Permainan Dimulai

1028 Kata
"Jadi apa yang harus saya lakukan?" tanya seorang pria dengan guratan panik yarg tercetak jelas. "Buang, bunuh, jual. Terserah yang penting jangan ada yang tau!" jawab pria lainnya dengan arogan. "Tapi–" "Jangan membantah!" "Ba-ik Tuan." "HOSH...HOSH..HOSH..." Asse terbangun dari tidurnya dengan keringat bercucuran, mimpi itu lagi. Rasanya dia bisa mati konyol jika terus begini. "Apa kamu baik-baik saja, Baginda?" Lia ikut terbangun karena mendengar suara terengah-engah suaminya, lalu mengelus punggung Asse lembut. "Tidak papa sayang. Aku hanya mimpi buruk." Asse tersenyum samar. Lia menghela napas, "mimpi itu lagi?" ujarnya menebak. Asse mengangguk lemah, "iya." Lia langsung memeluk Asse. "Tidak papa, itu hanya mimpi." Hiburnya berbisik. Asse membalas pelukan istrinya sambil menghela napas panjang. 'Hanya mimpi, semoga saja.' :::::::::: Brenda menyusuri lorong Akademegicial yang besarnya tidak tanggung-tanggung ini untuk mencari Stev. Sial kenapa nomor Stev tidak aktif, sih. Apakah dia sudah ganti nomor? Gotcha! Baru juga diomongin ternyata lelaki itu sangat panjang umur, Brenda tersenyum lebar saat melihat Stev tapi disebelahnya kok ada ... Adrian? Tunggu-tunggu, mereka sebenarnya punya hubungan apa sih? Kemarin saat Brenda bertanya pada Adrian dia tidak menjawab dan langsung ngacir karena ada panggilan telepon untuknya. Brenda jadi makin curiga sekarang. Brenda mengendap-endap mendekati mereka, untung masih pagi jadi para murid belum datang. "Bodoh!! Kenapa kamu memberitahunya!" sentak Adrian. Dia nampak kesal. "Itu tidak berpengaruh. Yang penting kita tidak memberitahu rencana awal kita." Kata Stev dengan tenang. "Tuan sebentar lagi akan menemuinya. Kenapa kamu membuatnya curiga seperti itu!" geram Adrian masih tampak emosi. "......" Dan Brenda tidak bisa lagi mendengar kelanjutan percakapan mereka. s**t!! Apa mereka sudah tau kalau dirinya menguping?! Brenda mengintip dari balik tembok dan GUBRAK!! Brenda terjungkir saking kagetnya. "Kamu menguping!" tuduh Adrian menatap tajam Brenda. Sial-sial-sial. Kenapa ketahuan, sih. Brenda bangun dari posisinya memalukan nya, berdehem menormalkan ekspresinya. "Ekhem .. ja-jadi tadi aku cuma lewat kok, gak sengaja denger aja." Elaknya. Stev masih dengan wajah datarnya. Dasar si flat face!!! "Lalu kenapa ngumpet dibalik tembok?" Adrian memicing curiga. "Ta-tadi aku cari cincin. Iya cincinku jatuh jadi aku mencarinya!" Brenda merutuk. Konyol sekali jawabannya sudah jelas kalau dia tidak pernah memakai cincin. Stev mengangkat sebelah alisnya. "Sudah ketemu?" "Hah?" Brenda menatap Stev cepat. "O-ooh ... itu be-belum ketemu sih. Yaudah kalo gitu aku cari lagi. Duluan ya!" Brenda sudah tidak peduli mereka percaya atau tidak, yang penting dirinya harus pergi sekarang. Dia terlalu gugup jika terus diinterogasi begini. Bahkan dia lupa rencana awalnya yang ingin menemui Stev. Sialan! Ting! Stev membuka HP-nya, melihat notifikasi yang masuk. 'Kalian harus lebih hati-hati.' Adrian yang penasaran pun merebut dan melihat pesan di handphone Stev. Lelaki itu pun langsung menatap tajam Stev. "Benarkan apa yang kubilang, harusnya kamu gak ikut campur waktu itu!" lalu pergi begitu saja setelah mengembalikan HP pada Stev. Stev diam-diam tersenyum tipis. "Let's start this game." ::::::::: Brenda jengah dari tadi, gimana gak sebel kalo begini ceritanya. "Brenda kamu beneran sage?!" "Wah hebat!! Kamu berarti kuat banget dong!" "Tunjukin kekuatanmu dong!" "Brenda... "Brenda.... "Brenda... "STOP!" teriak Resa. Mereka langsung kicep seketika. "Kalian gak punya malu ya. Dulu aja hina Brenda, sekarang kayak gini. GAK PUNYA MALU HAH?!" bentak Resa dengan penekanan di akhir kalimat. "Apalagi kalian!" lalu menunjuk pada Dona dan antek-anteknya. "Heh, dulu aja sok nge-Ratu sekarang apa, udah jadi gembel? Melarat? Kaum misqueen?" sindirnya sarkas. Muka Dona seketika merah padam, terlihat sangat marah dan malu. "Maaf waktu itu aku gak tau." Katanya memelas sambil menunduk. Bia terkekeh, "jelas aja kamu minta maaf. Itu karna kamu takut, kan?" ejeknya memasang senyuman remeh. Banyak pasang mata juga memandang Dona dengan mencemooh. Azab atau karma kah itu? Entah. Cukup sudah. Dona langsung berlari keluar kelas, sepertinya dia sudah sangat malu. Tak ketinggalan disusul oleh dayang-dayang nya itu. "Bubar!" tukas Megi singkat dan semua murid langsung berhamburan pergi. "Kalian harusnya jangan gitu, kasian kan Dona." Kata Brenda menatap Resa dan Bia. "Alah yang kayak gitu biarin aja, biar tau rasa!" jawab Resa enteng. "Hm .. betul banget!" dukung Bia sangat puas. Dan Brenda hanya menghela napas pelan. Semoga gak jadi masalah lagi buatnya nanti. Tak beberapa lama bel Istirahat terdengar. "Kantin yuk!" seru Resa semangat. "Yuk!" sahut Bia dan Brenda kompak. Mereka menatap Megi. "Ayo Gi, kamu gak ke kantin?" Brenda mengernyit bingung, tumben sekali temannya ini tak merespon. Megi menggeleng. "Nggak dulu deh, aku ada tugas dari Pak Ridwan tadi." Megi berkedip sesaat. Resa dan Bia mengangguk lalu menarik Brenda. "Yaudah babay kalo gitu, kita duluan yah. Ayo Bren!" Brenda yang tertarik pun mengikuti Bia dan Resa dengan pasrah. Namun ada satu hal yang mengganjal di benaknya. Bukanya Pak Ridwan sedang ada urusan di Megicbuw, sekolah sebelah? Brenda langsung menggeleng mengentaskan pikirannya, mungkin saja tugasnya diberikan saat Pak Ridwan belum pergi. Iya pasti itu, positive thinking saja pokoknya. Kantin. "Woah ... cie cie yang jadi famous sekarang!" goda Bia menatap Brenda sambil menaik-turunkan alisnya. "Iya nih enak banget kamu Bren, jadi terkenal." Muka Resa nampak berbinar-binar. Brenda menatap mereka sebal. "Apaan sih!" gumamnya malu diledekin. "Kamu berarti bisa nguasain semua elemen dong?" Resa melebarkan matanya penasaran. Brenda menyeruput sedikit es nya lalu mengangguk. "Hm, bisa." Setelahnya memutar-mutar sedotan plastik itu di dalam cairan orange nya. "Tunjukin pada kita ya kapan-kapan!" pinta Bia sangat bersemangat. Brenda terkekeh, mengangguk lalu mengangkat jempolnya. "Sip!" "Bulan sekarang gimana ya keadaannya, kok gak pernah masuk sekolah?" celetuk Resa tiba-tiba kepo. Brenda jadi ingat kemarin Ratu Lia menemuinya untuk meminta bantuan agar menyembuhkan Bulan. Namun Brenda hanya diam saja dan pergi begitu saja. Gak sopan? Whatever. Salah siapa si Bintang yang songong itu nyinyir aja, kan males Brenda jadinya. "Iya juga ya, dia gak pernah masuk sejak kejadian waktu itu." sahut Bia sembari mencocol bakwan nya ke sambal. "Aaaa aku tau!" seru Resa tiba-tiba heboh. Brenda dan Bia menatapnya tanya. "Apa?" tanya Bia penasaran. "Pasti dia malu banget karena ketahuan bohong, jadi dia sembunyi. Lagian sok-sokan jadi sage!" Resa begitu yakin. Bia yang setuju pun menyahut semangat. "Iya, pasti itu alasannya!" Brenda hanya menggeleng. Temannya ini memang sangat sok tahu. Sepertinya habis ini dia harus izin ke luar asrama untuk pergi ke kerajaan. Brenda merasa kasihan pada Bulan. Gini-gini dia juga masih punya rasa kasihan tau. Yah meskipun sedikit. *** TBC.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN