Tidak Logis

1538 Kata
"Meruntuhkan dunia game ini. Baru aku bisa keluar, sebelum hal itu terjadi maka aku akan selamanya terjebak di sini." Kata-kata Joanna terus terngiang-ngiang di dalam pikiran Rigel. Hatinya mulai tersentuh, perasaan iba menyelinap ke dalam d**a. Diam-diam ia mengagumi kebaikan hati Joanna. Di saat dirinya sendiri mustahil bisa keluar dari dunia game, perempuan itu malah mengupayakan agar ia bisa keluar. Bahkan sampai rela membahayakan nyawanya untuk membantu dirinya menyelesaikan misi yang rasanya mustahil bisa diselesaikan. "Rigel." "Rigel." "Rigel." Tiga panggilan Joanna diabaikan oleh sang pemilik nama. Entah apa yang ada di pikiran Rigel sampai tak merespon panggilan Joanna dan tetap meneruskan langkahnya dengan tatapan kosong. "Rigel awas!" Spontan Joanna menarik lengan lelaki itu sebelum jatuh ke lubang besar di depan mereka. Rigel yang tersentak kaget oleh teriakan dan tarikan tangan Joanna sontak menoleh. Wajahnya begitu pucat, napasnya memburu ketika menyadari lubang besar di depannya yang nyaris saja akan menenggelamkannya. Lubang besar pada lantai empat itu menembus ke bawah sampai ke dasar baseman. Tak heran jika reaksi Rigel akan setegang itu saat melihat kedalamannya. Mungkin jika Joanna tak menariknya, ia akan jadi prekedel setelah jatuh dari ketinggian. "Jangan melamun, perhatikan langkahmu!" seru Joanna, menginterupsi Rigel yang masih terlihat syok. Rigel mengangguk kaku, lalu bergumam pelan. "Makasih, untuk yang kesekian kali kau menyelamatkan nyawaku." Joanna memandang wajah Rigel sejenak, menatap lekat mata bening lelaki itu. Menyadari ada sesuatu yang tidak beres, Joanna pun bertanya pada Rigel. "Apa yang mengganggu pikiranmu sampai kau tak berkonsentrasi seperti itu?" Rigel tertegun, tak menyangka Joanna akan menanyainya lagi. Tapi ia juga bingung ingin menjawab apa, tidak mungkin kan kalau ia mengatakan sedang memikirkan Joanna. Jelas Rigel terlalu gengsi untuk mengakui hal tersebut pada perempuan itu. "Tidak ada, aku hanya lelah. Jadi kurang fokus." Rigel beralibi dan untungnya Joanna mempercayainya begitu saja tanpa mendebat ucapannya. "Bertahanlah, sebentar lagi kita sampai di tempat penyimpanan obat. Nanti kau bisa beristirahat kalau kita sudah sampai di sana," kata Joanna, menepuk pelan bahu Rigel. Rigel hanya mengangguk, memandangi punggung Joanna yang berlalu melewatinya. Perempuan itu kembali memimpin rute perjalanan menuju tempat penyimpanan obat yang ada di lantai empat gedung ini. Joanna berhenti di persimpangan lorong yang dilaluinya. Dari balik tembok ia mengintip ke depan ruangan yang ada di sebelah kiri paling ujung, ruang penyimpanan obat yang dimaksud. Letaknya cukup strategis, tapi di sekitar tempat itu terpasang banyak kamera sensor yang bisa mendeteksi musuh. Tak hanya itu saja, di depan ruangan juga ada dua robot yang berjaga, mondar-mandir mengawasi sekitar. "Apa itu robot?" tanya Rigel, ikut mengintip dari balik punggung Joanna. Joanna mengangguk. "Robot dengan sensor pendengaran, mereka bisa mendeteksi suara dengan radius lima meter. Jadi jangan berisik, mereka bisa saja mendengar suaramu dan mendeteksi keberadaan kita." Mendengar penuturan Joanna tentang robot yang berjaga di depan ruang penyimpanan obat, seketika Rigel membungkam mulutnya sendiri agar tidak mengeluarkan suara yang bisa memancing para robot itu mengetahui keberadaannya. "Apa rencanamu?" bisik Rigel, memelankan suaranya agar tak terdengar oleh para robot yang berjaga. Joanna tak menjawab. Ia berjongkok dan mengambil sesuatu dari tasnya. Sebuah pistol bewarna pink dan kapsul bewarna serupa yang menyerupai seperti peluru. Tapi Rigel yakin kalau itu bukan peluru biasa yang sering ia lihat, maupun peluru yang berhasil melukai lengannya. Lalu apa itu? Rigel sangat penasaran dengan kapsul yang lebih mirip dengan permen karet itu. "Apa yang akan kau lakukan?" Rigel kembali bertanya ketika Joanna memasukkan kapsul-kapsul itu ke slot  peluru pada pistol pinknya. "Jangan bilang kau berniat menembak robot-robot itu?" Rigel melebarkan mata, tak percaya dengan ide tersebut. Pasalnya itu terlalu beresiko dan apakah kapsul-kapsul itu bisa melumpuhkan para robot itu? Rigel tidak yakin, meragukannya. Joanna tak menggubris ocehan Rigel yang berisik mempertanyakan apakah rencananya akan berhasil maupun memintanya untuk memikirkan sekali lagi kalau idenya terlalu beresiko dan akan membahayakan nyawa mereka berdua. Rigel memang terlalu paranoid, mentalnya masih belum setangguh baja dan rasa takut masih mendominasinya. Itu kenapa Joanna tak banyak ambil pusing sama ocehan Rigel yang terus mencecarnya dengan berbagai pertanyaan yang seharusnya tidak dipertanyakan di waktu seperti ini. "Pegang ini." Joanna menyerahkan pistol pink itu kepada Rigel, tentu saja itu membuat kerutan di dahi lelaki itu kian mengkriting. Bingung karena tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan pistol pink tersebut. Lantas, Joanna dengan sisa kesabaran memberitahu apa yang harus Rigel lakukan menggunakan pistol itu. "Bidik ke atas, tepat ke arah cctv." Joanna menunjuk ke cctv yang ada di sekitar tempat itu. "Ingat, harus tepat sasaran dan tidak ada yang boleh luput satu pun." "Apa?" Rigel menatap Joanna, ingin protes. Mana bisa ia melakukan hal itu, bagaimana jika bidikannya meleset dan akan menimbulkan suara. Maka itu sama halnya dengan bunuh diri, membiarkan para robot itu mendeteksi keberadaannya. "Aku nggak mau." Rigel dengan cepat memindahkan pistol itu ke tangan Joanna. "Aku tidak bisa." Joanna mengembuskan napas kasar, sebal lama-lama menghadapi Rigel yang terlalu penakut. "Sampai kapan kau akan terus menentang? Jujur aku lelah menghadapi kelakuanmu yang seperti anak kecil. Kita itu patner sekarang dan seharusnya kau menyesuaikan diri dan mengikuti semua rencana yang aku susun, bukan malah terus menentangnya. Aku melakukan semua ini untukmu agar bisa keluar dari sini, jadi kumohon jangan egois." Kata-kata Joanna begitu menohok, menyentil perasaan Rigel. Sekali lagi ia merasa menjadi egois dan mementingkan diri sendiri. Tapi rasa takut selalu merongrong dalam dirinya, membuat ia tak berani mengambil tindakan apa pun. "Tapi, bagaimana jika meleset?" Rigel bertanya, melunak dari sebelumnya. "Kau belum mencobanya dan kau sudah sepesimis itu?" Joanna berdecak, menggeleng-gelengkan kepalanya. "Bukankah kau bilang kau baru saja memenangkan ajang permainan game over? Harusnya ini cuma hal kecil untuk kau taklukkan." Joanna memberikan lagi pistol pink itu pada Rigel. "Lakukan seolah kau sedang melakukannya seperti di game. Aku akan mengurus dua robot itu," ucap Joanna, meyakinkan Rigel untuk melakukan sesuai arahannya. Rigel bimbang, tampak ragu-ragu saat memegangi pistol tersebut. Meski mati-matian ia menyugesti dirinya agar bisa melakukan sesuai yang diarahkan Joanna. Tapi ketakutan dalam dirinya seakan jadi penghalang terbesar. Bayangan ngeri dan keraguan yang merongrong dalam otaknya, membuat nyalinya menciut seketika. "Aku yakin kamu bisa." Tepukan di bahu yang dilakukan Joanna merubah segalanya, menepis kebimbangan dan ragu pada diri Rigel. "Lakukan yang terbaik, anggap mereka semua itu tidak nyata. Seolah mereka semua hanya karakter dalam game." Joanna tersenyum lembut saat Rigel menatapnya dalam diam. Ayo Rigel, kamu bisa, kamu pasti bisa. Keberanian dalam diri Rigel seketika bertambah. Keyakinan Joanna membuat semua hal yang Rigel ragukan langsung sirna. Kini dengan mantap Rigel mulai membidikkan pistol ke arah cctv di bagian sudut atas depan ruangan penyimpanan obat. Merasa bidikannya tepat sasaran, Rigel langsung melepas pelatuk pistol tersebut. Sesuai perkiraan, tembakannya tepat sasaran mengenai kamera cctv. Namun, ada hal yang membuat Rigel keheranan karena ternyata pistol itu tidak menimbulkan suara dan peluru kapsul itu juga tidak membuat kamera itu pecah ataupun rusak. Rigel jadi bertanya-tanya, apakah bidikannya meleset, tapi ia sangat yakin kalau bidikannya tepat sasaran. "Itu slime dengan bubuhan zat aktif, ketika tekanan kuat melemparnya, slime tersebut akan langsung buyar dan hasilnya menutupi layar cctv," ucap Joanna yang mengetahui raut kebingungan Rigel. "Good job, Rigel. Sekarang tinggal tiga kamera yang tersisa." Joanna menunjuk ke arah kamera cctv lain yang ada di sekitarnya. Rigel mengangguk, kali ini tanpa ragu langsung menbidikkan tembakannya tepat ke arah kamera cctv. Sedangkan Joanna bagian membidik ke arah dua robot yang mondar-mandir di depan ruang penyimpanan obat. Joanna menggunakan ketapel untuk melemparkan balon berisi air tepat mengenai dinamo robot yang berada di bagian belakang. Lemparan pertama berhasil, balon itu seketika pecah dan air di dalamnya menyebabkan dinamo pada robot tak berfungsi. Robot pun konslet dan tergeletak di lantai. "Wow." Rigel terpanah melihat keberhasilan Joanna. "Aku tak menyangka kau akan menggunakan cara itu." Cara yang Joanna lakukan sama sekali tak terpikirkan olehnya dan Rigel mengakui jika Joanna memanglah cerdik, semua rencana yang disusun oleh perempuan itu benar-benar matang. "Kau hebat, bahkan aku sama sekali tak terpikirkan akan melumpuhkan mereka dengan balon berisi air." Joanna tersenyum lebar. "Karena aku sudah sering melakukannya, jadi aku tahu titik kelemahan mereka. Sekarang, ayo kita selesaikan." Rigel mengangguk, tersenyum sesaat sebelum serius membidikkan pistol ke kamera cctv terakhir. Begitu juga dengan Joanna yang melemparkan balon terakhir ke robot yang tersisa. Semangat keduanya berkobar, membara dan menggebu-gebu. Terlebih ketika mereka berhasil melumpuhkan penjagaan ketat di depan ruang penyimpanan obat. "Yes!" Rigel berseru kegirangan. Masih tak menyangka jika dirinya akan berhasil melakukannya. "Ayo. Kita harus bergegas. Sebelum robot itu kembali memperbaiki diri," ucap Joanna. Rigel mengernyit, bingung. "Apa maksudmu? Bukankah mereka sudah rusak, mustahil mereka akan bangun lagi." Joanna tersenyum simpul. "Mereka robot canggih, didesign dengan perangkat pemulihan yang bisa mengatasi segala macam kerusakan. Dan air tadi hanya bisa mematikan mesinnya selama beberapa waktu, sebelum mesin itu kembali bekerja dengan normal." Rigel tak paham dengan jawaban Joanna. Seakan yang dikatakan oleh perempuan itu terlalu sulit untuk ia mengerti, atau memang daya tangkap dan berpikirnya yang tidak sampai. "Jangan dipikirkan, memang tidak logis. Tapi saat ini kau berada di dunia game, semua hal bisa terjadi di sini," ujar Joanna, menepuk bahu Rigel. "Ayo, kita harus segera masuk." Rigel menurut, berlari mengikuti Joanna memasuki ruang penyimpanan. Meski otaknya masih memikirkan tentang robot yang bisa memperbaiki diri. Itu memang terdengar tidak masuk akal untuknya, tapi mungkin benar kata Joanna. Semua hal yang ada di sini tampak tak logis, karena ini dunia game. Semua hal bisa saja terjadi di sini. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN