Rigel mengamati seisi ruangan yang dipenuhi dengan rak-rak besi berukuran besar, terdapat lemari pendingin juga dan di dalamnya diisi dengan berbagai botol dalam beragam bentuk dan ukuran. Sepertinya itu obat-obatan yang dimaksud Joanna.
Rigel hanya diam memantau, mengamati sekitar dengan waspada. Takut jika ada seseorang ataupun robot yang berjaga di dalam ruangan ini. Sementara Joanna tampak menyisir setiap lemari pendingin. Entah apa yang dicarinya, wajah Joanna terlihat sangat serius memperhatikan isi setiap lemari pendingin tersebut.
"Ketemu." Joanna berseru kegirangan, buru-buru membuka salah satu lemari pendingin.
Rigel mengerutkan kening, penasaran apa yang ditemukan Joanna sampai perempuan itu kegirangan. Dan untuk memenuhi rasa keingintahuannya, Rigel pun bertanya dengan suara yang teramat pelan. "Apa yang kau temukan Jo?"
Joanna yang mendengar langsung berbalik ke arah Rigel, tersenyum lebar sambil menunjukkan sesuatu di tangannya. Wajahnya berseri-seri sekali seolah baru saja mendapat undian berhadiah, padahal menurut Rigel tak ada yang istimewa dari ruangan ini selain bau obat-obatan yang tampak asing dari obat-obatan pada umumnya. Mungkin karena ini di dunia game, jadi semua obat di sini pun menyesuaikan.
Aneh memang.
Rigel tak ambil pusing akan jenis-jenis obat-obatan di sini yang tampak aneh. Tapi yang membuatnya sampai mengerutkan alis ialah sesuatu yang dibawa Joanna, bungkusan merah yang tadi ditunjukkan kepadanya. Semakin dekat langkah perempuan itu, semakin jelas Rigel bisa melihat bungkusan merah itu.
Bukankah itu darah?
Rigel mengamati dengan jeli, memastikan sekali lagi kalau bungkusan yang dibawa Joanna memang kantung berisi darah. Untuk apa Joanna mengambil sekantung darah? Apa untuk dirinya? Tapi ia tidak kekurangan darah, luka di lengannya pun tak sampai membuatnya kehilangan banyak darah. Lantas, untuk apa darah tersebut. Rigel heran, bingung sekaligus penasaran. Ia bertanya-tanya dan tak menemukan jawaban yang cukup logis.
"Nih." Joanna berhenti di hadapan Rigel, memberikan sekantung darah itu padanya.
"Darah?" Rigel menaikkan sebelah alisnya, memicingkan matanya saat menatap kantung darah yang disodorkan Joanna. "Untuk apa? Aku tak membutuhkannya."
Joanna mendengkus pelan. "Aku sedang malas menjelaskan panjang lebar kegunaan darah ini, cukup kau minum dan kau akan menemukan jawabannya."
Kening Rigel semakin mengkerut, tak puas akan jawaban Joanna yang terkesan tak memberinya pilihan selain meminum darah itu untuk mendapatkan jawaban. Tapi orang waras mana yang akan meminum darah? Melihat wujudnya yang bewarna merah kental saja sudah membuat perut Rigel bergejolak dan mual seketika. Apalagi kalau sampai ia meminumnya, setetes saja mungkin ia akan langsung muntah-muntah mengeluarkan semua isi dalam perutnya.
"Enggak deh." Rigel mendorong kantung darah tersebut, menolak untuk meminumnya.
Joanna mengembuskan napas panjang, disusul decakan dari mulutnya. Ia meraih tangan Rigel dan memaksa lelaki itu untuk menerima kantung darah yang diambilnya dari lemari pendingin. "Tenang saja kau tak akan mati hanya karena meminumnya.
Rigel mendesah berat, memandang enggan pada kantung darah yang kini ada di tangannya. Lalu beralih menatap Joanna yang memberikan tatapan tidak mau dibantah. "Bukan itu masalahnya, aku ...." Rigel menghela napas kasar, bingung harus bagaimana menjelaskan pada Joanna kalau ia tidak mau meminumnya. "Jo, ini darah, kau pasti bisa membayangkan seperti apa bau amis dan rasanya. Melihatnya saja aku sudah mual dan kau memaksaku untuk meminumnya. Apa kau cukup gila untuk menyuruhku meminumnya?"
Joanna malas berdebat, tapi Rigel terlalu keras kepala dan tingkahnya lebih menyusahkan ketimbang anak kecil. "Ini Darah fermentasi, aman untuk dikonsumsi dan berguna untuk menyembuhkan lukamu dengan cepat. Aku harap penjelasan singkat ini mampu membuatmu paham dan berhenti keras kepala menolak meminumnya. Karena lukamu harus cepat diobati."
"Apa tidak ada obat lain yang lebih masuk akal?" Rigel mencoba meminta obat lain, dari pada harus meminum darah. Apa iya darah bisa mengobati lukanya. Darah fermentasi? Rigel baru mendengarnya. Apa itu artinya ada bakteri baik dalam kandungan darah tersebut? Ya Tuhan, pikirannya jadi ikut tidak waras karena memikirkan tentang darah tersebut.
Joanna benar-benar lelah, kenapa susah sekali memberitahu Rigel dan kenapa juga lelaki itu terus membantah ucapannya. Joanna mencondongkan tubuhnya ke hadapan wajah Rigel, menatap lekat mata lelaki itu yang terlihat gugup.
"Why?" Rigel mempertanyakan sikap Joanna yang tiba-tiba menatapnya seperti itu.
Joanna memicingkan matanya, menyelami pandangan Rigel sejenak. Lalu ia berkata pelan. "Apa keberadaanmu di sini itu masuk akal?"
Rigel terdiam, tersentil oleh pertanyaan Joanna. Benar, keberadaannya di sini saja sudah tidak masuk akal, tapi bukan berarti ia harus mengikuti hal-hal yang tidak masuk akal juga kan? Tapi kenapa Joanna seakan memaksanya harus beradaptasi dengan dunia game yang begitu konyol ini.
"Aku sudah bilang berulang kali, jangan pakai logika di sini. Kalau kau tak bisa menyesuaikan diri, maka keberadaanmu tak akan lama. Apa kau pikir kau bisa keluar dengan mudah?" Joanna kembali mengeluarkan kata-kata yang sulit Rigel mengerti. "Cepat minum, kau hanya perlu membayangkan kalau darah itu cuma sirup biasa. Mudah 'kan? Waktu kita tidak banyak Rigel, jika kau ingin aku membantumu keluar dari sini turuti semua yang aku perintahkan dan jangan pernah mendebatnya. Karena aku melakukan yang terbaik untukmu dan mustahil juga aku akan menjerumuskan apalagi mencelakaimu. Jadi tak ada yang perlu kau khawatirkan lagi, Rigel. Minum sekarang juga." Kali ini Joanna memaksa lewat sorot mata dan ancamannya.
Rigel yang hanya bisa mengandalkan Joanna untuk keluar dari sini, pun hanya bisa pasrah dan mengikuti kemauan perempuan itu. Walau rasanya sangat eneg dan ingin muntah, Rigel memaksakan diri untuk menyedot darah dari kantung yang diberikan Joanna.
Rigel memang belum pernah meminum darah, tapi ia yakin kalau rasa darah tidak seperti ini. Tidak ada bau amis yang menyengat juga, apakah mungkin karena ini darah fermentasi. Rigel tak mau ambil pusing memikirkan hal tersebut, setidaknya dengan aroma dan rasa yang tidak menyerupai darah membuatnya dengan mudah meminum habis semua cairan kental berwarna merah dari kantung yang dipegangnya.
"Puas?" Rigel menunjukkan kantung darah yang sudah kosong ke depan wajah Joanna. Ia mendengkus pelan saat perempuan itu mengangguk sembari memamerkan senyum lebarnya. Seolah puas sekali telah menyuruh Rigel meminum darah dengan dalih untuk kesembuhan luka di lengannya.
"Kau bisa beristirahat sambil berjaga-jaga, aku akan mengambil beberapa obat-obatan untuk bekal perjalanan kita nanti," kata Joanna, menyuruh Rigel beristirahat dan mengawasi keadaan sekitar.
Rigel mengangguk. Ia memang butuh beristirahat, tenaganya sudah banyak terkuras karena rute panjang yang dilaluinya lewat saluran bekas pembuangan. Bahkan aroma besi karat masib tercium oleh indera penciumannya, seolah bau itu telah menempel erat pada sekujur tubuh dan pakaiannya.
"Jangan ambil darah," seru Rigel, memperingati.
Namun, Joanna hanya terkekeh menanggapi. Jelas ia tak akan mendengarkan apa kata Rigel dan tetap akan mengambil lebih banyak kantung darah untuk bekal selama perjalanan panjang menyelesaikan misi. Bagi Rigel mungkin ini hanyalah sekantung darah tak berguna, tapi untuk Joanna yang mengetahui manfaat kantung darah fermentasi itu jelaslah sebuah obat mujarab untuk segala bentuk luka. Bisa dibilang darah ialah tambahan untuk memperpanjang nyawanya di sini.
Terdengar tidak logis dan terkesan menentang hukum alam. Tapi sekali lagi, logika tak berguna di sini, semua hal yang terjadi di sini adalah ketidak masuk akalan dan Joanna tahu itu. Sebab itulah ia sama sekali tak peduli dengan apa pun selain bertahan hidup dan berusaha keluar dari tempat terkutuk ini.
Joanna dengan cepat memasukkan beberapa obat-obatan yang diperlukan ke dalam tas ranselnya, serta beberapa kantung darah fermentasi ke dalam kantung lain yang sudah ia siapkan sebelumnya. Semua obat-obatan ini harus segera ia pindahkan ke lemari pendingin yang ada di bagasi mobilnya. Karena jika terlalu lama terpapar di suhu ruang, maka manfaatnya akan berubah dan bisa jadi fungsinya juga akan berubah.
"Sudah?" Rigel bertanya ketika Joanna kembali menghampirinya, membawa satu kantung penuh darah fermentasi. Sontak ia mengembuskan napas kasar, terlihat tidak suka. "Kau tak mendengarkan aku? Atau jangan-jangan sebenarnya kau vampir yang haus akan darah. Makanya kau mengambil semua kantung penuh darah itu." Rigel mengedikkan dagu menunjuk kantung di tangan Joanna.
Joanna mendengkus geli, tidak tersinggung akan ucapan Rigel barusan. Ia malah tersenyum geli melihat bagaimana lelaki itu begitu membenci darah sampai segitunya. "Apa kau phobia darah? Sepertinya kau sangat membenci darah."
Rigel mengembuskan napas kasar, membuang muka ke arah lain. "Ya, aku benci darah dan itu semua karena ulahmu yang memaksa aku minum darah."
"Kalau kau tak mau minum darah, cukup jaga dirimu jangan sampai terluka parah." Joanna mengambil kantung lain berisi makanan dan menjadikan satu dengan kantung penuh darah itu. "Setidaknya jika lau tak terluka, kau tak perlu meminum darah ini sebagai obat pemulihan."
Rigel berdecak, malas menanggapi ocehan Joanna. Ia memalingkan wajah menyisir area sekitar yang tampak begitu lenggang dan sunyi senyap. Untungnya di sini tidak segelap di luar ruangan, ada sedikit cahaya dari lemari pendingin yang terdapat bolam lampu di dalamnya.
Tapi tunggu, bagaimana lemari pendingin itu bisa menyala. Sedangkan di gedung ini tidak ada listrik. Rigel memperhatikan lemari-lemari pendingin yang memancarkan silau cahaya, sedikit memberi penerangan ke sekitarnya. Jika diperhatikan tidak ada sambungan kabel di sini, lalu dari mana lemari pendingin itu mendapatkan sumber listrik.
"Bawa sini kantungmu." Suara Joanna menarik atensi Rigel, mengalihkan pandangannya dengan cepat pada perempuan itu yang sedang sibuk menata kantungnya di dalam tas besar yang mirip troli minimarket dengan roda di bawahnya dan tarikan pada bagian atas.
"Dari mana kau mendapatkannya?" tanya Rigel. Pasalnya ia ingat jika Joanna tidak membawa benda itu saat memasuki gedung ini.
"Dari kantung Doraemon," jawab Joanna asal. "Cepat berikan kantungmu, atau kau berniat membawanya sendiri?" Joanna meminta Rigel untuk segera menyerahkan kantung berisi makanan yang tadi ia ambil di ruang penyimpanan makanan.
Rigel mendengkus pelan, setelah mendengar jawaban Joanna yang ambigu. Malas mendengar ocehan Joanna, ia segera menyerahkan kantungnya ke perempuan itu. Joanna menerima kantung itu dan segera memasukkannya ke dalam tas troli, menarik resleting dan menutup tas tersebut.
"Beres, sekarang waktunya kita keluar dari sini." Joanna tampak begitu bersemangat, beranjak berdiri dan bersiap untuk keluar dari ruangan pengap ini.
"Jo." Namun, panggilan Rigel menghentikan niat Joanna untuk keluar. "Apa kita tidak bisa beristirahat lebih lama. Aku masih lelah."
Joanna memandang sejenak Rigel, lalu mendesah berat. "Apa kau pikir aku tidak lelah? Aku sama seperti dirimu, aku bukan robot dan aku sangat lelah. Jika dibandingkan denganmu, aku lebih banyak mengeluarkan tenaga. Aku juga ingin beristirahat, Rigel. Bahkan aku belum sempat mendaratkan bokongku barang sedetik saja atau menyandarkan punggung yang serasa pegal-pegal. Aku sangat ingin beristirahat, tapi kita tidak punya waktu. Kau tidak mau kan kalau robot-robot di luar keburu bangun lagi dan menyadari keberadaan kita."
Rigel mengerti dan ia tak punya alasan untuk meminta Joanna mengikuti kemauannya. Harusnya ia bersyukur karena Joanna masih memberinya kesempatan untuk beristirahat walau sebentar, keadaan mereka yang makin terdesak jelas membuat mereka harus bergerak lebih cepat.
"Oke." Dan pada akhirnya Rigel setuju untuk bergegas keluar dari ruangan ini.
Namun, baru saja ia beranjak dari duduknya, tiba-tiba saja lengannya bereaksi. Denyutan luar biasa menyakitkan, membuat dirinya mengerang tak berdaya. "Aarrrrgh"
Joanna spontan menoleh saat mendengar erangan Rigel. Ia melebarkan mata ketika mendapati lelaki itu terjatuh ke lantai, meringkuk memegangi lengannya sembari merintih. "Rigel, kau kenapa?" Joanna jelas panik melihat Rigel mengerang seperti itu. "Rigel, kenapa? Ada apa?"
Rigel semakin keras mengerang, menahan nyeri pada lengannya. "Tanganku sakit sekali."
Joanna yang mengerti segera membantu Rigel melepaskan jaketnya. Ia menggulung kaus Rigel sampai bahu dan seperti dugaannya, sakit yang Rigel rasakan saat ini karena darah yang tadi diminum sekarang sedang bereaksi memulihkan luka pada lengan Rigel.
"Bertahanlah, sebentar lagi lukamu akan sembuh," ucap Joanna, mengamati lengan Rigel setelah melepaskan balutan perban di bagian yang terluka.
Rigel tak paham akan maksud perkataan Joanna. Bagaimana lukanya akan sembuh jika sekarang saja sakit luar biasa tak tertahankan. Tapi ia tak ada tenaga untuk meminta penjelasan, rasa sakit, nyeri bercampur perih pada lengannya yang terluka membuat ia tak mampu menahan lebih lama. Hingga akhirnya Rigel gagal mempertahankan kesadarannya, ia tumbang tak sadarkan diri.
"Rigel!" Joanna yang melihat Rigel tak sadarkan diri berubah jadi panik. Ini di luar perkiraannya, seharusnya kerja darah itu tak sampai membuat Rigel pingsan. "Rigel, bangun!" Namun, kenyataannya Rigel tak sadarkan diri karena pengaruh darah yang tadi ia minum.