Berpacu

1735 Kata
Rigel pasrah ketika tubuhnya terjun bebas ke bawah. Teriakannya bergema di sepanjang lorong lift yang kosong itu, meski tetap saja tak akan bisa menyelamatkannya. Di ujung rasa putus asa dan frustrasinya, Rigel masih menyempatkan diri menatap Joanna di atas sana, jarak yang semakin jauh membuatnya lamat-lamat tak mampu melihat dengan jelas ekspresi macam apa yang Joanna tunjukkan di sela-sela teriakannya itu. "Rigel!" Suara Joanna bergema, memasuki gendang telinga Rigel bersamaan dengan mata lelaki itu yang terpejam. Rigel benar-benar pasrah jika tubuhnya akan menghempas dasar lift yang keras dan dingin. Mungkin kepalanya akan lebih dulu membentur lantai dan bisa jadi juga langsung pecah, atau tubuhnya akan remuk redam dengan seluruh tulangnya yang akan patah tak bersisa. Membayangkannya saja cukup mengerikan sampai membuat bulu-bulu halus Rigel berdiri, tegang. Tapi apa yang bisa ia lakukan saat jatuh dari ketinggian, kecuali pasrah. Ma, pa, maafkan Rigel. Harapan untuk kembali ke dunia nyata dan berkumpul lagi dengan keluarganya jadi pupus untuk Rigel. Bukan gerbang kembali ke dunia nyata yang kali ini menyambutnya, melainkan gerbang kematian yang bersiap menyambutnya. Usahanya berhenti sampai di sini, semua telah berakhir untuknya. Tapi sepertinya tidak untuk Joanna. "Rigel!" "Rigel!" "Kau mendengarku?" Dari atas sana, Joanna terus memanggil nama Rigel. Ia terlihat cemas, menunggu apakah usahanya berhasil atau malah gagal. Namun, Joanna begitu yakin kalau perkiraan yang ia buat tidak akan meleset. Harusnya benda yang ia lempar tadi jatuh tepat sasaran dan berfungsi dengan semestinya. Tapi Rigel yang tak kunjung merespon teriakannya dan wujud lelaki itu yang menghilang dalam kegelapan, membuat Joanna nyaris menyerah dan putus asa. "Rigel!" "Hei, kau mendengarku?" "Buka matamu, Rigel!" Teriakan terakhir Joanna berhasil menyentak Rigel, spontan ia membuka mata. Untuk sepersekian detik ia terperangah, merasakan tubuhnya yang seringan bulu. Mungkinkah ia telah mati? Pikir Rigel. Namun, ketika ia melihat ke sekitar, semuanya tampak kosong dan tangannya meraba-raba. Barulah Rigel tersadar ada sesuatu yang menancap di tas ranselnya. Sontak ia mendongak, tercengang melihat sesuatu menarik tubuhnya ke atas. Saat Rigel cermati, benda itu berbentuk seperti parasut untuk terjun payung. Namun, anehnya benda tersebut bukan membawanya turun dengan selamat, melainkan menariknya ke atas. Di sisi lain Rigel merasa lega, bahkan kali ini ia bisa bernapas dengan leluasa jika sebelumnya ia nyaris tak bisa merasakan napasnya sendiri. Setidaknya bayangan akan kepala yang hancur dan tubuh yang remuk tak lagi menghantui pikiran Rigel. "Rigel!" Joanna berteriak lega ketika melihat sosok Rigel bergerak lambat ke atas. "Syukurlah, parasut itu bekerja dengan baik." Saat Rigel sampai di lantai dua, Joanna bergegas membantu menariknya dan memutus tali parasut. Tubuh lelaki itu seketika terkulai lemas, tak berdaya. Namun, tempat mereka sekarang tidak cukup aman, alhasil Joanna menyeret tubuh Rigel ke sebuah lorong gelap dekat tumpukan kardus tak terpakai. "Kau baik-baik saja?" tanya Joanna setelah membantu Rigel bersandar pada dinding. Raut wajah Joanna begitu khawatir, bahkan ia mengecek keseluruhan tubuh Rigel. Memastikan tidak ada luka tambahan di tubuh lelaki itu. "Aku nggak apa-apa," kata Rigel, mencoba menghentikan aksi Joanna. Namun, wanita itu tak menurut dan tetap mengecek secara teliti dari ujung kaki sampai kepalanya. "Bagaimana dengan tanganmu?" Baru saja Joanna menyentuh lengan kanan Rigel, lelaki itu spontan memekik kesakitan. "Aarrrghh!" Rigel mengerang, meringisi menahan ngilu luar biasa pada lengannya yang terluka. "Lepas jaketnya," suruh Joanna. Rigel menggeleng, memejamkan mata menahan sakit. "Aku tidak apa-apa, ini hanya sakit sedikit. Nanti juga akan sembuh." "Keras kepala!" Joanna berdecak, kesal. Lalu tanpa meminta persetujuan Rigel, ia melepaskan jaket yang dikenakan lelaki itu. "Apa yang kau lakukan?" Rigel memprotes apa yang dilakukan Joanna saat ini, tapi ia tak berdaya untuk menghentikannya. Dan Joanna berhasil melepaskan jaket yang ia kenakan. "Aku sudah bilang, aku nggak apa-apa. Ini bukan luka———" Joanna berdecak, menatap luka Rigel yang kembali berdarah-darah. Ia lalu menggeleng miris. "Kau bilang nggak apa-apa? Jelas-jelas lukamu berdarah lagi." Rigel melirik lengan kanannya. Seperti yang dikatakan Joanna, luka pada lengannya kembali mengeluarkan darah segar sampai menembus perbannya. Pantas saja lengannya terasa begitu sakit, perih dan berdenyut ngilu. Bahkan ia merasa jika sekujur lengannya seakan kaku dan kebas, gerak sedikit saja ia akan mengerang kesakitan. "Kau mau apa?" tanya Rigel saat melihat Joanna meletakkan tas ransel di depannya dan sibuk mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. "Menurutmu?" Joanna mendengkus pelan. "Tentu saja aku ingin mengobati lenganmu lagi. Jika dibiarkan lenganmu akan infeksi. Lagipula kita tak mungkin meneruskan misi jika keadaanmu seperti ini," ujar Joanna, menyiapkan semua obat-obatan yang diperlukan. Rigel tak membantah, juga tidak mengatakan apa pun. Ia hanya diam memperhatikan Joanna yang begitu telaten mengobati luka pada lengan kanannya. Diam-diam Rigel memperhatikan wajah cantik Joanna, mengamati mata indah perempuan itu, lalu turun ke hidung mancung dan berhenti di bibir mungilnya. Untuk pertama kali Rigel memperhatikan perempuan seperti ini, biasanya ia tidak akan tertarik untuk hal-hal seperti itu. "Why?" Joanna yang sadar diperhatikan langsung mengangkat wajahnya, memandang lekat mata Rigel yang saling beradu tatap dengannya. "Apa yang kau lihat?" "Tidak." Rigel spontan menggeleng, buru-buru membuang muka. Ia begitu gugup, mengutuk reaksi tubuhnya yang berlebihan. "Aku tidak melihat apa-apa. Jangan geer." Joanna mendengkus pelan mendengar jawaban Rigel. Meski tahu Rigel mengelak, tapi Joanna juga tak berminat untuk memperdebatkannya. Ia kembali sibuk membersihkan luka Rigel, lalu memberikan obat pada lukanya dan membalutnya dengan perban yang baru. "Ini akan meredam rasa sakit untuk sementara waktu." Joanna berucap saat memberikan gel di atas balutan luka Rigel yang sudah diperban. "Di lantai empat ada gudang obat, jika kita beruntung, kita akan menemukan obat untuk menyembuhkan lukamu dengan cepat." Rigel menoleh, menatap sebentar lukanya sebelum akhirnya beralih pada Joanna. "Bukankah tujuan kita hanya untuk mendapatkan persediaan makanan dan s*****a saja?" Joanna menatap Rigel, hanya sekilas lalu memutus kontak mata. Kembali sibuk mengemasi obat-obatan dan memasukkannya ke tas ransel. "Kita juga butuh persediaan obat untuk keadaan darurat seperti sekarang. Lagipula, apa kau bisa bertahan dengan lukamu?" Rigel terdiam, teringat akan kejadian beberapa saat yang lalu. Ia jelas tak akan tahan jika lukanya kembali kumat seperti tadi. Itu akan sangat menyiksa dan justru menyusahkan dirinya maupun merepotkan Joanna. "Ayo." Suara Joanna menarik atensi Rigel, mengulurkan tangannya ke depan lelaki itu. Rigel menghela napas panjang, tak punya pilihan lain. Lantas ia menyambut uluran tangan Joanna, beranjak bangun dibantu perempuan itu. "Denah yang tadi kau berikan, sepertinya terjatuh," kata Rigel, berjalan mengikuti di belakang Joanna. Joanna sibuk memantau sekitar, lalu menoleh ke belakang. "Tak apa-apa, yang penting jangan jauh-jauh dariku. Kalau kau sampai terpisah, itu akan menyulitkan aku mencarimu." "Hm." Rigel mengangguk. Joanna mengambil sesuatu dari saku ranselnya, memberikan pada Rigel. Lelaki itu terlihat bingung saat menerimanya. Memberikan tatapan penuh tanya pada Joanna. "Untuk apa?" Rigel bertanya, mengamati benda kecil yang sepertinya sebuah alat intercom mirip headset bluetooth. "Buat jaga-jaga, kalau hal tak terduga terjadi. Itu untuk komunikasi jika kita terpisah," jelas Joanna. Rigel mengerti, lalu segera memakainya di telinga. Setelah itu keduanya melanjutkan pergerakan menuju ke gudang makanan yang tak jauh dari posisi mereka sebelumnya. "Thank's," bisik Rigel ketika berada di belakang Joanna yang sedang memantau keadaan sekitar. "Buat?" Joanna melirik ke balakang. "Semuanya. Ini kesekian kalinya kau menyelamatkan aku." Rigel berkata tulus. "Dan maaf jika sebelumnya perkataanku melukai perasaanmu. Aku benar-benar minta maaf untuk itu." Joanna tersenyum tipis, kembali menatap ke depan. "It's okay. Ini sudah menjadi tugasku." "Apa kau sering melakukan hal seperti ini?" Rigel merubah topik bahasan, mencoba mencairkan suasana canggung di antara keduanya. "Ya?" Joanna menaikkan sebelah alisnya, heran dengan pertanyaan yang diajukan Rigel. "Aku hanya penasaran, soalnya kamu kelihatannya sudah mempersiapkan semuanya secara matang. Aku hanya berasumsi kalau kamu sering melakukan ini semua, makanya kamu ———" "Suuuttt!" Joanna tiba-tiba menekan bibir Rigel dengan telunjuk, menyuruh lelaki itu agar diam. "Jangan berisik," bisik Joanna. Rigel mengernyit, bingung. Ia ingin protes tapi sekarang Joanna malah membungkam mulutnya, membuatnya tak bisa mengeluarkan suaranya. "Ada yang dateng." Joanna berbisik lagi, bersamaan dengan itu tatapan Rigel teralihkan oleh suara langkah kaki mendekat. Rigel memfokuskan matanya ke arah depan gudang, di mana ada dua orang berpakaian serba hitam membawa s*****a laras panjang berhenti di sana. "Kau menemukannya?" Terdengar percakapan di antara dua orang yang diduga para perampok itu. "Tidak. Ke mana perginya mereka?" Rigel sadar, jika yang dimaksud dari pembicaraan dua orang itu ialah dirinya dan Joanna. Mereka berdua tengah mencari-cari dirinya dan Joanna. "Cepat sekali mereka menghilang. Tapi aku yakin kalau mereka pasti ke sini." "Aku juga yakin kalau mereka ke sini. Ke mana lagi selain ke sini, mereka pasti ingin mencuri persediaan makanan kita." Salah satu dari orang itu menatap ke arah persembunyian Joanna dan Rigel. Spontan Joanna mendorong Rigel dan membuat lelaki itu terdorong sampai mentok ke dinding. Rigel melotot saat Joanna berada di depannya, menghimpitnya ke dinding dengan tangan masih setia membungkam mulutnya. "Kenapa?" Terdengar salah satu dari mereka bertanya pada orang yang tadi melihat ke arah persembunyian Rigel dan Joanna. "Aku seperti melihat seseorang di sana." Orang itu menunjuk ke arah persembunyian Rigel dan Joanna. Joanna memejamkan mata, merapalkan do'a agar mereka tak menemukan keberadaannya dengan Rigel. Sementara Rigel sendiri malah terpanah melihat wajah cantik Joanna dari jarak sedekat ini. Meski keadaan sekitar yang remang-remang, tapi ia bisa melihat dengan jelas kecantikan wajah Joanna. "Kau yakin?" "Yakin sekali. Tadi aku melihat orang bersembunyi di situ." "Kalau begitu ayo kita cek." Joanna melotot, panik. Ia menyembunyikan wajahnya di d**a Rigel, pasrah jika keberadaan mereka akan diketahui oleh para perampok itu. Sama halnya dengan Joanna, Rigel pun juga panik menyadari suara langkah kaki mendekat ke persembunyian mereka. Namun, ada hal yang lebih membuatnya ketar-ketir, keberadaan wajah Joanna yang berada dekat dadanya justru membuat jantung Rigel berpacu di luar kendali. Dan sepertinya Joanna menyadari detak jantung Rigel yang berpacu cepat, perempuan itu mendongak bersamaan dengan suara bariton yang menginterupsi keduanya. "SIAPA DI SANA?" Mendengar seruan itu, Rigel spontan membungkam mulut Joanna yang setengah terbuka dan mendorongnya masuk lebih dalam ke sebuah lorong gelap. Joanna terkejut, terlebih ketika posisi mereka kini berbalik. Jika tadi Joanna yang menghimpit Rigel ke dinding, kali ini Rigel yang menghimpitnya ke dinding dan tangan satunya memegangi pinggang Joanna. Joanna jadi gugup, refleks menepis tangan Rigel dari mulutnya. "Apa yang kau lakukan?" pekiknya. Rigel melotot dan langsung menekan bibir mungil Joanna yang kembali akan bersuara. "Jangan berisik!" Rigel berkata tanpa mengeluarkan suara. Tapi Joanna yang tak memperhatikan pergerakan mulut Rigel jelas tidak tahu dan malah berusaha menyingkirkan tangan Rigel lagi dari bibirnya. "Ya——" Joanna tercekat ketika suara dari ujung lorong terdengar. "SIAPA ITU?" Baik Rigel maupun Joanna spontan melotot, melihat ke ujung lorong di mana dua orang perampok itu berada di sana dengan menodongkan s*****a api laras panjang. Mampus!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN