Pernikahan Innara dan Rayka hanya tinggal menghitung hari, dan Rosita baru saja mendengar bahwa putrinya berbicara soal pembatalan pernikahan. Apa yang sudah terjadi? Setahu Rosita, Innara dan Rayka sama – sama sudah sepakat untuk mengakhiri masa pacaran mereka dan memutuskan untuk mengikat janji suci untuk mengabadikan cinta mereka selamanya.
"Ma, Innara mau batalin pernikahan sama Mas Rayka." Innara berucap lirih lagi. "Kalau bisa Nara nggak mau lanjut lagi, Ma...."
"Nara, kamu kenapa, Sayang? Jelasin dulu ke Mama, Nak." Rosita kebingungan.
Sepanjang hidupnya Innara jarang sekali merengek karena suatu hal. Sebab, jika Innara sampai merengek, maka sesuatu yang genting pasti terjadi. Rosita jadi was-was. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Tapi reaksi putrinya sampai seperti ini.
"Innara, pernikahan itu bukan mainan, sayang. Kamu dan Rayka sudah mentukan hari di maka kalian akan menyatukan cinta dalam ikatan suci pernikahan." Rosita membelai wajah putrinya dengan lembut. "Mama nggak akan memaksa kamu, tapi Mama minta tolong kamu jelasin dulu. Apa alasan kamu mau membatalkan pernikahan dengan Rayka?"
Innara menatap sang Mama. Dia tidak tahu apakah sebaiknya bilang saja, atau mencari alasan lain. Tapi, sebelum Innara membuka mulut, mendadak pintu ruang tamu terbuka.
Brak!
"Innara cuma lagi marah sama aku aja, Tante. Tolong kasih kami waktu untuk bicara berdua."
Sosok Rayka muncul tanpa bisa di duga – duga. Mata Innara terbelalak saat menatap Rayka yang menerobos masuk ke rumahnya begitu saja. Rosita tampak kebingungan dengan situasi yang ada sekarang, akan tetapi sebelum sempat mencerna keadaan, Rayka Langsung masuk menghampiri Innara yang sedang berada di dalam pelukan mamanya dan menarik tangan wanita itu keluar.
"Nara, sayang... jangan gegabah. Kita harus ngomong." Rayka mengatakan itu dengan nada biacara yang lembut. "Maaf ya Tante, Nara bilang dia mendadak ragu dan overthinking. Aku tenangin Nara dulu."
Tanpa menunggu jawaban Rosita, Rayka pun menarik tangan Innara keluar dari rumah dan memasukkan wanita itu ke dalam mobilnya sebelum meninggalkan kediaman Innara. Pajero Sport warna hitam itu melaju di jalanan dan bergabung dengan lalu lintas yang ramai lancar dan cenderung sepi itu.
Innara sama sekali tidak mengatakan apapun dan ia hanya menatap lurus ke depan dengan matanya yang sembab dan bengkak. Sementara itu Mereka mencoba mencuri-curi pandang sambil mencari kesempatan untuk membicarakan apa yang sudah terjadi di antara mereka. Namun, keduanya tahu bahwa Innara tidak akan membuka mulut. Jadi Rayka memutuskan untuk membawa Gadis itu ke tempat yang tenang untuk berbicara.
Mobil Rayka akhirnya berhenti di sebuah taman kota yang tampak sunyi. Mereka parkir di pinggir jalan tepat di bawah lampu yang menyala kuning keemasan.
"Mas, tolong jujur sama aku." Innara langsung membuka mulut begitu mobil berhenti. "Aku bukan anak kecil yang bisa kamu bohongin. Apalagi kamu mengkhianati aku dengan hubungan kamu sama Azanie."
Rayka tampak gelisah, dia juga tidak tahu harus menjelaskan seperti apa. "Nara, itu semua salah paham. Aku sama sekali nggak pernah..."
"Nggak usah bohong, Mas!" Innara memotong ucapan Rayka dengan nada tinggi. "Aku lihat sendiri kalian punya banyak moment mesra. Yang kayak gitu nggak mungkin kalau cuma teman! Teman macam apa yang bisa menghamili temannya sendiri?!"
Innara membuang muka. "Udah lah, Mas Rayka. Kita udahan aja. Nggak ada lagi harapan di dalam hubungan kita."
"Nara, aku mencintai kamu." Rayka menatap nanar pada Innara.
"Azanie pun tampaknya sama mencintai kamu, ditambah dia mengandung anakmu. Lebih baik kamu balik ke dia." Innara mencibir. "Aku nggak mau suamiku punya anak dari wanita lain. Nggak sampai hati aku ngebatin, Mas!"
"Itu salah paham, Nara... tolong dengerin aku." Rayka masih berusaha membujuk Innara.
Jujur saja, Rayka sama sekali tidak pernah mencintai Azanie. Satu - satunya wanita yang dicintai Rayka pun hanya Innara saja. Sejak awal di hanya menganggap Azanie sekadar teman. Tak lebih. Tapi siapa sangka semuanya akan jadi seperti ini karena konsep pertemanan yang salah?
"Innara, tolong dengerin aku. Ini beneran salah paham ..." Rayka mencoba untuk melanjutkan ucapannya. "Aku sama Azanie beneran nggak ada apa – apa."
"Mas! Nggak ada apa – apa nggak mungkin hamil! Memangnya kamu pikir gandengan tangan doang bisa menghasilkan bayi?!" Innara kehilangan kesabaran. "Aku sudah cukup sampai di sini. Aku nggak bisa melanjutkan pernikahan kita. Ada Azanie dan cabang bayi yang merupakan darah dagingmu akan terlantar kalau kita melanjutkan pernikahan!"
"Tapi aku cuma mencintai kamu, Innara!" Rayka mengerang frustrasi sambil menjambak rambutnya. "Aku nggak pernah mencintai Azanie. Aku beneran cuma menganggap dia teman, nggak lebih. Ini kesalahan Innara. Aku minta maaf."
"Nggak semudah itu, Mas. Semuanya sudah terjadi, dan ini nggak seperti kaset yang bisa kamu replay seenaknya. Faktanya kamu sudah meniduri Azanie dan membuat dia mengandung anakmu!" Innara berteriak keras. "Kamu mau aku membuat seorang bayi jadi yatim?"
"Dia nggak yatim, sejak awal Azanie pun nggak pernah menuntut hubungan dari-"
"Egois, kamu Mas Rayka!" Innara memotong tajam. "Aku nggak nyangka, ternyata lelaki yang selama ini aku cintai adalah laki – laki egois dan sama sekali nggak bertanggung jawab."
"Innara, kita sudah sampai sejauh ini, apa kamu mau menyerah hanya karena masalah ini? Bisa jadi itu bukan anakku." Rayka masih berusaha menjelaskan, tapi entah mengapa kalimat yang terlontar dari bibir Rayka justru semakin membuat Innara emosi. "Kalau memang itu anakku, aku pasti dijebak! Aku nggak pernah mau melakukan itu sama Azanie. Perasaanku murni teman, Innara. Tolong mengerti."
"Cinta dan nafsu itu beda, Mas. Meski kamu bilang nggak cinta, tapi nafsumu sudah memperdaya Azanie, sekarang kamu mau kabur begitu aja?!"
Rayka terdiam. Dia memejamkan matanya. Innara menyandarkan kepalanya ke jok mobil dan menghela napas panjang. Keheningan begitu mencekat. Selama beberapa menit sama sekali tidak ada yang bicara. Baik Innara atau pun Rayka sama – sama bungkam.
Masalah pelik yang datang mendadak ini, semua karena Azanie. Rayka mengepalkan tangannya kuat – kuat. Andai aja Azanie nggak bilang apapun ke Innara, pasti nggak jadi begini.
Rayka menjambak ramburnya frustrasi, menghela napas berkali – kali. Dia melirik pada Innara yang masih menghindari tatapannya. Wanita itu jelas terluka. Rayka ingin sekali memeluknya, membelai rambutnya, kemudian mengatakan pada Innara kalau semua akan baik – baik saja. Namun, tentu saja ia tidak bisa. Innara pasti akan menolak langsung, atau kemungkinan terburuknya dia akan turun dari mobil dan pulang dengan taksi.
"Mas Rayka." Akhirnya Innara bersuara setelah beberapa saat bungkam. "Kayaknya memang akan lebih baik kalau kita batalkan pernikahan ini. Dan mas lebih baik mendiskusikan soal tamu undangan dan yang lain dengan keluarganya Azanie aja."
Mata Rayka melotot begitu mendengarnya. "Innara, kamu nggak serius, kan?"
"Apa aku sebercanda itu di mata Mas Rayka?"