bc

SELINGKUHAN CEO ELITE

book_age18+
68
IKUTI
1K
BACA
dark
forbidden
love-triangle
BE
opposites attract
billionairess
heir/heiress
bxg
affair
prostitute
like
intro-logo
Uraian

Aidan Rayendra, 28 tahun, bukanlah pria biasa. Lulusan universitas bergengsi di Inggris, cerdas, tampan, dan berkarisma. Namun, alih-alih bekerja di perusahaan ternama atau membangun startup impian, Aidan memilih jalan gelap: menjual pesonanya pada para wanita kalangan elite. Tapi ada satu nama dalam daftar incarannya yang sejak awal tidak bisa dia abaikan—Celestine Arimbi Halim, CEO wanita terkuat di negeri ini.

Celestine, 35 tahun, adalah lambang kesuksesan. Cantik, tajam, dan berwibawa. Tapi di balik citra sempurna itu, ia adalah istri dari seorang politikus ambisius yang memanfaatkan pernikahan mereka demi kepentingan citra publik. Di rumah, Celestine bukan pemilik keputusan. Ia hanya “hiasan” untuk membuktikan bahwa suaminya adalah pria keluarga. Hingga suatu malam, seorang pemuda bernama Aidan datang dalam hidupnya seperti badai: penuh gairah, rahasia, dan sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.

Aidan berhasil masuk ke lingkaran pribadi Celestine. Ia menggoda, merayu, dan bermain dengan emosi sang CEO, hingga perlahan menjadikannya miliknya. Tapi di balik tatapan hangat dan sentuhan menggoda itu, Aidan menyembunyikan dendam mendalam—dendam yang berakar dari tragedi dua belas tahun silam, ketika keluarga Celestine menghancurkan keluarganya dengan fitnah, korupsi, dan pengkhianatan. Ayahnya dipenjara, ibunya bunuh diri, dan Aidan kecil dipaksa tumbuh tanpa apa-apa.

Balas dendam adalah misinya. Menghancurkan Celestine—secara emosional, psikologis, bahkan reputasi. Tapi semakin dalam ia masuk ke kehidupan wanita itu, semakin ia menemukan sisi rapuh yang tak pernah ia duga. Celestine bukan monster seperti yang ia pikirkan, dan Aidan mulai ragu: apakah ia sanggup menghancurkan wanita yang mulai ia cintai?

Sementara Celestine pun mulai menyadari bahwa pemuda tampan yang kini mengisi waktunya mungkin menyimpan luka yang berhubungan dengan masa lalu kelam keluarganya. Saat kebenaran mulai terkuak, mereka dihadapkan pada pilihan: menebus dosa masa lalu, atau membiarkan dendam dan cinta saling membunuh?

chap-preview
Pratinjau gratis
Bab 1 Permainan dimulai
Langit Jakarta malam itu dipenuhi cahaya lampu hotel bintang lima yang memantul di permukaan kolam infinity. Musik jazz mengalun halus dari sudut lounge eksklusif di lantai teratas. Gaun-gaun mahal, setelan jas mewah, dan gelas-gelas wine memenuhi pemandangan. Tidak yang kontras di sana, baik penampilan atau kekayaan, serta kemewahan, semuanya berpadu menjadi satu kesatuan yang memabukkan. Celestine Arimbi Halim berdiri di dekat balkon, segelas champagne di tangan, mata tajamnya mengamati kerumunan dengan ekspresi datar. Ia mengenakan gaun hitam berbelahan tinggi, simpel tapi mematikan. Tidak ada yang berani mendekat kecuali jika diundang. Begitulah hukum tak tertulis yang berlaku malam ini. Tidak ada yang benar-benar bisa mendekati sang mawar. Karena mereka akan terluka bila tidak berhati-hati dengan durinya yang panjang dan tinggi. Dari sudut bar, sepasang mata menatapnya tanpa takut. Netra itu terus memantulkan bayangan Celestine seolah yang menarik perhatiannya hanya wanita itu, tidak ada yang lain. Aidan Rayendra, jasnya sederhana, tapi pas di tubuh atletisnya, dasi longgar seperti ia sengaja tak mau terlihat terlalu serius. Ia tidak memegang minuman, hanya menyender santai, memperhatikan wanita yang selama ini hidup di kepalanya sebagai target—dan sekarang, untuk pertama kalinya, berdiri hanya beberapa meter darinya. Ia menunggu. Seperti ditarik oleh energi tak kasat mata, Celestine memalingkan kepala. Tatapan mereka bertemu. Ia melihat wanita itu mengerutkan kening sedikit. Mencoba mengingat. Mencoba menilai lantas sebuah gerakan kecil yang nyaris tak terlihat—senyuman tipis yang bukan senyuman sebenarnya. Aidan melangkah. Langkahnya mantap, percaya diri. Ia berhenti hanya setengah meter dari Celestine, mengangkat alis sedikit, lalu berkata dengan suara yang rendah dan dalam, “Aku pikir kamu sengaja berdiri di sini untuk menunggu seseorang yang menarik. Ternyata kamu menunggu aku.” Celestine menaikkan alis. “Kamu selalu bicara seperti ini pada wanita di pesta?” “Tidak. Hanya pada wanita yang terlihat terlalu lelah pura-pura bahagia.” Matanya menatap langsung ke dalam mata Celestine. Tidak merendah, tidak memuja. Hanya menantang. Celestine diam. Separuh dirinya ingin mengusir pria ini. Separuh lagi sedikit tertarik. Tak ada yang berani berkata seperti itu padanya. Tidak sejak lama. Bukan karena dia tidak menarik, tapi justru pesona Celestine mendekati semua dari berbagai aspek, baik estetika, kecantikan, keanggunan ataupun kekayaan. Status sosialnya? Tinggi, nyaris tak tergapai atau terimbangi. “Apa kamu tahu aku siapa?” tanyanya, pelan tapi tajam. Aidan mendekat sedikit. Napas mereka nyaris bersentuhan. “Aku tahu kamu seorang ratu. Akan tetapi bahkan ratu, kadang ingin ditaklukkan. Aku merasa kamu memanggilku untuk itu.” Detik itu, Celestine tahu—pria ini berbahaya. Tapi entah kenapa, ia tidak melangkah mundur. Wanita cantik malah tersenyum tipis dan berkata, “Kalau begitu, semoga kamu siap bermain di arena para pemangsa.” Aidan membalas dengan senyum menggoda. “Aku bukan bermain. Aku datang untuk menang.” Dalam riuh musik serta sorot lampu malam itu, pertarungan antara dua jiwa yang saling menyimpan luka pun dimulai—dengan satu kalimat, satu tatapan, dan satu niat tersembunyi. Tidak ada lanjutan, Celestine memilih pergi. Sekretatris pribadinya memanggil, mengatakan ada sesuatu hal yang mendesak dan harus segera diselesaikan. Aidan tidak menghalangi atau mencoba melakukan sesuatu, baginya, malam ini cukup. Dia sudah memberikan kesan yang baik dan itu cukup untuk membuat pertemuan kedua seolah menjadi takdir yang diatur oleh semesta. Di ruang VIP salah satu galeri seni tempat acara penggalangan dana berlangsung, Aidan kembali muncul. Kali ini dengan setelan navy biru tua, rambut ditata rapi, dan senyuman yang masih berbahaya. Celestine sedang berdiri sendirian, menatap lukisan abstrak. Ia mendengar langkah mendekat, dan sebelum ia bisa berpaling, suara itu kembali membungkusnya. “Aku kira kamu hanya datang di pesta perusahaan. Ternyata kamu juga menyukai seni.” Celestine tak menoleh. “Atau mungkin aku datang untuk menghindari orang seperti kamu.” Aidan tertawa kecil. "Terlambat." Sebelum Celestine bisa menjawab, seseorang dari seberang ruangan memanggilnya. Ia berpaling sejenak, memberikan anggukan profesional—dan saat ia hendak kembali menghadapi Aidan, pria itu sudah berdiri terlalu dekat. Bahunya menyentuh lengannya. Ringan. Tak disengaja. Namun seperti aliran listrik, sentuhan itu menjalar cepat ke seluruh tubuhnya. Sesuatu terbangun dalam dirinya. Sebuah gairah yang tidak lama dirasakan. Celestine menahan napas. Ia sudah disentuh lebih banyak pria dalam bisnis daripada yang ia inginkan, termasuk oleh suaminya yang menyebalkan. Namun, tak ada satu pun yang membuatnya merasa hidup dan "ingin makan". “Jangan lakukan itu lagi,” bisiknya, nyaris tak terdengar. Aidan membungkuk sedikit, membisikkan balasan di telinganya, “Aku bahkan belum benar-benar menyentuhmu, Celestine.” Nama itu terdengar berbeda di bibir pria ini. Terlalu akrab. Terlalu intim. Celestine melangkah mundur. Ia harus pergi. Ini gila. Ini salah. Itu yang dipikirkannya. Berbeda dengan pikirannya, yang ia lakukan justru menatapnya sekali lagi—lalu berbalik tanpa kata. Ia tak sadar, Aidan menyelipkan secarik kertas kecil ke dalam clutch-nya. Hanya dua kata tertulis di situ: “Sampai kita benar-benar bersentuhan.” Di sudut ruangan, Aidan menatap punggung Celestine yang menjauh. Ia tersenyum pelan. Satu sentuhan kecil, satu reaksi besar. Ia sudah tahu kelemahan wanita itu bukan pada tubuhnya… tapi pada hati yang selama ini ia kunci rapat-rapat. Ia punya semua kunci untuk membukanya—lalu menghancurkannya pelan-pelan. Celestine membolak-balik secarik kertas yang ditemukannya di dalam clutch. Sudah dua hari berlalu sejak acara galeri, tapi dua kata itu tetap tertanam dalam pikirannya: “Sampai kita benar-benar bersentuhan.” Kalimat itu bukan sekadar rayuan. Ia membacanya sebagai peringatan. Sebuah janji. Atau bahkan... ancaman lembut. Dan justru karena itu, ia tak bisa tidur nyenyak selama dua malam. Suaminya, seperti biasa, tak menyadari apa pun. Pulang larut, menghabiskan waktu dengan ponsel atau rapat kosong yang entah kenapa lebih penting daripada menyentuh istrinya. Celestine, yang biasanya mampu mengabaikan semua kekosongan itu dengan pekerjaan, kini merasa terganggu oleh bayang-bayang seseorang yang belum sepenuhnya dikenalnya. Akhirnya, di malam ketiga, ia mengirim pesan ke nomor asing yang entah bagaimana ada di teleponnya—mungkin diselipkan dengan cara yang sama seperti kertas itu. “Hari Kamis. The Azure, lantai 21. Private room. 20.00. Jangan telat.” Tak ada nama. Tak ada salam. Hanya perintah. Celestine benci diperintah, tapi khusus untuk undangan itu, dia merasa perlu mendatanginya. Ada sesuatu yang harus disalurkan, begitulah pikirannya berbicara. --- Kamis malam datang dengan hujan rintik-rintik dan suhu yang lebih rendah dari biasanya. Akan tetapi suhu tubuh Celestine justru terasa meningkat saat ia melangkah masuk ke ruangan eksklusif berisi satu meja makan, dua kursi, dan sebotol anggur merah. Aidan sudah duduk di sana. Tidak terlalu formal. Tapi tak kalah menggoda. Ia berdiri, menarikkan kursi untuknya. Celestine duduk, diam, tanpa senyum. “Kau datang,” kata Aidan pelan. “Aku hanya ingin tahu sampai di mana kamu berani bermain.” Aidan menatapnya. “Sampai kamu berhenti menganggap ini permainan.” Hening. Anggur dituangkan. Percakapan dimulai dengan basa-basi bisnis, lalu pelan-pelan meluncur ke hal-hal pribadi yang tak pernah Celestine ceritakan pada siapa pun. Tentang mimpi masa kecilnya menjadi pelukis. Tentang rasa sepi yang tak pernah benar-benar pergi meski hidupnya dikelilingi kekuasaan. Aidan hanya mendengarkan. Dengan tatapan hangat yang menelanjangi isi hati. Ketika perjamuan selesai dan pelayan meninggalkan ruangan, Aidan berdiri di belakangnya. Ia tidak menyentuh. Tapi tubuh mereka hanya berjarak beberapa sentimeter. “Celestine...” bisiknya. Wanita itu menoleh perlahan, napasnya berat. Aidan menatap ke matanya, lalu turun ke bibirnya, tapi ia tidak langsung mencium. Hanya satu jari—telunjuknya—yang menyentuh sudut bibir Celestine. Ringan. Halus. Celestine menggigil. Bukan karena dingin, lebih karena tubuhnya menjawab lebih jujur dari hatinya. Ia berdiri dan menatap Aidan tajam. “Kalau kau menyentuhku lagi, pastikan kau siap menerima semua akibatnya, Aidan.” Celestine pergi. Meninggalkan Aidan dengan napas yang tertahan, dan senyuman yang lebih tipis dari sebelumnya. Karena ia tahu—permainan sudah berubah bentuk. Dalam pertempuran ini, bukan hanya Celestine yang mulai terbakar. Namun, tentu Aidan tidak akan sengaja membakar dirinya. Dia tidak akan seceroboh itu. Karena misinya adalah menghancurkan segalanya persis seperti apa yang dilihatnya dulu.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
26.9K
bc

TERNODA

read
197.1K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.3K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
185.8K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
232.4K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
22.5K
bc

My Secret Little Wife

read
131.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook