"Kamu udah siap kan untuk konfrensi pers bentar lagi?" tanya Dita pada Arga di tangga darurat.
"Siap. Kamu yang ngomong apa aku ikutan ngomong juga?"
"Biar aku aja yang ngomong. Tapi kalau kamu mau nambahin juga boleh sih."
"Ok. Kamu santai aja, dari wajahmu keliatan banget gugupnya. Coba rileks Dita, tarik napas panjang lalu hembuskan. Tangan kamu juga dingin nih," Kata Arga memegang tangan Dita yang sedikit basah.
Dita menarik napas panjang beberapa kali hingga merasa lebih tenang. Dia meyakinkan dirinya kalau dia bisa menghadapi semua yang akan terjadi setelah konfrensi pers, karena dia merasa khawatir pada keberlangsungan karirnya.
"Aku boleh peluk sebentar enggak?"
"Boleh dong, enggak ada yang melarang."
Dita mendekat dan memeluk Arga lalu berbisik di telinga Arga, "Terima kasih ya sudah mau bantuin aku sampai saat ini."
"Sama-sama," jawab Arga. Dita pun mengurai pelukannya.
"Ayo kita ke ruangan konfrensi pers," ajak Dita pada Arga.
Sebelum mulai jalan, Arga terlebih dahulu meraih tangan Dita, lalu memegang tangan Dita.
"Ayo. Kalau kayak gini udah terlihat seperti pasangan kan?" ujar Arga sambil tersenyum. Senyumnya manis sekali.
Mereka berjalan bergandengan tangan ke ruangan konfrensi pers. Tiba di ruang konfrensi pers. Dita naik podium, sedangkan Arga berdiri di sebelahnya. Dita menoleh ke arah Arga. Arga menganggukan kepalanya untuk memberi isyarat agar Dita segera memulai konfrensi pers.
"Baik kita mulai aja konfrensi pers hari ini ya. Informasi yang akan saya sampaikan adalah bahwa saya Dita Gayatri, sudah menikah dengan seorang fotografer yang bekerja di agensi Pak Damar beberapa hari yang lalu. Pernikahan kami dilakukan secara sadar tanpa paksaan siapa pun, dan niat kami untuk menikah juga baik." Dita menjeda ucapannya sejenak.
"Kalian juga tahu kalau sebelumnya saya pernah bertunangan dengan Pak Damar, tetapi pernikahan ini tidak ada hubungannya dengan perasaan sakit hati saya. Arga itu teman kuliah saya, dan dulu juga saya pernah punya perasaan suka sama dia. Ketika kami bertemu kembali, dia melamar saya, dan saya tidak akan melewatkan kesempatan itu dong, jadi saya terima lamarannya."
Dita berbicara dengan percaya diri padahal dia sedang membohongi banyak orang.
"Selamat untuk pernikahannya Mbak Dita. Seperti apa sosok Mas Arga di mata Mbak Dita?" seorang wartawan mulai bertanya.
"Arga itu orang yang paling baik yang pernah saya temui. Selama saya mengenal dia, dia adalah orang yang selalu membantu saya. Bahkan saya masuk ke dunia model itu atas rekomendasi Arga, tetapi di agensi lain, dan Pak Damar adalah salah satu manager di sana."
"Suaminya Mbak Dita ganteng banget ya, jangan-jangan itu salah satu hal yang membuat Mbak Dita tidak bisa menolak ajakan menikah dari Mas Arga. Ada rencana honeymoon kemana nih Mbak?" tanya wartawan lain.
"Arga itu satu paket lengkap ya jadi siapa yang bisa menolak pesonanya. Rencana bulan madu nanti akan dipikirkan setelah jadwal kerja saya mulai longgar."
"Mbak Dita, dulunya bisa pisah dengan Mas Arga karena apa?" tanya wartawan wanita.
"Pisahnya karena sebuah salah paham, itu salah saya sih. Tapi sudah saya lupakan masalah salah paham itu, jadi saya bisa menerima Arga tanpa perasaan curiga dan lainnya."
Konfrensi pers terus berlanjut selama satu jam, karena pihak humas dari agensi membatasi waktu konfrensi pers dan tidak ada lagi wawancara tambahan. Semua wartawan diminta pulang setelah konfrensi pers berakhir.
"Mbak boleh ngobrol sebentar enggak?" Yuni berjalan mendekati Dita.
"Oh boleh, ayo mau di mana?" perasaan Dita mulai campur aduk. Pikirannya mulai menebak-nebak tentang apa yang akan Yuni bicarakan dengannya.
"Di sini aja Mbak, enggak ada orang juga kan."
Dita meminta Asti dan Arga keluar dari ruangan dan menunggunya di luar.
"Gini ya Mbak, aku langsung aja ke intinya, mulai sekarang Mbak Dita jangan dekat-dekat lagi dengan Mas Damar," ucap Yuni tiba-tiba.
"Apa maksud kamu, Yuni?" tanya Dita heran.
"Ya, semua orang tahu Mas Damar itu mantan Mbak Dita, tapi sekarang dia sudah jadi milikku dan semua orang tahu jadi Mbak jangan berusaha lagi mendekati Mas Damar," ucap Yuni penuh penekanan.
"Heh! Siapa juga yang mau ngedeketin si Damar gila itu. Saya juga sudah punya suami kok," balas Dita membela diri.
"Ya kali aja kan Mbak Dita masih gatel masih mau deketin Mas Damar, suami juga bisa aja kan cuma kedok biar keliatan move on, padahal enggak."
"Gila kamu ya, Yuni. Males aku ngomong sama kamu sebenarnya. Tapi aku pengen bilang ini sebelum pergi, makan tuh Mas Damar yang kamu cintai. Sampai kapan pun aku enggak akan merebut dia dari tangan kamu. Catet omongan saya!"
Dita berjalan meninggalkan Yuni. Berbicara dengan Yuni hanya menambah rasa sakit di kepala Dita, karena itu cepat-cepat dia akhiri pembicaraan dengan Yuni.
Di luar ruangan tempat konfrensi pers tadi, Asti dan Arga sudah menunggu. Mereka juga penasaran dengan apa yang dikatakan Yuni.
"Mbak Dita dipanggil Pak Damar, katanya penting," ucap Asti dengan perasaan khawatir Dita akan adu omongan dengan Damar lagi. "Aku temenin ya Mbak."
"Ok."
Dita berjalan menuju ruangan Damar bersama Asti dan Arga. Asti dan Arga sudah seperti bodyguardnya Dita saja.
Sebelum masuk ruangan Dita mengetuk pintu dulu. Dia masuk setelah mendapat izin dari Damar.
"Duduk dulu, Dita. Ada hal penting yang ingin saya bicarakan," ucap Damar dengan tenang.
Dita duduk di kursi menunggu Damar mengucapkan sesuatu, tetapi dia tetap waspada meskipun Damar terlihat seperti tidak ingin mengajak ribut.
"Gini, maaf ya soal kemarin. Jadinya aku putuskan kamu tetap berangkat ke Singapura. Jadwal keberangkatan masih sama dengan sebelumnya, tiket, akomodasi semua sudah diurus."
"Baik, Pak."
"Tumben kamu manggil saya Pak, biasanya enggak ada sopan santunnya sama sekali."
"Mood saya hari ini lagi bagus banget sih Pak. Apalagi dapet berita dari Bapak, itu jadi mood booster juga." Dita tersenyum pada Damar.
"Ya sudah, silakan kembali bekerja."
"Baik, Pak."
Dita meninggalkan ruangan Damar dengan perasaan bahagia. Ingin sekali Dita melompat kegirangan tetapi tidak mungkin dia melakukan itu di ruangan Damar.
"Gimana Mbak?" tanya Asti melihat Dita keluar dari ruangan Damar.
"Kata Pak Damar, aku jadi ke Singapura. Aku seneng banget. Arga, nanti malam pesen tiket buat ke Singapura ya, insyaallah aku jadi berangkat."
"Ok. Nanti aku ajak jalan sekalian."
"Mbak Dita, Asti diajak enggak?"
"Ya diajak dong, masa ditinggal. Terus asisten aku siapa kalau kamu ditinggal? Nanti aku repot sendiri kalau enggak ada kamu." Dita memeluk Asti dengan erat.
"Ya kali aja Mbak Dita lupa sama aku karena sudah ada Mas Arga."
"Ya beda dong, masa Arga dijadiin asisten aku, enggak mungkin deh. Udah pokoknya kamu jangan sedih, pasti aku ajak kok. Nanti kita tidur satu kamar di sana."
"Terus Mas Arga tidur sama siapa, masa kita tidur sekamar bertiga?" tanya Asti.
"Ya enggak dong, nanti Arga tidurnya di kamar sendiri."
Tanpa mereka sadari ada yang mencuri dengar obrolan mereka dari tempat yang tidak terlalu jauh. Posisi berdiri Dita, Asti dan Arga agak jauh dari ruangan kerja Damar.
"Mbak Dita ada di sini?" tegur Wulan yang ingin bertemu Damar. "Aku mau bilang sesuatu, respon wartawan dari konfrensi pers tadi bagus kok, berita yang beredar semua positif, Mbak baca aja di media online, sudah banyak berita yang diunggah, selamat ya Mbak. Aku ke ruangan Pak Damar dulu ada perlu."
"Alhamdulillah kalau gitu, makasih ya Mbak Wulan."
Dita bisa bernapas lega, ternyata apa yang dibayangkan Damar tidak terjadi, selanjutnya tidak akan ada masalah yang akan terjadi pada karir Dita.