Pernikahan

917 Kata
Hari itu akhirnya tiba. Kirana berdiri di depan cermin besar dalam kamar hotel mewah tempat ia bersiap. Sekujur tubuhnya dibalut gaun pengantin putih model mermaid dengan detail bordir mewah yang dijahit tangan, memeluk tubuh rampingnya sempurna. Permata kecil berkilauan memantulkan cahaya dari lampu kristal di langit-langit. Rambutnya disanggul anggun, dengan beberapa helaian kecil dibiarkan tergerai membingkai wajahnya yang kini dirias begitu cantik. Di sekelilingnya, para make-up artist dan stylist sibuk memberi sentuhan terakhir. Aroma wangi bunga mawar putih dan vanila lembut menyelimuti seluruh ruangan. Saat ia memutar tubuh pelan dan melihat pantulan dirinya di cermin, Kirana sempat terdiam. Ia bahkan hampir tak mengenali dirinya sendiri. Dia terlihat seperti tokoh utama dalam dongeng mahal. Padahal, dulu ia hanya pegawai biasa di kantor. Seseorang yang nyaris tak pernah dipandang. Sekarang, dia berdiri di tengah kemewahan yang sulit dipercaya. Dari balkon kamar hotel di lantai atas, Kirana bisa melihat suasana di bawah. Karpet merah panjang digelar dari pintu masuk hotel hingga aula resepsi. Mobil-mobil mewah berjajar, para tamu penting berdatangan dengan pakaian elegan. Bahkan tampak beberapa artis yang biasa ia lihat hanya di televisi hadir dalam acara ini. Dan tentu saja, puluhan kamera wartawan dan media online berjejer di pinggir karpet, siap mengabadikan setiap langkah Kirana menuju altar pernikahannya. Kirana menarik napas panjang. Ini nyata. Ini bukan mimpi. Pintu kamar terbuka pelan. Devano melangkah masuk dengan setelan jas hitam klasik yang disesuaikan khusus oleh desainer kenamaan luar negeri. Dasi abu-abu muda melilit lehernya, wajahnya tenang, nyaris tak menunjukkan emosi. Hanya mata tajamnya yang sesekali melirik Kirana dengan ekspresi sulit ditebak. “Siap?” tanyanya. Kirana membalas dengan tatapan penuh selidik. “Kupikir ini akan sederhana. Ternyata... sangat megah.” “Semua orang harus percaya bahwa ini nyata,” jawab Devano pendek. “Tapi kenapa? Bukankah kita hanya berpura-pura?” tanya Kirana sambil berjalan pelan menghampirinya. Devano diam sejenak sebelum menjawab, “Karena Mama akan tahu kalau kita hanya main-main, kalau semua ini terlihat asal-asalan. Jadi, kita harus terlihat sempurna. Tidak boleh ada celah.” Kirana mengangguk pelan. Meski dalam hatinya bertanya-tanya, mengapa pria ini bisa begitu peduli dengan kesempurnaan jika pernikahan ini hanya sebuah kontrak. Lagu klasik mengalun lembut saat Kirana berjalan di atas karpet merah menuju altar. Semua tamu berdiri, memberi tepuk tangan. Kamera terus merekam. Flash kamera menyala berkali-kali, menyilaukan namun tak bisa menghapus senyum kecil di wajah Kirana. Di sampingnya, Devano terlihat tenang. Ia menggenggam tangan Kirana saat berada di altar. Upacara berlangsung dengan khidmat. Tidak ada kata yang berlebihan. Tapi setiap gerakan, setiap tatapan, setiap langkah, terasa nyata dan berharga. Saat Devano menyematkan cincin berlian seharga miliaran rupiah di jari manis Kirana, sesuatu dalam hati wanita itu berguncang. Ia menatap cincin itu. Cahaya permata memantul sempurna. Hati kecilnya berbisik bahwa ia mulai menyukai peran ini. Ia menyukai kebersamaan mereka. Ia mulai menyukai... Devano. Dan untuk pertama kalinya, Kirana berpikir bahwa ia ingin mempertahankan pernikahan ini lebih dari sekadar kontrak. Malam harinya, pesta resepsi berlangsung dengan meriah. Aula dihias dengan ribuan bunga mawar putih dan merah muda. Meja-meja makan dipenuhi makanan mahal dari koki ternama. Musik jazz mengalun pelan, menciptakan suasana elegan dan intim. Di tengah keramaian itu, Kirana berusaha tetap tersenyum, menyapa semua tamu yang datang, menerima ucapan selamat. Namun di sudut pikirannya, satu hal terus mengganggu. Ia tak bisa berhenti memikirkan apa arti semua ini bagi Devano. Apakah bagi lelaki itu, semua ini hanya sandiwara semata? Apakah tak ada sedikit pun rasa yang tumbuh selama mereka menjalani semua kebohongan ini? Wartawan terus mengambil gambar mereka berdua. Foto-foto mereka tersebar cepat di media sosial. Semua orang menuliskan komentar penuh pujian. Kirana terlihat seperti pengantin paling bahagia di dunia. Dan Devano tampak seperti suami idaman. Padahal hanya mereka yang tahu bahwa semua ini hanyalah perjanjian. Namun malam itu, Kirana merasa… mungkin, ia tak ingin semuanya berakhir setelah satu tahun. Saat mereka tiba di kamar pengantin yang luas, Kirana duduk di tepi ranjang. Ia membuka sepatu hak tingginya dan mengganti gaunnya dengan gaun tidur satin putih. Devano keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah, mengenakan kemeja putih yang terbuka beberapa kancing atasnya. “Aku lelah sekali,” kata Kirana pelan. “Pesta sudah selesai. Sekarang kita bisa mulai berakting sebagai pasangan yang bahagia di balik layar,” balas Devano dengan nada datar. Kirana menatapnya tajam. “Kenapa kau bersikap dingin lagi? Di depan orang lain, kau begitu hangat. Kau bahkan memegang tanganku erat saat di altar.” “Itu bagian dari kontrak, Kirana.” “Tapi... aku tidak ingin ini hanya kontrak lagi,” gumam Kirana nyaris tak terdengar. Devano berhenti melangkah. Matanya menatap Kirana, kali ini tidak seperti biasanya. Tatapannya dalam, serius, dan untuk pertama kalinya... tidak sepenuhnya dingin. “Apa maksudmu?” tanyanya. “Aku ingin... ini jadi nyata. Bukan karena uang. Tapi karena aku ingin tetap di sisimu, Devano.” Ruangan itu mendadak sunyi. Hanya suara jam berdetak yang terdengar. Devano tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Kirana, lama, seakan mencoba memahami maksud ucapan wanita itu. Sejenak, wajahnya melunak. Tapi ia segera membuang tatapan dan berjalan ke jendela, menatap kerlap-kerlip lampu kota dari lantai tiga puluh. “Kau tahu, Kirana,” katanya akhirnya, “aku tak percaya pada cinta. Aku tak percaya pada pernikahan. Semua ini hanya untuk menyenangkan Mama. Jangan terlalu serius menjalani permainan ini.” Kirana mengangguk pelan, menunduk. Tapi di dalam hatinya, tekadnya justru menguat. Kalau Devano tidak percaya pada cinta, maka ia akan membuat lelaki itu percaya. Ia akan membuktikan bahwa ia pantas menjadi istrinya. Ia akan mempertahankan pernikahan ini. Bukan karena kontrak. Tapi karena sekarang, Kirana sudah jatuh cinta.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN