Rigel sudah pasrah jika kali ini dirinya akan ditangkap basah oleh para perampok itu. Bahkan kemungkinan terburuknya ia akan dibinasakan detik ini juga. Pikiran Rigel berkecamuk, kalud menguasai sampai ia tak mampu berpikir jernih untuk mengatasi keadaan terdesak seperti sekarang. Layaknya orang bodoh, ia hanya diam mematung menunggu pintu itu benar-benar terbuka dan mungkin akan membiarkan dirinya sendiri ditangkap oleh para perampok.
Dor!
Suara tembakan terdengar nyaring di luar, menginterupsi orang yang sedang membuka pintu. Kedua perampok di depan pintu itu saling berpandangan, sorot mata mereka seakan sedang saling berbicara mengenai suara tembakan barusan. Keterdiaman kedua perampok itu dijadikan kesempatan oleh Joanna untuk menghampiri Rigel.
Rigel sendiri terjatuh di tumpukan kardus, akibat terkejut oleh suara tembakan barusan sehingga tubuhnya yang hilang keseimbangan dengan mudah terjatuh oleh satu sentakan. Beruntung suara tumpukan kardus yang terhantam tubuhnya tak menimbulkan reaksi pada kedua perampok yang sekarang sudah beranjak pergi untuk mengecek ke asal suara tembakan tersebut.
"Kau tak apa-apa?" Joanna berjongkok di dekat Rigel, menanyai keadaan lelaki itu yang terlihat syok. "Hei." Awalnya Rigel tak merespon, tapi setelah Joanna menyentuh bahunya, barulah Rigel menoleh pada dirinya.
"Apa aku masih hidup?" tanya Rigel dengan polosnya. Berpikir jika suara tembakan tadi mengenai tubuhnya.
Joanna menghela napas sejenak, memandang wajah pucat Rigel. Ada rasa iba yang menyelinap, memahami betapa takutnya lelaki itu menghadapi setiap marabahaya yang datang seolah akan merenggut nyawanya dalam sekejap mata. Meski umur mereka sama, tapi Rigel belum cukup berpengalaman menghadapi semua ini. Lelaki itu masih terlalu naif dan mudah digoyahkan oleh rasa takut.
"Untuk saat ini belum," jawab Joanna, menimbulkan kerutan di dahi Rigel. "Jika kita terus di sini, kemungkinan besar kita akan mati." Joanna melanjutkan, bergegas menarik lengan Rigel agar segera bangun. "Ayo, waktu kita tidak banyak, kita harus segera pergi sebelum mereka datang."
Rigel pun menurut, bergegas bangun dan berjalan mengikuti Joanna yang menyeretnya pergi. Namun, baru beberapa langkah ia teringat akan sesuatu, sontak berhenti dan membuat Joanna menoleh padanya.
"Kenapa?" Joanna bertanya, heran karena Rigel tiba-tiba menghentikan langkahnya. Padahal mereka harus bergerak cepat meninggalkan tempat itu sebelum para perampok kembali dan berpotensi menangkap mereka hidup-hidup.
"Aku melupakan sesuatu." Kening Joanna mengernyit, bingung. Ketika mendengar jawaban Rigel. Belum sempat ia bertanya tentang apa yang dimaksud Rigel, lelaki itu sudah lebih dulu pergi. "Sebentar, aku akan mengambilnya dan segera kembali."
Joanna ingin menahan Rigel untuk tidak kkembali ke tempat tadi, tapi terlambat karena lelaki itu langsung melepas genggaman tangannya dan berlari ke tempat saat ia terjatuh. Joanna menghela napas panjang, hanya bisa memantau Rigel dengan was-was. Berharap para perampok tidak segera kembali, setidaknya sampai mereka berhasil keluar dari sini.
Sementara Rigel bergegas memgambil barang yang tertinggal, barang itu tidak lain kantung berisi makanan yang tadi sudah ia kumpulkan. Dengan terburu-buru Rigel berlari menghampiri Joanna lagi.
"Ayo," ucapnya ketika tiba di hadapan Joanna, napasnya terengah-engah.
Joanna melirik kantung yang dibawa Rigel dan mendengkus pelan. "Seharusnya kau tak perlu mengambilnya, itu terlalu berbahaya."
"Tapi ini berarti untuk kita, demi ini aku sampai harus terluka. Jadi tidak mungkin aku akan meninggalkannya begitu saja." Rigel mengikat kantung berisi makanan, setelah itu mengambil tali di sisi kanan kantung itu untuk ia cangklongkan di lengan kirinya. "Ayo, kau bilang waktu kita tidak banyak."
Joanna mengangguk, lalu bergegas pergi. Beruntung Joanna sudah hapal dengan seluk beluk tempat ini, sehingga ia tak perlu bingung mencari jalan keluar. Jalan tikus yang dibuatnya sangat aman, terbukti karena para perampok itu belum menyadarinya hingga sekarang.
"Jo, apa kau yakin?" tanya Rigel ketika keduanya berhenti di ujung ruangan. Mata lelaki itu memandang ngeri ke atas, tampak khawatir dan ragu-ragu. "Apa tidak ada jalan lain?" Rigel menoleh pada Joanna yang sedang menyusun kardus ke dinding.
"Tidak," jawab Joanna. "Berhenti merengek dan cepat bantu aku." Joanna memerintah Rigel agar membantunya, bukan malah memandangi plafon lapuk di atasnya.
Rigel menghela napas pasrah, mengikuti apa yang diperintahkan Joanna. Ia menyusun semua kardus yang entah berisi apa di dalamnya karena kardus-kardus itu cukup berat dan sepertinya bukan berisi makanan.
"Kau mau duluan?" tawar Joanna setelah selesai menyusun semua kardus sampai atas, cukup untuk membantunya naik ke atas plafon.
Rigel langsung menggeleng. "Kau saja duluan." Ia tidak mau duluan karena takut, terlalu ragu jika saluran pembuangan itu akan aman untuk dilalui. Melihat betapa lapuknya plafon, jelas itu cukup berbahaya untuk dilalui.
Joanna mendesah berat, memandang Rigel sekilas kemudian segera menaiki tumpukan kardus dan membuka penutup besi di atas plafon. Ia segera masuk ke bekas saluran pembuangan, meringkukkan badannya.
"Rigel, berikan tas dan kantungnya." Joanna menyuruh Rigel melemparkan tas Joanna dan juga kantung berisi makanan.
Tanpa memprotes Rigel melemparkan tas Joanna lebih dulu, disusul dua kantung berisi makanan dan terakhir tas ranselnya. Joanna dengan cekatan menangkap semuanya dan mengamankannya di belakang tubuhnya.
"Sekarang giliran kau naik." Joanna menginteruksi agar Rigel bergegas naik ke atas.
Namun, Rigel malah terdiam di tempatnya berdiri. Seakan tengah menimang-nimang akankah ia naik atau mencari jalan keluar lain. Rigel tidak yakin dirinya bisa melewati bekas saluran pembuangan itu. Membayangkan betapa kotor dan baunya, serta banyak serangga dan hewan-hewan menjijikkan yang bisa saja ia temui. Rigel semakin berat untuk naik ke atas.
"Hei, ayo, buruan. Tunggu apa lagi?" Joanna geregetan karena Rigel tak kunjung naik. "Waktu kita tidak banyak Rigel!" Joanna mengembuskan napas kasar, gemas sekali ingin menarik Rigel ke atas. "Apa kau mau para perampok itu menangkapmu?"
Di saat Rigel masih termenung memikirkan keputusan untuk dirinya sendiri. Tiba-tiba saja suara derap langkah terdengar, bersamaan dengan suara pintu yang terbuka lebar. Pintu yang dibuka kasar menimbulkan suara nyaring, hal tersebut menginterupsi Rigel dan Joanna yang langsung menoleh ke sumber suara.
"Rigel! Cepetan!" Joanna panik, pasalnya para perampok itu sudah kembali dan jika didengar dari suara derap langkahnya, mereka lebih dari dua orang. "Rigel!" bentak Joanna, kesal. "Kalau kau mau mati, matilah sendirian!"
Rigel jelas tidak mau mati. Lantas, ia memaksakan diri untuk menaiki tumpukan kardus. Berpacu dengan derap langkah kaki para perampok yang menyisir ruangan setelah menyadari ruangan yang kacau karena ulah Rigel tadi.
"Ada penyusup!" Teriakan salah satu perampok terdengar begitu nyaring di ruangan itu.
"Berpencar! Cari tikus itu sampai ketemu. Tangkap hidup-hidup! Kalau beruntung, kita bisa menukarnya ke biro kontrol!"
"Siap!!!"
Mendengar biro kontrol disebut, Rigel dan Joanna melotot panik. Joanna menyuruh Rigel bergegas, mengulurkan tangan untuk membantu Rigel masuk ke saluran bekas pembuangan.
Rigel berhasil masuk dan Joanna memerintahkan dirinya untuk menutup kembali saluran dengan penutup besi. Rigel menurut, tapi sebelum menutupnya ia lebih dulu meruntuhkan susunan kardus yang disusun ke dinding agar para perampok tidak menyadari keberadaan saluran ini. Setelah memastikan semuanya runtuh, ia menutup saluran itu kembali seperti semula.
Rigel akhirnya bisa bernapas lega, meski di dalam sini terasa begitu pengap. Tapi setidaknya cukup aman dari kejaran para perampok itu. Rigel menyeka keringatnya, menatap Joanna yang tengah memandangi dirinya.
"Why?" Rigel merasa heran dan tidak nyaman dengan cara Joanna menatapnya.
"Lain kali, kalau kau lelet seperti tadi aku akan benar-benar meninggalkanmu dan membiarkan kamu mati konyol di tangan musuh!" tukas Joanna, geram.
Rigel sadar jika yang ia lakukan barusan memang sangat beresiko. Seharusnya ia tak perlu ragu dan membuang-buang waktu seperti itu. Jika tadi ia sampai tertangkap oleh para perampok itu, bukan hanya nyawanya yang terancam tapi juga nyawa Joanna. Maka tak heran jika Joanna sangat marah padanya.
"Sorry." Rigel meminta maaf, menundukkan pandangannya. Ia benar-benar merasa bersalah untuk ini.
Joanna mengembuskan napas kasar, tak ada gunanya juga jika ia menumpahkan amarahnya sekarang. Walau sejujurnya ia sangat marah pada Rigel, karena ulah lelaki itu mereka nyaris tertangkap beberapa kali.
"Sudahlah, yang terpenting mulai dari sekarang kau tak boleh ragu-ragu lagi. Karena kita bukan hanya berperang melawan musuh, tapi juga berpacu dengan waktu. Jika kita terlambat, kesempatan untuk keluar dari dunia ini pun akan sirna," cetus Joanna, mengingatkan kembali pada Rigel untuk fokus dengan misi mereka.
"Iya." Rigel hanya bisa mengangguk dan mengiyakan semua ucapan Joanna.
"Sekarang, ikuti aku. Bergerak dengan hati-hati karena besi ini sudah lapuk, jangan sampai pergerakan kita menimbulkan suara keras." Joanna memimpin pergerakan menyusuri lorong panjang bekas saluran pembuangan, setelah memberi arahan pada Rigel terlebih dahulu.
Rigel bergerak hati-hati, menyeret tubuhnya merangkak di dalam saluran pembuangan. Bau besi berkarat begitu mengganggu indera penciumannya, ditambah debu yang menumpuk dan tetesan air yang entah datangnya dari mana. Hal tersebut membuat perutnya bergejolak dan beberapa kali merasa mual, ingin muntah. Namun, sebisa mungkin ia menahannya, bahkan sampai menahan napas agar tidak bersin-bersin oleh debu yang membuat hidungnya terasa gatal.
"Apa masih lama?" Rigel bertanya pada Joanna, setelah ia merasa telah merangkak cukup jauh.
"Masih," jawab Joanna, memperkirakan.
Rigel mengembuskan napas kasar mendengar jawaban Joanna. Rasanya ini begitu menyiksa, ditambah lengannya kembali berdenyut karena dipaksakan terus bergerak.
"Bisa kita istirahat lebih dulu," pinta Rigel.
Melihat wajah letih dan keringat yang bercucuran dari dahi Rigel, Joanna pun menganggukkan kepala sebagai persetujuan untuk beristirahat sejenak. Rigel tersenyum senang, segera memutar tubuhnya jadi telentang menghadap ke atas. Ia menatap langit-langit saluran pembuangan yang sudah sangat rapuh. Terdapat banyak retak dan lubang-lubang kecil di sepanjang pipa besi itu.
Tubuh Joanna yang mungil, membuatnya bisa meringkuk dan bersandar pada pipa besi. Ia menghela napas panjang, membiarkan tubuhnya rileks sejenak dan keheningan menyelimuti. Hingga beberapa saat berlalu, suara Rigel memecah keheningan di antara mereka berdua.
"Boleh aku bertanya?" Rigel merubah posisinya jadi telungkup, menatap Joanna yang ikut menolehkan kepala kepadanya.
Joanna mengangguk pelan. "Tanya apa?"
"Sebenarnya aku sangat penasaran. Apakah kamu sama seperti aku atau kamu sama seperti mereka?" Mendengar pertanyaan Rigel, Joanna menautkan kedua alisnya, bingung. Ia tak mengerti akan maksud pertanyaan Rigel.
"Maksudnya?" Joanna pun balik bertanya.
Rigel menghela napas panjang, merangkai kembali kalimat yang mudah dimengerti oleh Joanna. "Maksudku, asal-usul kamu bisa ada di sini. Apakah kamu sama seperti aku, terjebak di dunia game ini? Atau kamu sama seperti mereka semua yang ada di sini? Apa kamu paham maksud pertanyaanku?"
Joanna mengangguk, mengerti akan maksud pertanyaan Rigel. Ia tak langsung menjawab, membuat Rigel menunggu dengan perasaan penasaran yang menggebu-gebu. Joanna memandang lurus ke depan, menatap kosong goresan pada pipa besi. Mengingatkan dirinya yang dulu sering menuliskan angka di pipa besi waktu ia bersembunyi dari kejaran agen biro kontrol.
Karena Joanna tak kunjung menjawab dan malah melamun, Rigel pun memanggilnya. "Jo."
Joanna pun langsung merespon, menceritakan asal-usulnya. "Mungkin aku sama sepertimu. Aku tidak tahu bagaimana awal mulanya sampai aku bisa masuk ke dunia ini. Karena saat aku terbangun, aku sudah di dalam dunia ini. Sama seperti dirimu." Joanna mengalihkan pandangannya kepada Rigel yang memperhatikan dirinya dalam diam. "Sayangnya aku tak seberuntung dirimu, Rigel."
Rigel mengernyit, bingung dengan jawaban Joanna. Jika Joanna sama seperti dirinya yang terjebak di sini, bagaimana bisa ia lebih beruntung darinya. Bukankah keadaan mereka sama, sama-sama mengenaskan. Apanya yang lebih beruntung.
Mengerti raut kebingungan Rigel, Joanna tersenyum tipis lalu berkata hal yang mengejutkan. "Kau berpotensi keluar dari sini, tapi tidak denganku. Mustahil bagiku keluar dari sini."