Bukan Sopir Biasa

1065 Kata
Alina merasakan getaran dari ponselnya yang disimpan di tasnya. Dia menghentikan langkahnya dan melihat siapa yang menelponnya. Ternyata yang menelpon adalah Adi. Alina pun mengangkat panggilan itu. "Halo," ucap Alina. Adi bertanya, “bagaimana perihal tawaranku tempo hari. Apa kamu bersedia?” Alina terdiam, masih enggan menjadi istri bayaran. Adi pun mengancam, “jika kamu tak mau aku akan mencari orang lain.” Alina bertanya, "Berapa bayarannya?" Adi menjawab cepat, "Minimal kamu akan dapat sepuluh juta dalam satu bulan, itu bersih. Makan dan kebutuhanmu akan aku penuhi diluar sepuluh juta itu." Alina terkejut, "Kamu serius?" Bukan tanpa alasan, Alina tahunya Adi itu hanya seorang sopir. “Kamu kan hanya sopir?” Alina meragukan perkataan Adi. Adi pun menjelaskan, "Aku bukan sopir biasa. Kita buat perjanjian diatas materai, agar kamu percaya. Sekalian aku akan hadirkan pengacara agar kamu bisa menuntut jika aku tak menepati janjiku." Alina semakin penasaran dengan jati diri Adi sebenarnya namun ia tak mau ambil pusing. Adi bertanya lagi, "Jadi bagaimana? Kamu bersedia tidak?" Alina melihat ibunya di restoran, dan ingat akan rumah yang mereka tinggali sekarang adalah rumahnya yang dibangun oleh ayahnya. Dengan berbagai pertimbangan akhirnya Alina pun memutuskan, "Ok, aku bersedia. Dimana kita akan bertemu?" “Akan ku kirimkan alamatnya segera,” ucapnya. Alina menerima pesan dari Adi yang berisi alamat tempat mereka akan bertemu. [Adi: Kita bertemu di Zara Caffe, aku tunggu nanti sore pukul empat. Jangan terlambat.] Alina membaca pesan tersebut tanpa memberikan balasan. Dia menyimpan kembali ponselnya ke dalam tas dan kemudian melangkah pulang menuju kosannya tanpa ragu. Di restoran, Rose sedang makan bersama Damian dan kedua anak tirinya, Triana dan Tania. Rose memikirkan perkataan Damian yang meminta ia harus bisa mengelola keuangan dengan baik. Rose berkata dalam hati, ‘nyuruh hemat tapi kenapa saat Tania ingin makan di restoran mahal. Ia setuju saja.’ Damian pin kepada kedua anaknya, "Doakan ayah ya, biar dapat bonus terus kita bisa makan di sini lagi." Tania setuju, sambil melirik ke arah Rose, “kalau ayah tetap memperhatikan kita. Aku yakin ayah akan selalu dapat bonus.” Damian mengangguk Sementara itu Rose bertanya pada Tania, “kenapa kami melirik ini seperti itu?” Tania menjawab sarkastis saat ditanya oleh Rose, “kamu bukan ibuku.” Tania lalu melihat ke arah Damian, “ayah prioritas ayah sekarang siapa? Anak ayah atau wanita ini.” Tania mengatakan wanita ini sambil melirik ke arah Damian. Damian pun menjawab, “tentu saja anak-anak ayah dong.” Rose merasa sakit hati dengan jawaban Damian, tapi tidak bisa mengatakan apa-apa. Setelah mendengar jawaban Damian, Rose teringat Alina dan bagaimana ia mengusirnya. Namun, dia memutuskan untuk tidak menyesal. Rumah itu atas namanya, dan jika dia tidak bisa bertahan dengan Damian, dia akan tetap tinggal di rumah itu. ‘Kalau Damian mengabaikanku, aku tinggal minta cerai dan aku akan usir Damian dan kedua anaknya,’ ucap Rose dalam hati. Sore harinya.Alina bersiap-siap untuk pergi ke Zara Cafe tempat ia akan bertemu dengan Adi. Di dalam hatinya, Alina bertanya-tanya, "Apa aku tidak salah ya menerima tawaran ini?" Tapi pikirannya terus kembali pada jumlah uang sepuluh juta per bulan yang ditawarkan oleh Adi. "Rupanya aku tergiur," pikirnya. "Aku sungguh membutuhkan uang saat ini," lanjut Alina. "Pasti dalam perjanjian itu ada aturan-aturan. Semoga saja peraturannya tidak memberatkanku." Dengan pikiran yang penuh tanda tanya, Alina melangkah keluar berjalan menuju Zara Cafe, bersiap untuk menghadapi apapun yang akan terjadi. Telat pukul empat sore kurang lima menit Alina masuk ke Zara Cafe dan segera mencari keberadaan Adi. Tak lama kemudian Alina melihat Adi sudah duduk dengan seorang laki-laki yang tampak sangat rapi dengan kemeja dan celana bahan, berbeda dengan Adi yang hanya mengenakan kaos dan celana jeans. Adi mengangkat tangannya memberi kode pada Alina untuk mendekat, dan Alina pun mendekati meja mereka. Adi langsung memperkenalkan laki-laki itu kepada Alina, "Kenalkan, ini pengacara yang aku janjikan tadi. Namanya Faiz." Alina mengangguk dan segera duduk di meja tersebut. Adi langsung berkata, "Oke, langsung saja Faiz. Ayo, kamu keluarkan surat perjanjian yang tadi kamu buat." Faiz, yang tampaknya seusia dengan Adi, sekitar 30-an tahun, segera menyerahkan satu lembar kertas kepada Alina, dan Alina menerimanya dengan serius. Alina membaca surat perjanjian yang diketik itu dengan serius. Di dalamnya terdapat beberapa poin yang disebutkan. Yang pertama, Alina Maheswari bersedia menjadi istri kontrak dari Almeer Adara Adhitama dan akan tunduk dengan surat perjanjian ini. Alina berkata dalam hati, ‘nama Adi keren sekali. Aku baru tahu nama lengkapnya. Oh iya, dia dari mana tahu nama lengkapku? Ah pasti dari data di jasa ekspedisi.’ Poin kedua, Alina Maheswari akan menjadi istri yang baik dan patuh kepada Almeer Adara Aditama. Poin ketiga, Alina Maheswari dilarang mencintai Almeer Adara Adhitama. Poin keempat, Alina hanya istri di atas kertas dan ia tak berhak menuntut apapun kecuali gaji bulanan yang sudah disepakati sebelumnya. Dan poin kelima adalah jika Alina Maheswari melanggar perjanjian maka ia akan dikenakan sanksi harus mengembalikan semua uang atau gaji bulanan kepada Almeer Adara Adhitama. Setelah membaca surat perjanjian itu, Alina meletakkannya di atas meja. Adi pun bertanya, "Bagaimana? Apa kamu keberatan dengan poin-poin tersebut atau ada pertanyaan?" Alina menjawab, "Jadi aku hanya istri di atas kertas?" Adi mengangguk, "Ya, kamu tidak usah mencampuri urusan ku dan kita juga tidak akan pernah melakukan layaknya pasangan suami istri." Mendengar hal itu, Alina berkata, "Kenapa kamu mau melakukan ini?" Adi menjawab, "Ini adalah rahasia. Jika kamu mau, jawab saja ya. Jika tidak, aku akan menawarkan pekerjaan ini kepada orang lain. Dan asal kamu tahu, aku sudah membawa uang 10 juta untuk bayaran kamu di bulan pertama agar kamu percaya padaku." Adi memberi kode pada Faiz, Alina pun melihat ke arah Faiz, dan Faiz mengeluarkan amplop coklat yang ternyata berisi uang senilai sepuluh juta. Adi pun berkata, "Lihat dan hitunglah. Jika kamu setuju, kita berjabat tangan." Alina mengambil amplop itu, dan benar saja, itu berisi uang sepuluh juta. Alina kembali ingat bahwa dia sudah tak lagi punya tabungan. Akhirnya, Alina mengulurkan tangannya, "Oke, aku terima tawarannya." Adi pun menyambut tangan Alina, dan keduanya berjabat tangan dengan tegas, menandai kesepakatan mereka. Adi meminta Alina untuk menandatangani surat perjanjian itu. Alina pun dengan ragu menandatangani surat tersebut, merasa campur aduk dengan keputusannya. Setelah itu, Faiz berkata, "Baik, suratnya saya amankan. Saya permisi." Faiz pun pergi, meninggalkan Alina dan Adi berdua. Sekarang, hanya ada Alina dan Adi duduk berhadapan. Adi bertanya, "Kapan aku bisa bertemu walimu? Kita menikah minggu depan." Alina terkejut, "Apa? Minggu depan?" Adi mengangguk dengan mantap, menegaskan rencananya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN