Chapter 4

1018 Kata
Setelah menerima memory card dari Azanie, Innara langsung turun dan mobil wanita itu. Innara berlari cepat dan masuk ke dalam rumah. Wanita itu membuka laptopnya dan mencolokkan card reader pada salah satu sisi. Tak berapa lama Innara sudah bisa melihat isi file yang ada di dalam memory card yang diberikan oleh Azanie. "Mas Rayka ...." Tak bisa berkata – kata, Innara langsung menutup mulutnya sendiri. Tak percaya dengan apa yang sedang ia lihat saat ini. Terdapat file - file yang membuat Innara sakit hati sekaligus geram saat memeriksa memory card yang berasal dari Azanie tersebut. Bagaimana tidak, selain foto - foto kebersamaan antara Rayka dan Azanie, file-file itu juga berisi beberapa adegan tak senonoh yang sama sekali tak pantas dilihat, apalagi dilakukan oleh dua orang tanpa status hubungan yang jelas terlebih di luar pernikahan. "Kenapa kalian tega ngelakuin ini? Kenapaaaaa...?!" Innara menelungkupkan wajahnya ke atas meja, dia mematikan tampilan di layar laptopnya dan langsung mencabut kasar memory card tersebut, lalu membuangnya ke tempat sampah. Innara lantas menangis sejadinya, hatinya benar-benar sakit dan hancur saat mengetahui bahwa ternyata selama ini calon suami dan sahabatnya bermain gila di belakangnya. "Apa aku salah menilaimu selama ini, Mas? Apa aku salah? Apa kamu selama ini memang mencintai Azanie, dan bukan aku?" Innara meraung dalam tangisannya, kemudian mengambil bantal dan membekap mulutnya sendiri. Membuat wanita itu menelan jeritan pilu yang menyayat hati seorang diri. "Sebenarnya apa salahku? Kalau dari awal kamu sukanya smaa Azanie, kenapa kamu menjalin hubungan denganku, Mas Rayka?" Innara masih terisak, bertanya pada dirinya sendiri. Satu jam sudah berlalu. Isak tangisnya hanya tersisa senggukan yang sesekLi datang. Kepala Innara pusing setelah menangis, dan wanita itu pun akhirnya merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Meskipun sudah lelah menangis, akan tetapi begitu ia merebahkan tubuh ke atas ranjang dan kembali teringat pada sosok laki - laki yang sudah menyakitinya itu, Innara pun kembali menangis. Air matanya seolah tak terbendung sama sekali. "Padahal aku mengira kita punya takdir yang indah, Mas. Kenapa?" Innara masih dennial. "Padahal aku ngerasa kalau takdir kita sempurna. Aku mau mengabdikan seumur hidupku untuk dihabiskan bersama kamu, Mas Rayka." Innara membiarkan dirinya tenang. Setelah dua jam berlalu, akhirnya wanita itu memberanikan diri untuk menelepon Rayka. Menanyakan kebenaran atas apa yang sudah terjadi di antara pria itu dan Azanie. Innara merasa memerlukan penjelasan. Meskipun perasaannya hancur berkeping – keping, tapi wanita itu ingin mengetahui kebenaran yang ada. Begitu memutar nomor Rayka, suara Innara bergetar. "Mas Rayka...." [Innara? Suara kamu kenapa, Sayang? Kamu habis nangis?] Innara menahan air matanya. Suara Rayka terdengar hangat dan seperti tidak mencerminkan bahwa ada masalah dalam hubungan mereka. Seolah pria itu hanya memiliki satu wanita, yaitu Innara saja. Apa Mas Rayka juga semanis ini saat ngomong ke Azanie? "Mas, ada yang mau aku omongin." Innara mengatakan semuanya to the point. Wanita itu tidak ingin bertele – tele. Entah apakah Rayka sudah mengetahui hal ini atau belum. Tapi, mau sudah tahu atau belum sekalipun sama sekali bukan urusan Innara. Dia hanya harus mengatakan kenyataannya saja pada Rayka. Semua ini bertujuan agar hubungan mereka jelas. [Iya, Sayang. Ngomong aja. Kenapa? Kok calon pengantinnya Mas nangis gitu sih?] Rayka masih terdengar bisa bercanda, ada sedikit nada tawa di dalam bicaranya. Dan itu semakin menyakiti Innara. Bagaimana bisa kamu yang semanis dan selembut ini ternyata bermain gila di belakangku, Mas? Bagaimana bisa kamu yang selalu perhatian dan setia di mataku, nyatanya malah menghamili Azanie? Bagaimana bisa kepercayaan yang sduah kuberikan seluruhnya ke kamu, malah kamu hancurkan tanpa sisa begini? Pergolakan batin Innara semakin kuat. "Mas Rayka, tolong jujur sama aku. Sebenarnya ada hubungan apa di antara Mas Rayka dan Azanie?" Innara melontarkan pertanyaan itu secara langsung dan tepat sasaran. [Hah? Hubungan? Ya aku sama Za sahabatan. Kami temen dari kecil, kan kamu juga tahu, Sayang. Dia sahabat kamu dan temen kecilku. Kenapa sih?] "Mas Yakin sama sekali nggak ada hubungan apapun dengan Azanie?" Innara menyelidik. Jawaban yang diberikan Rayka jelas penuh dengan kebohongan. [Kamu kenapa sih, Sayang? Kok mendadak pertanyaannya kayak gitu? Biasanya kita juga udah deket dari dulu. Selama kita dekat, kamu pun nggak pernah protes sama sekali. Kenapa baru sekarang? Kamu keberatan dengan kedekatan aku dan Za? Kalau memang iya, aku akan cari celah untuk menjauh dari Za.] "Menurut Mas Rayka, apa itu penting sekarang?" Innara terus mendorong pertanyaan yang menjurus ke titik permasalahan. [Serius, deh. Kamu kenapa Innara?] "Kalau Mas Rayka baru mau memutuskan untuk menjauhi Azanie sekarang, apakah itu bakalan ngasih manfaat buat aku? Apakah itu akan mengubah keadaan?" Innara tidak tahan lagi. "Mas Rayka nggak usah bohong lagi sama aku. Mas main gila, kan, sama Azanie?!" [Innara, kamu kenapa, sih? Apa – apaan nuduh aku kayak gini?] Dalam sepersekian detik Innara bisa mendengar adanya perubahan nada bicara pada Rayka. Dia mendelik curiga. "Kenapa? Mas marah? Kesal? Kalau gitu jawab aku yang bener, Mas!" [Nara ... sayang ... kamu kenapa?] "Mas ngaku aja. Barusan Azanie ke sini dan bilang kalau dia hamil anak mas Rayka!" Innara tidak bisa menahan pekikannya. "Udahlah, nggak usah ngeles, semua ada buktinya. Azanie ngasih aku video panas dan foto – foto bugil kalian!" [Nara-] Klik! Sebelum Rayka selesai bicara, Innara mematikan sambungan teleponnya. Dia menangis sejadinya, menelungkupkan wajah ke bantal hingga basah. Meski matanya bengkak dan perih, tapi ternyata Innara masih bisa menangis tersedu – sedu. Setelah beberapa saat Innara keluar dari kamar. Rosita, wanita paruh baya yang baru selesai menghitung total pesanan souvenir pun menatap putrinya yang tampak kacau setelah keluar dari kamar. "Nara, ya ampun! Kamu kenapa, Nak?" Innara menatap ibunya dengan tatapan nanar. Tak langsung menjawab, wanita itu justru memberikan pelukan erat pada Rosita. "Mama!" dia menangis sejadinya. Rosita sejujurnya heran, tapi dia membiarkan putrinya menangis lebih dulu agar perasaannya menjadi sedikit lebih lega. "Nara sayang ... anak mama yang paling cantik. Kamu kenapa, Nak?" "Ma, Mas Rayka ...." Rosita mendelik. "Rayka kenapa?" Innara tidak langsung menjawab, tampak bahwa wanita itu tidak sanggup menatap sang Mama. Gimana caraku bilang ke Mama? Aku nggak mungkin bilang kalau nggak mau lagi menikah dengan Mas Raka... "Nara, coba cerita ke Mama." Rosita masih memeluk putrinya. "Ma, gimana kalau seandainya Nara mau batalin pernikahan?" Rosita terbelalak, menatap Innara dengan tatapan tak percaya. "Apa?!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN