasi dari dalam tasnya, melebarkan kertas itu di atas lantai agar Rigel juga bisa melihatnya. Denah lokasi itu menunjukkan setiap tempat pada gedung perbelanjaan, di mana Joanna dan Rigel saat ini berada. Butuh waktu lama untuk Joanna membuat denah tersebut, melakukan riset langsung di lokasi. Bahkan ia sampai membahayakan dirinya sendiri karena para perampok sering berkeliaran di gedung ini. Tapi usaha Joanna tak sia-sia, karena ia bisa menemukan celah untuk menyusup ke gedung dengan aman. Walau sesekali tetap saja para perampok itu kadang mendeteksi keberadaannya dan melalukan p*********n untuk menjarah makanan maupun persenjataan yang Joanna dapatkan.
"Lihat ini." Joanna menunjuk salah satu titik di denah lokasi, menyuruh Rigel ikut melihat ke titik yang ia tunjuk. "Saat ini kita berada di sini, basemen." Rigel tampak berusaha memahami bagian-bagian pada denah. "Dan persediaan makanan ada di lantai dua dan tiga." Telunjuk Joanna berpindah ke titik lain yang menunjukkan urutan lantai dua dan tiga. Lalu untuk persediaan s*****a ada di belakang gedung ini, di sana para perampok mengumpulkan semua s*****a hasil jarahan mereka."
Rigel mengernyit, tampak bingung. "Jadi maksudmu, kita akan meram———"
"Ya seperti itulah, kita butuh banyak s*****a dan stok makanan untuk memulai perjalanan. Dan satu-satunya cara untuk mendapatkan s*****a, ya kita harus mengambilnya dari mereka," terang Joanna.
Rigel terlihat tidak setuju dengan rencana Joanna untuk mencuri s*****a dari gudang persenjataan milik para perampok, itu terlalu membahayakan nyawa sendiri. Rigel belum siap jika harus mati konyol di sini.
"Apa tidak ada cara lain? Aku yakin pasti ada tempat di mana kita bisa menemukan s*****a, selain di gudang milik para perampok." Rigel mencoba untuk bernegosiasi dengan Joanna, berharap perempuan itu akan berubah pikiran dan mencari alternatif lain. Sayangnya, semua tak berjalan mulus seperti yang Rigel harapkan. Karena Joanna menolak mentah-mentah ide darinya.
"Enggak ada, kalaupun ada aku tak akan nekat mengambil dari mereka." Joanna menggulung kembali kertas bergambar denah lokasi gedung ini dan memasukkannya ke tas. "Kalau kau takut, kau bisa kembali ke mobil," lanjut Joanna. "Aku tak akan memaksamu untuk ikut, karena ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang pemberani, bukan mereka yang pengecut."
Rigel jelas tidak terima disebut sebagai pengecut, lantas tanpa pikir panjang ia spontan berdiri. "Aku bukan pengecut, aku hanya mencoba realistis," ucapnya membela diri.
Joanna mendengkus geli, tak mengatakan apa pun untuk menanggapi ucapan Rigel barusan. Ia kemudian mengambil kembali gulungan kertas tadi dari dalam tasnya dan memberikannya pada Rigel. "Ambil ini, untuk jaga-jaga jika kau tersesat. Ini akan membantumu keluar dari gedung ini."
Rigel menatap gulungan kertas yang kini sudah ada di tangannya, lalu mengangkat wajahnya menatap Joanna yang sudah bersiap akan pergi. "Lalu, bagaimana denganmu?" tanya Rigel, pasalnya denah itu hanya ada satu dan jika mereka berpisah bagaimana Joanna akan bisa keluar dari gedung besar ini.
"Tenang saja, aku sudah ke sini berkali-kali. Jadi aku sudah hapal di luar kepala." Joanna tersenyum tipis, lalu menghadap kembali ke depan. "Ayo, kita harus bergerak cepat sebelum para perampok menyadari keberadaan kita." Setelah itu melangkahkan kaki meninggalkan area basemen.
Rigel berjalan mengikuti Joanna. Keadaan di basemen begitu gelap, tidak ada penerangan dan cahaya matahari pun tak dapat menebus sampai dalam sini. Beruntung Joanna memberikan Rigel kacamata night vision yang sering dipakai untuk berburu pada malam hari. Dengan bantuan kaca mata tersebut, Rigel bisa melihat keadaan sekitar tanpa perlu meraba-raba. Di sekelilingnya banyak sekali mobil-mobil yang terbengkalai tanpa pemilik, ada juga barang-barang yang telah rusak dan dibiarkan tergeletak begitu saja. Benar-benar seperti bangunan tua yang tak lagi terawat.
"Kita ke atas lewat mana, apa ada tangga darurat di sekitar sini?" tanya Rigel karena tak menemukan adanya tangga darurat ke atas.
"Ada, tapi kita harus memutari gedung ini baru akan menemukannya," jawab Joanna tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan depan.
"Lalu? Kita ke atas bagaimana?" Rigel kembali bertanya, bingung.
"Lewat sini." Joanna berbelok, menemukan sebuah lorong gelap dan memasukinya.
Rigel awalnya ragu, tapi ia yang tak mau dianggap pengecut tetap mengikuti langkah Joanna. Hingga perempuan itu berhenti di depan sebuah lift yang pintunya terbuka tapi tidak ada apa-apa di dalamnya. Rigel semakin kebingungan melihat tidak ada lift untuk naik ke atas, lalu ia menatap pada Joanna, meminta penjelasan lewat sorot matanya yang tertutup kaca mata.
"Apa maksudnya ini?" Sadar kalau Joanna tak akan melihat sorot matanya, Rigel pun bertanya meminta penjelasan.
"Ya, seperti yang kamu lihat. Kita akan ke atas melalui ini." Joanna mengedikkan kepalanya ke arah pintu lift yang terbuka.
"What?" Rigel melotot, tak habis pikir dengan langkah yang dibuat Joanna. "Are you crazy? Bagaimana kita ke atas, jelas-jelas liftnya aja nggak ada."
Joanna hanya tersenyum tipis mendengar protes Rigel. Ia tak berniat menanggapi apalagi harus berdebat dengan lelaki itu. Karena itu hanya akan membuang waktunya percuma. Tanpa menunggu Rigel, Joanna langsung melangkah ke depan pintu lift dan menggapaikan tangannya ke dalam lift yang kosong. Ia berhasil meraih seutas rantai panjang yang bisa membawanya ke atas.
"Kau bisa memanjatkan kan?" Joanna menoleh pada Rigel.
"Ya?" Rigel terbengong-bengong melihat Joanna menunjukkan rantai yang ia pegang.
"Di saku tas bagian kiri ada sarung tangan, kau bisa memakainya untuk melindungi tanganmu biar nggak terluka saat memanjat."
Rigel meraba saku tas bagian kiri dan menemukan sebuah sarung tangan yang dimaksud Joanna. Perempuan itu sudah mempersiapkan semuanya sejak awal. Tapi tetap saja Rigel lebih memilih memutari gedung untuk menemukan tangga darurat dari pada harus memanjat ke atas dengan rantai besi yang sudah karatan. Rigel ingin membujuk Joanna agar berubah pikiran dan mencari jalan lain yang lebih mudah, tapi perempuan itu sudah lebih dulu memanjat rantai besi.
"Jo." Rigel mendongakkan kepala, menatap ngeri Joanna yang bergelantungan pada rantai besi.
"Ayo, kita harus segera sampai ke atas," seru Joanna dari atasnya.
Rigel mendesah berat, tak punya pilihan lain. Tapi melihat betapa tingginya yang harus ia panjat, membuat nyalinya seketika menciut. "Ya Tuhan, bagaimana jika aku terjatuh nanti?" Rigel menghela napas panjang, pasrah. "Sudah pasti akan hancur jika kepala membentur lantai. Tapi apa boleh buat, aku tak punya pilihan lain. Ya Tuhan, tolong lindungi aku."
Setelah memanjatkan do'a meminta perlindungan dari Tuhan. Rigel pun memantapkan hati dan mulai memanjat rantai besi. Pertama saat menggerakkan lengan kanannya, denyut luar biasa membuatnya meringis kesakitan. "Arrrgh!"
Erangan Rigel menginterupsi Joanna yang sudah merambat ke atas. Ia menoleh ke bawah untuk melihat keadaan. "Ada apa? Kau baik-baik saja?"
Rigel meringis, mencoba meredam denyut yang menyakitkan itu. "Aku nggak apa-apa." Ia kembali mencoba menggerakkan lengannya untuk meraih rantai besi dan kembali memanjat. "Aaarggh!" Rigel mengerang lagi, lengannya terasa sakit luar biasa.
"Rigel, kau baik-baik saja? Apa terjadi sesuatu?" Joanna kembali berteriak dari atasnya. Ia sangat khawatir ketika mendengar erangan Rigel di bawah sana.
"I am okay, teruskan saja memanjatnya!" teriak Rigel.
Joanna pun menurut, kembali memanjat. Begitu juga dengan Rigel yang kembali meraih rantai besi bagian atasnya. Ia menahan rasa sakit di lengannya, memaksakan diri untuk terus memanjat.
Joanna yang sudah terbiasa melakukan hal ini dengan mudah sampai ke lantai dua. Disusul Rigel yang masih berjuang untuk sampai ke atas. Lelaki itu mengerahkan seluruh tenaganya, memegang erat rantai besi agar tidak terjatuh ke bawah.
"Ayo, dikit lagi, Rigel." Joanna mencoba menyemangati ketika Rigel sudah hampir sampai ke atas.
Namun, hal tak terduga terjadi. "Aaargg!!!" Rigel mengerang, melepas salah satu tangannya dari rantai besi dan memegangi lengannya yang terluka. Ia terus mengerang kesakitan. "Aaaeggh!"
"Rigel, ada apa?" Joanna yang melihat hal tersebut tentu saja panik. Ia sangat khawatir karena Rigel tak merespon ucapannya. "Rigel, ayo, dikit lagi."
Rigel meringis, mencoba sekali lagi tapi usahanya gagal. Kali ini ia mengganti tangan satunya berpegangan pada rantai besi dan membiarkan tangannya yang terluka kemarin menjutai bebas. "Arrrgh! Tanganku keram!" ucap Rigel, bergelantungan menggunakan satu tangannya.
"Apa?" Joanna terkejut mendengarnya. Ia pun segera mengulurkan tangannya kepada Rigel. "Pegang tanganku, aku akan menarikmu ke atas."
Rigel menatap uluran tangan Joanna, ia mencoba menggerakkan tangan kanannya tapi tak bisa. Keram membuat lengannya terasa kaku. "Aku tak bisa."
"Kau pasti bisa, Rigel. Ayo, raih tanganku," ucap Joanna, menyuruh Rigel meraih uluran tangannya.
Rigel mencobanya, memaksa tangan kanannya untuk meraih tangan Joanna.
"Ayo, dikit lagi!" seru Joanna saat melihat tangan Rigel sedikit lagi menyentuh tangannya.
Namun, di saat Rigel yakin bisa menggapai tangan Joanna. Rasa sakit di tangannya tak lagi bisa ia tahan, tangannya seakan mati rasa. "Aaarghh!" Bahkan tanpa sadar ia malah melepas pegangan pada rantai besi untuk memegangi lengannya kanannya yang berdenyut hebat.
"Rigel!" Joanna menjerit, menyadarkan Rigel akan apa yang terjadi.
Rigel melotot dan tersadar. Tapi terlambat. "Aaaa!!!"