Alina terpaku sesaat setelah masuk kamar mandi. Matanya mengamati setiap detail ruangan yang cukup luas ini. Kamar mandi dilengkapi dengan bathtub yang elegan dan segala hal mewah lainnya.
Cahaya lembut dari lampu di langit-langit menyinari setiap sudut ruangan, menciptakan atmosfer yang tenang dan nyaman. Alina merasakan sensasi kemewahan dan kenyamanan yang menyelimuti dirinya, membuatnya terdiam sejenak dalam kekaguman. Kemudian, dengan perlahan, ia mulai bergerak menuju bathtub untuk memulai ritual mandinya yang menyenangkan.
Adi masuk ke ruang kerja Willy Adhitama. Dia melihat Willy sedang membaca sebuah buku di kursi rodanya dekat jendela. Adi pun menutup pintu, lalu bertanya, "Kakek memanggilku?"
Willy pun melihat ke arah Adi dan menjawab, "Ya. Duduklah," titahnya.
Adi pun duduk di kursi dekat meja kerja. Suasana ruangan terasa tenang, namun Adi merasakan kehadiran Willy memberikan aura kebijaksanaan dan otoritas yang tak terbantahkan.
Ruang kerja Willy mencerminkan keberhasilan dan kekuatan sang pemilik. Ruangan yang luas dan mewah, dihiasi dengan furniture mewah dan dekorasi yang elegan.
Di tengah ruangan terdapat meja kerja besar dari kayu mahoni dengan permukaan yang dilapisi dengan lapisan kaca yang mengkilap. Di atas meja, terdapat lampu meja yang memberikan cahaya yang cukup untuk bekerja dengan nyaman.
Di sekeliling ruangan, terdapat rak-rak buku dari kayu berwarna gelap yang dipenuhi dengan berbagai koleksi buku dan artefak berharga.
Jendela-jendela kaca besar memberikan pemandangan indah ke taman yang terawat dengan baik di luar rumah.
Di salah satu sudut ruangan, terdapat kursi yang nyaman ditempatkan dekat jendela. Di kursi ini, Willy bisa duduk sambil menikmati pemandangan luar dan membaca buku atau merenungkan keputusan penting perusahaan.
Dinding ruangan dihiasi dengan lukisan-lukisan pemandangan yang indah dan foto-foto kenangan dari masa lalu yang menggambarkan perjalanan hidup sang direktur.
Suasana ruangan terasa penuh dengan aura kebijaksanaan dan pengalaman hidup yang mendalam, menunjukkan bahwa ruangan ini merupakan tempat kerja seorang laki-laki yang telah mencapai puncak karirnya.
Setelah berhadapan dengan Adi, Willy pun bertanya, "Adi, kamu membawa Alina dengan koper besar. Apa benar?"
Adi membenarkan, "Oh iya, kakek. Maaf aku belum sempat bilang pada kakek. Aku membawa Alina tinggal di sini. Aku kasihan dia tinggal di rumah kos, aku ingin kesehatannya terjamin jadi aku minta untuk tinggal di sini saja. Pernikahan kita juga kan tinggal menghitung hari. Apa kakek tak keberatan?"
Willy menjawab, "Tidak. Ya, asal kamu tau batasan hukum dan norma saja."
Adi pun mengangguk mantap, "Tentu saja, Kek."
Willy pun berkata, "Alina aku tempatkan di kamar tamu."
Adi menjawab, "Bagus."
Willy kemudian berkata, "Oh iya, kamu belum menceritakan tentang keluarga Alina. Kakek harus tahu latar belakang keluarga Alina, Adi.”
Adi pun menjawab pertanyaan kakeknya dengan jelas, "Alina adalah anak tunggal dari Bapak Dani dan Ibu Rose. Kedua orang tua Alina bercerai saat Alina masih SMP. Ibunya langsung menikah lagi, sementara ayahnya fokus mengurus Alina.”
Adi melanjutkan, “Ayah Alina meninggal dua tahun yang lalu, seminggu setelah rumahnya selesai. Dan sekitar dua bulan yang lalu, Ibunya dan keluarga barunya ikut tinggal di rumah Alina setelah suami Ibunya dikabarkan bangkrut dan rumahnya disita. Malangnya, sebulan yang lalu Alina menolak dijodohkan oleh Ibunya dan ia diusir dari rumahnya sendiri hingga berakhir ia tinggal di rumah kos."
Willy, yang mendengar itu, merasa geram, "Bagaimana ada ibu seperti itu? Itu kan rumah Alina yang dibangun ayahnya? Alina seharusnya tidak mengalah. Dia pemilik rumah itu."
Adi pun berkata, "Sayangnya, Ibunya sudah membuat sertifikat rumah itu atas namanya tanpa sepengetahuan Alina."
Willy menggelengkan kepalanya, "Oke, kakek mengerti. Lalu untuk wali nikahnya bagaimana? Apa ayah Alina masih punya saudara laki-laki?"
Adi menjelaskan bahwa ia sudah menemui saudara laki-laki Alina, tapi ia tak bisa hadir.
Willy pun berkata, "Oke, kalau begitu. Willy dapat menerima penjelasan Adi.”
Willy pun berkata, "Setelah kamu menikah dengan Alina, kamu harus tetap tinggal di rumah ini. Rumah ini akan kakek wariskan untukmu."
Adi pun bertanya, "Apa tidak berlebihan, kakek? Harusnya jatuh ke tangan ibu."
Willy menjawab, "Kakek sudah membahas ini dengan ibumu dan ia setuju. Kamu lebih banyak menemani kakek juga. Ibumu sudah punya rumah juga kan."
Adi pun bertanya lagi, "Bagaimana dengan dua adikku? Apa mereka tak akan iri?"
Willy menjawab mantap, "Mereka tak akan iri. Mereka akan mengerti. Lagian juga mereka sudah fokus di bidang mereka. Sejak dulu, sejak kamu bayi, kakek sudah menyiapkan kamu untuk menjadi penerus kakek."
Adi pun mengangguk, sadar bahwa ketika bicara dengan kakeknya, selalu kakeknya yang menang.
Alina keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk, ia berkata, "Ah, segar sekali rasanya. Sepertinya aku akan sangat betah di istana ini."
Alina bisa bernafas lega karena sudah tidak ada Adi di kamar itu.
Alina melihat ke arah ranjang, dan spreinya sudah berganti dengan yang baru. Alina pun berkata, "Pasti Adi yang menggantinya. Ya ampun! Padahal biarkan saja gak usah di ganti.”
Alina mendengar ponselnya berdering dan mendekati meja rias di mana ponselnya diletakkan. Dia melihat kontak tanpa nama memanggil, dan Alina tahu itu nomor ponsel ibunya, Rose, meskipun Alina tidak menyimpan kontaknya.
Alina pun bertanya dalam hati, "Untuk apa dia menelpon?"
Penasaran, Alina pun mengangkat panggilan itu, dan dari seberang Rose bertanya, "Alina, kamu dimana?"
Alina mengerutkan keningnya ragu, “harus ya aku jawab?” Namun, Rose berkata, "Jawab saja. Ibu ini di kosanmu. Katanya kamu pergi dengan mobil mewah, kamu dimana sekarang?"
Alina menjawab dengan hati-hati, "Bukan urusan Ibu."
Rose pun membalas dengan nada tegas, "Alina yang sopan! Aku ini ibumu!”
Rose pun menduga-duga, "Apa kamu jadi simpanan om-om?"
Alina, merasa malas untuk menjawab, akhirnya mengatakan, "Ya, anggap saja seperti itu, Bu."
Rose pun mengumpat, "Dasar bodoh! Mau-maunya jadi simpanan! Kembalilah ke rumah! Lebih baik kamu menikah dengan pria pilihan ibu! Itu lebih terjamin, Alina."
Alina menjauhkan ponsel dari telinganya saat Rose mengumpatnya dengan perkataan itu. Dia pun berkata pelan, "Kasar sekali.”
Alina menutup panggilan itu dengan cepat dan berkata, "Tetap saja, ingin aku nikah sama kakek-kakek. Masih mendingan nikah sama om Adi." Alina tersenyum di ujung kalimatnya, merasakan sedikit kelegaan atas pilihan yang dia buat.
Sementara itu Rose, yang berada di depan kosan Alina, menatap ponselnya kesal dan berkata, "Anak itu benar-benar, ia malah memutuskan panggilannya."
Rose lalu berpikir, “jadi Alina tak jadi nikah sama sopir itu?”
Tiba-tiba seseorang mengagetkan Rose.