Sandiwara

992 Kata
Kirana mengira semuanya akan berjalan cepat dan ringkas. Ia pikir, setelah menandatangani berkas-berkas kontrak pernikahan, pernikahan palsu itu langsung dilangsungkan di kantor urusan agama atau catatan sipil—sesuai prosedur. Selesai. Tapi ternyata, semuanya tidak sesederhana itu. “Besok kita akan makan malam di rumah mama,” kata Devano lewat telepon satu malam setelah kesepakatan mereka terjadi. Kirana yang sedang duduk di kamarnya, mengetik laporan kerja, langsung mengernyit. “Makan malam?” “Ya. Pengenalan. Mama ingin bertemu calon menantunya.” “Bukannya kita langsung menikah saja?” “Apa kau kira mama akan tinggal diam tanpa memastikan siapa wanita yang akan menikah bersama anak semata wayangnya? Dia itu sepertinya seorang detektif lebih menyeramkan dari badan intelijen negara.” Devano menghela napas. “Dan jangan lupakan peran kita. Kita harus... bersandiwara.” Kirana menggigit bibir bawahnya. Sandiwara. Ia tahu bagian itu akan datang. Tapi tidak menyangka harus dimulai secepat ini. “Jadi... aku harus bersikap seperti wanita yang sedang jatuh cinta padamu?” tanya Kirana datar. “Kau harus terlihat tergila-gila padaku,” jawab Devano santai. “Dan aku juga akan terlihat tergila-gila padamu, tentu saja.” Kirana memejamkan mata, menenangkan diri. Oke. Ini demi uang. Demi keluarganya. Demi hidup. “Baiklah. Jam berapa aku harus bersiap?” “Jam enam sore. Mobil akan menjemputmu. Jangan pakai gaya kantoranmu. Mama suka wanita feminin. Pakaian gaun. Warna lembut. Rambut digerai. Makeup natural tapi cantik.” Arahan itu membuat Kirana mendesah. “Kau terdengar seperti asisten stylist.” “Aku cuma tahu selera mamaku. Dan aku tidak mau sandiwara kita dibongkar hanya karena lipstikmu terlalu merah.” Kirana mendengar kata penghinaan itu mencibir dalam hatinya. Sialan! Lipstik merah katanya! Lipstik merah itu menggoda! Keesokan malamnya, tepat pukul enam sore, sebuah sedan mewah hitam berhenti di depan kos Kirana. Sopir berpakaian rapi membukakan pintu untuknya. Kirana melangkah masuk, mengenakan gaun selutut warna biru pastel yang mempertegas lekuk tubuh rampingnya. Rambutnya ia biarkan tergerai, bergelombang lembut, dengan riasan tipis yang membuat wajahnya terlihat segar dan manis. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ini bukan sekadar makan malam. Ini awal dari permainan besar yang akan ia jalani selama satu tahun ke depan. Sesampainya di rumah megah milik keluarga Horison—yang lebih pantas disebut istana daripada rumah—Kirana nyaris kehilangan kata-kata. Pilar-pilar tinggi, taman seperti di film Eropa, air mancur besar, dan pelayan berbaris rapi di depan pintu. Dan di antara itu semua, berdiri Devano dengan setelan jas abu gelap, tampak santai seperti biasa, tapi sorot matanya tajam begitu melihat Kirana keluar dari mobil. “Kau terlihat... lumayan,” komentarnya datar, meski matanya menyapu Kirana dari ujung kepala hingga kaki. “Lumayan?” Kirana mendelik. “Aku bisa menarik lima lelaki hanya dengan berjalan satu kali di taman rumahmu.” Devano tersenyum miring. “Yakin kamu nggak jatuh cinta beneran sama aku?” Kirana membalas senyum itu dengan angkuh. “Kau terlalu b******n untuk dicintai. Tapi tidak cukup baik untuk dipercaya.” “Kau mulai belajar bicara seperti istri yang … sungguhan,” gumam Devano, lalu menyodorkan tangan. “Ayo. Waktunya bersandiwara.” Saat tangan Devano menggenggam tangan Kirana dan membimbingnya masuk, Kirana menarik napas panjang. Lalu, tepat di depan ruang makan yang terbuka lebar, seorang wanita paruh baya dengan aura kelas atas melangkah menghampiri mereka. Wajahnya elegan, tubuhnya tegap, matanya tajam seperti singa betina. Wanita itu tersenyum, tapi senyumannya penuh perhitungan. “Mama,” sapa Devano. “Ini Kirana. Calon istriku.” Kirana tersenyum manis. “Selamat malam, Tante. Saya—” “Panggil aku Mama,” potong wanita itu. “Sejak kamu akan menjadi bagian dari keluarga ini.” Kirana sempat kaget, lalu mengangguk cepat. “Baik, Mama.” Mereka duduk di meja makan panjang dengan lilin-lilin dan peralatan makan mewah. Saat pelayan datang membawa makanan pembuka, Devano mencondongkan tubuhnya dan dengan lembut mengambil sendok kecil berisi sup krim dari mangkuk Kirana. “Sayang, buka mulutmu,” katanya dengan suara yang tiba-tiba terdengar sangat lembut dan hangat. Kirana nyaris tersedak air liurnya sendiri. Sayang? Tapi ia ingat peran yang harus ia mainkan. Dengan senyum yang dipaksakan seolah sudah terbiasa, Kirana membuka mulut dan membiarkan sendok itu menyuapinya. “Enak?” tanya Devano. “Enak banget, Sayang,” balas Kirana sambil menatap matanya dalam-dalam. “Kalau kamu yang nyuapin, rasanya beda.” Mama Devano menyeringai senang, menatap mereka berdua seperti menatap pemandangan langka. “Aduh, kalian ini manis sekali. Aku senang akhirnya Devano bertemu wanita yang membuatnya jadi begini. Lembut. Perhatian. Tidak dingin seperti biasanya.” Kirana nyaris tertawa di dalam hati. Kalau Mama Devano tahu, lelaki yang duduk di sebelahnya ini adalah raja pesta dan pemilik koleksi wanita malam Jakarta—apa reaksinya? Setelah makanan utama dihidangkan, giliran Kirana yang mengambil sendok dari piring Devano dan menyuapkannya. “Kamu harus makan banyak. Kamu terlalu kurus. Nanti nggak berotot seperti pemain film Fast Furious,” katanya manja. Devano melirik tajam tapi tetap membuka mulut dan memakan suapan itu. “Asal kamu tahu, aku kurus karena setiap malam mikirin kamu, Sayang. Dan … apakah otot-ototku ini meragukanmu.” Kirana tertawa renyah, meski hatinya ingin muntah. “Kamu gombal banget, ya.” “Tapi kamu suka, kan?” “Banget,” balas Kirana manis. Sepanjang makan malam, mereka terus bersandiwara seperti pasangan paling bahagia sedunia. Tertawa. Saling menyuapi. Bersentuhan tangan. Kirana bahkan dengan natural menyandarkan kepala di bahu Devano ketika Mama Devano bercerita tentang rencana cucu pertama. Ketika malam berakhir dan Kirana pamit, Mama Devano memeluknya erat. “Terima kasih sudah membuat anak saya berubah.” Di dalam mobil menuju pulang, keduanya duduk diam. Suasana kembali tegang. Penuh tekanan yang tak tampak di meja makan tadi. “Aku hampir muntah karena kamu,” kata Kirana akhirnya. “Dan aku juga sama. Ingin muntah,” jawab Devano datar. Tapi kemudian mereka saling bertatapan... dan tertawa. Sepertinya Kirana harus mulai mencari taktik menggoda si Tuan Muda agar bertekuk lutut di bawahnya. Pernikahan kontrak? Cih! Kirana tidak sudi akan hal tersebut. Karena dia sekali dapat mangsa singa mana mungkin dilepaskan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN