Setelah makan malam itu, Kirana mengira bahwa segalanya akan berjalan tenang sebelum hari pernikahan palsu mereka benar-benar dilangsungkan. Namun, dua hari kemudian, panggilan video datang dari nomor yang tidak ia simpan.
Wajah Mama Devano muncul di layar dengan senyum lebar dan tatapan tajam seperti biasa.
“Halo, Kirana, Mama ganggu waktumu sedikit, ya?”
“Oh, tidak, Mama. Kirana senang Mama menghubungi.”
“Bagus,” jawab wanita itu cepat, lalu mencondongkan wajahnya ke arah kamera. “Mama hanya ingin menanyakan sesuatu.”
Kirana tersenyum manis walau jantungnya seperti digenggam tangan besar yang menekan keras.
“Kamu ingin pernikahan seperti apa?”
Pertanyaan itu menampar batinnya.
Kirana terdiam beberapa detik, seakan butuh waktu memproses kalimat sederhana yang begitu menghantam angan-angan. Otaknya langsung menampilkan bayangan: gaun putih mewah dengan ekor panjang menjuntai, permata di tiara kepalanya, altar besar dengan hiasan anggrek putih impor, musik orkestra klasik yang menggema saat dia melangkah anggun dengan heels mahal buatan desainer Paris.
Belum lagi bayangan tamu undangan yang berdecak kagum melihat cincin berlian dua milyar rupiah melingkar di jari manisnya. Ia ingin semua mata tertuju padanya. Ia ingin pernikahan yang membuat para gadis iri. Ia ingin mewah. Megah. Seperti mimpi para wanita yang membayangkan menjadi Cinderella versi dunia nyata.
Namun, suaranya yang keluar justru...
“Yang... sederhana saja, Mama.”
Mata Mama Devano menyipit sedikit, menilai. “Sederhana?”
“Iya, Mama,” lanjut Kirana cepat. “Yang penting sakral. Bukan soal kemewahan. Kirana ingin pernikahan yang bermakna.”
“Hm.” Wanita itu mengangguk pelan, lalu menatap lebih dalam ke arah Kirana. “Bagus. Mama suka kamu bilang seperti itu. Mama tidak suka wanita yang terlalu banyak menuntut. Apalagi wanita yang datang dari keluarga biasa. Kamu tahu maksud Mama, ya?”
Kirana menelan ludah. “Tentu, Mama.”
“Mama cuma ingin kamu tidak menjadikan pernikahan ini sebagai kesempatan untuk bergaya hidup mewah. Karena rumah tangga itu bukan soal pesta, tapi komitmen. Dan Mama ingin kamu membuktikan bahwa kamu mencintai Devano apa adanya, bukan karena uangnya.”
Darah Kirana membeku.
Apa adanya?
Uang itu justru satu-satunya alasan ia berada di posisi ini.
Namun ia tersenyum, berpura-pura tulus. “Tentu saja, Mama. Kirana sama sekali tidak tertarik dengan barang-barang mewah.”
“Bagus,” ulang Mama Devano, puas. “Dan soal cincin pernikahan, Mama sudah siapkan modelnya. Sederhana. Tidak besar. Tidak terlalu mahal. Karena cincin itu simbol ikatan, bukan hiasan.”
Kirana seperti ditampar dua kali. Cincin dua milyar miliknya yang ia impikan dalam batin, langsung menguap seperti buih sabun.
“Oh, tentu, Mama. Kirana percaya pilihan Mama pasti yang terbaik.”
Setelah panggilan itu berakhir, Kirana melempar ponselnya ke kasur, lalu mendesah panjang sambil menutupi wajahnya dengan bantal.
“Sederhana, sederhana, sederhana!” desisnya kesal. “Aku sudah hampir mati berdiri di samping pria itu tiap hari, pura-pura cinta. Dan sekarang aku bahkan tidak bisa minta cincin sedikit mewah?”
Namun satu jam kemudian, Devano datang ke apartemen sementara yang ia tinggali sejak tanda tangan kontrak. Masih mengenakan setelan kerja, ia menyandarkan tubuh di dinding, melirik Kirana yang masih kesal.
“Ada apa dengan wajahmu? Seperti habis digigit harimau.”
“Harimau bernama ibumu,” jawab Kirana ketus.
Devano terkekeh. “Dia telpon kamu?”
“Bukan cuma telepon. Dia ceramah soal jadi menantu sederhana. Nggak boleh minta barang mewah. Pernikahan harus hemat. Bahkan cincinnya... katanya... tidak perlu besar-besar!”
Devano duduk di sofa, menatap Kirana lama. “Kau marah karena nggak dapat cincin mahal? Ternyata kau matre sekali!” Desis Devano sinis.
Kirana memelototinya. “Memangnya salah?! Aku sudah masuk dalam hidupmu yang penuh kepalsuan ini, pura-pura mencintaimu, harus bersikap manis sama ibumu, dan bahkan tidak bisa bilang bahwa aku ingin pesta mewah satu malam saja dalam hidupku?”
“Aku nggak bilang itu salah,” ujar Devano pelan. “Tapi kamu tahu sendiri, bukan itu tujuannya. Kamu dibayar lima puluh milyar, Kirana. Itu cukup untuk beli cincin mahal sendiri kalau kamu masih ingin setelah kontrak selesai.”
“Tapi itu bukan soal cincinnya,” bisik Kirana lebih pelan. “Aku cuma... ingin sekali dalam hidupku, orang-orang memandangku sebagai sesuatu yang berharga. Bukan gadis biasa yang hanya kebetulan jadi istri pura-pura pemilik perusahaan.”
Ada jeda sunyi di antara mereka.
Untuk pertama kalinya, Devano menatap Kirana tanpa nada menggoda, tanpa senyum sinis. Tatapannya serius. Lalu ia berdiri, melangkah ke arah meja, membuka map cokelat besar yang dibawanya, dan mengeluarkan kotak kecil dari dalamnya.
“Ini,” katanya, menyodorkan kotak itu.
Kirana membuka kotaknya perlahan. Matanya melebar.
Sebuah cincin berlian oval besar dengan keliling emas putih dan detail ukiran yang sangat mewah berkilau di dalam kotak beludru hitam.
“Dua koma tiga milyar,” ujar Devano santai.
Kirana menatapnya dengan wajah campur aduk. “Kau... bercanda?”
“Cincin ini tidak akan kita pakai di acara. Mama nggak boleh tahu. Tapi aku tahu kamu menginginkan ini. Jadi, anggap saja hadiah kecil karena kamu cukup hebat memerankan calon istri pura-pura dengan sangat meyakinkan.”
Kirana terdiam lama. Lalu dengan pelan, ia mengambil cincin itu, mencobanya di jari manis.
Pas.
Terlihat sempurna.
Dan untuk sesaat... ia lupa bahwa semuanya hanya kontrak. Karena saat Devano memandangi tangannya dan mengangguk pelan, Kirana merasa... seperti wanita sungguhan.
“Jangan jatuh cinta padaku,” sindir Devano.
Kirana menyeringai. “Kau yang harus hati-hati. Aku bisa jadi istrimu beneran kalau kamu mulai suka.”
“Tuhan tidak akan mengizinkan itu terjadi,” balas Devano cepat.
Kirana semakin menyeringai. Lihat saja nanti Tuan… kau akan tergila-gila padaku.