Damian pun berjalan ke dapur, merasa perlu melakukan sesuatu.
Sementara itu, Rose sudah duduk di tepi ranjang, merenung. "Damian sudah berubah," gumamnya.
"Dia tak lagi mesra seperti dulu. Aku juga merasa dia sekarang sangat perhitungan dan pelit sekali. Apa aku terima saja tawaran Faisal?" Rose memikirkan kartu nama yang diberikan Faisal padanya.
Saat Rose menatap kartu nama itu, tiba-tiba pintu terbuka. Ia segera menyembunyikan kartu nama itu di bawah bantal dan menoleh ke arah pintu.
Damian masuk dengan segelas jus di tangannya, tersenyum pada Rose, yang masih kesal. Damian mendekat dan duduk di samping Rose.
"Sayang, maafkan aku," ujarnya lembut. "Aku memang kelewatan. Aku tak akan lagi mengomentari Alina. Aku tak berhak atas itu." Rose merasa tersentuh.
Damian lalu mengusap punggung Rose, berusaha meredakan kekesalan istrinya. "Aku buatkan jus strawberry untukmu. Spesial," ucap Damian sambil tersenyum.
Rose menerima jus itu dan menikmatinya. Damian bertanya, "Bagaimana? Rasanya enak?" Rose mengangguk. "Pas. Kamu tahu saja aku tak terlalu suka manis."
Damian langsung memeluk Rose. "Tentu saja, sayang. Maafkan aku ya. Sebagai permintaan maafku, bagaimana kalau sekarang kita makan malam di luar. Berdua saja." Rose tersenyum dan mengangguk setuju.
"Hanya berdua?" tanyanya. Damian mengangguk. "Mau?" Rose langsung mengangguk dan tersenyum.
Damian tersenyum dan berkata dalam hati, ‘aku tak mau diusir dari sini. Lebih baik begini dulu saja.’
Sementara itu di kediaman Willy Adhirama, Adi baru saja tiba di rumah. Ia bergegas masuk ke kamarnya yang ada di lantai dua. Tanpa membuang waktu ia masuk kamar mandi. Setelah mandi dan berganti pakaian, Adi turun ke lantai satu untuk makan malam.
Saat tiba di ruang makan, ia terkejut karena tak melihat Alina di sana, hanya Willy. "Kakek, Alina mana?" tanya Adi.
Willy menjawab, "Mungkin masih di kamarnya."
Adi pun mengangguk, "Oh iya, aku akan panggilkan Alina dulu."
Willy pun menyarankan, "Suruh asisten rumah tangga saja. Kamu langsung duduk." Adi setuju dan meminta salah satu asisten rumah tangga untuk memanggil Alina.
Tak lama kemudian, asisten rumah tangga yang diperintah oleh Adi kembali dan memberi kabar. "Maaf tuan, nona Alina tak ada di kamarnya," ujarnya. Adi kaget, "Mana bisa?"
Asisten rumah tangga menjelaskan, "Tadi saya bertemu satpam, dan satpam mengatakan nona Alina keluar dari rumah menggunakan mobil dengan pak Dias." Dias adalah salah satu sopir yang bekerja di kediaman Willy.
Adi langsung berdiri dan hendak berbicara, namun Willy mengangkat tangannya, "Temani kakek makan. Urusan Alina, ia akan aman dengan sopir." Adi menurut dan kembali duduk, tanpa protes. Jika Willy memberi perintah, ia akan langsung menurut.
Satu jam berlalu, Mobil sedan mewah yang mengantar Alina telah tiba di depan kediaman Willy Adhitama.
Alina menyerahkan uang seratus ribu pada sopir yang tak lain Dias. Sebagai rasa terima kasih karena sudah mengantarnya. Jarak ke rumahnya cukup jauh. Jadi ia merasa ia perlu memberikan tanda terima kasih pada sopir.
Dias berkata, "Nona, simpan saja uangnya. Saya sudah punya gaji bulanan yang lebih dari cukup." Alina menyimpan uangnya kembali dan berkata, "Ya sudah pak, terima kasih sudah mengantar saya." Sopir itu mengangguk, dan Alina keluar dari mobil dengan langkah cepat, tujuan utamanya kamar.
Alina berbisik pada dirinya sendiri, "Jangan sampai om Adi menyadari aku pergi." Namun begitu masuk ke ruang tamu, Alina terkejut melihat Adi sudah duduk di sana. Ia langsung menghentikan langkahnya, terkejut dan sedikit panik.
Adi berdiri dan mendekati Alina dengan tatapan mata tajam. "Kita bicara di kamar!" ucap Adi dengan tegas. Alina mengangguk, menuruti permintaannya.
Mereka berdua berjalan ke arah kamar tamu yang ditempati oleh Alina, dengan Alina mengikuti di belakang.
Setelah sampai di kamar, Adi berdiri berhadapan dengan Alina dengan ekspresi serius. "Dari Mana kamu?" tanya Adi tajam.
Alina mencoba tetap tenang dan menjawab, "Dari rumah. Aku hanya mengambil ijazah." Alina mengangkat amplop coklat berukuran besar yang dipegangnya.
Adi menyatakan kekesalannya, "Lalu kenapa kamu tidak meminta izin padaku terlebih dahulu?"
Alina bertanya balik dengan polosnya, "Harus ya?" Adi menggosok pelipisnya dengan frustasi dan menjawab, "Tentu harus! Apa yang kamu lakukan harus dilaporkan padaku! Terlebih lagi, tadi kamu pergi dengan sopir kakek. Bagaimana bisa kamu pergi dengan Pak Dias? Dia adalah sopir pribadi kakek."
Alina dengan polosnya menjawab, "Ya mana aku tahu. Lagian, aku harus segera mengambil ijazah ini."
Adi bertanya, "Buat apa itu ijazah?" Alina tersenyum dan menjawab, "Karena aku mau kuliah. Kakek bilang aku akan dikuliahkan, kan?"
Adi menghela nafasnya. "Ya sudah. Kali ini aku maafkan. Tapi lain kali, jika kamu pergi tanpa izin, kamu akan menghadapi konsekuensinya." Alina mengangguk pasrah, menerima peringatan Adi.
Tiba-tiba suara perut keroncongan terdengar. Adi pun berkata, “kaku harus tahu jadwal makan malam di rumah ini!”
“Aku sudah makan malam dengan kakek tadi. Jika kamu lapar, ke ruang makan saja sama sendiri. Minta makan sama asisten rumah tangga,” ujar Adi sambil berjalan ke arah pintu. Hendak keluar.
Alina pun bertanya, “ruang makannya dimana?”
Adi menjawab tanpa melihat ke arah Alina, “cari saja! Salah sendiri waktunya makan malam malah ga ada di rumah.”
Adi keluar dari kamar itu dan itu membuat Alina kesal. Sangat kesal.
Alina yang merasakan lapar akhirnya keluar dari kamar dan berinisiatif untuk mencari ruang makan sendiri.
Alina berjalan di lorong-lorong yang terlihat begitu mewah dan luas, tetapi ia semakin merasa kebingungan karena tidak tahu harus ke mana.
Beberapa kali ia salah masuk ruangan, dan semakin ia berjalan, semakin besar kebingungannya. Akhirnya, Alina berhenti di depan lift yang terlihat megah.
Sambil merasa terkesima dengan kemegahan rumah itu, Alina berkata pelan, "Ada lift juga di rumah ini? Luar biasa." Ia merasa takjub dengan segala kemewahan yang ada di sekelilingnya. Namun, keinginannya untuk segera sampai ke ruang makan semakin kuat.
Meskipun begitu, Alina menyadari bahwa sudah hampir pukul sembilan, dan ia belum bertemu satu orang pun sejak keluar dari kamarnya. Rasanya wajar jika rumah sebesar ini membuatnya kesulitan menemukan arah.
Alina berkata lagi, “pusing juga tinggal di rumah yang sangat besar seperti ini. Mau ke ruang makan saja. Susahnya minta ampun! Tiap buka pintu kebanyakan kamar lagi kamar lagi yang ketemu.”
Alina terus berjalan menaiki tangga, mengikuti lorong yang panjang dan mewah. Akhirnya, ia sampai di ujung lorong di mana terdapat sebuah pintu besar. Dengan perasaan penasaran, Alina membuka pintu tersebut.
Saat pintu terbuka, Alina kaget bukan main melihat apa yang ada di dalamnya. Matanya melebar dan tanpa sadar ia menggigit bibir bawahnya. Dadanya berdetak sangat kencang. Darahnya berdesir dan ia susah payah menelan salivanya.