Kirana Larasati menatap lelaki di depannya dengan seringai tipis, menyimpan cemooh yang tak diucapkan. Lelaki itu, duduk santai dengan kemeja putih mahal yang bagian lengannya digulung, menyilangkan kaki seolah dunia ada dalam genggamannya. Devano Horison. Sosok yang dikenal seantero negeri sebagai pemilik Horison Corporation, konglomerat muda yang namanya bahkan tercantum sebagai orang terkaya nomor enam di Asia. Tajir melintir, berkuasa, dan juga… terkenal tidak pernah mau berkomitmen pada satu wanita pun.
Dan kini, pria seperti itu—yang dengan mudahnya bisa mendapatkan siapapun yang ia mau—malah duduk di hadapan Kirana, seorang pegawai biasa di perusahaan miliknya, menawarkan sesuatu yang benar-benar sinting.
Pernikahan kontrak.
Ya, bukan lamaran cinta, bukan ajakan hidup bersama karena perasaan, tapi tawaran transaksional. Nikah kontrak.
“Menikah denganku selama setahun. Lalu cerai. Setelah itu, lima puluh miliar akan masuk ke rekeningmu,” kata Devano tanpa ragu sedikit pun. Suaranya tenang, penuh keyakinan. Ia bicara seolah-olah ini hanya bagian dari negosiasi bisnis biasa.
Kirana nyaris tertawa mendengarnya.
Lucu. Menikah hanya demi menyenangkan mamanya? Karena sang mama tak henti-hentinya mendesak agar Devano segera menikah, membentuk keluarga, dan berhenti keluyuran dengan banyak wanita? Dan solusi pria itu adalah... menjadikan Kirana sebagai istri kontrakannya selama satu tahun?
Yang benar saja.
“Jadi… kamu pikir semua wanita bisa dibeli, ya?” Kirana menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Devano dengan pandangan tajam yang mengupas keangkuhannya.
Devano tersenyum kecil. “Bukan begitu. Aku hanya menawarkan. Kau bisa menolak.”
“Kenapa aku?” Kirana mengangkat satu alisnya. “Di luar sana, banyak perempuan yang jelas-jelas akan dengan senang hati menerimanya. Kau tinggal pilih.”
Devano mengangkat bahu santai. “Mereka terlalu mudah ditebak. Aku butuh seseorang yang tidak akan berharap lebih. Seseorang yang bisa berdiri di hadapan mamaku dan terlihat sebagai pasangan ‘sempurna’ tapi tidak akan menyeretku ke kehidupan rumah tangga yang melelahkan.”
“Dan kau pikir aku cocok untuk itu?”
“Ya.” Ia menatap Kirana lurus-lurus. “Kau bukan tipe yang menye. Tidak gampang terbawa perasaan. Dan… aku tahu kau butuh uang.”
Deg.
Kirana diam. Bukan karena tersinggung. Tapi karena ia tahu, ucapan pria itu ada benarnya.
Sejak ayahnya jatuh sakit dan bisnis keluarga bangkrut, Kirana menjadi tulang punggung utama. Gajinya sebagai staf keuangan di Horison Group cukup untuk hidup sederhana—tapi tidak cukup untuk menutup semua biaya rumah sakit ayahnya yang terus meningkat. Belum lagi cicilan rumah, biaya adiknya kuliah, dan tanggungan lainnya.
“Lima puluh miliar,” ulang Devano, seolah menggoda. “Cukup untuk mengubah hidupmu dan keluargamu.”
Kirana mendengus. “Jadi, aku ini istrimu di depan orang-orang, dan di belakang...?”
“Di belakang? Kita masing-masing menjalani hidup seperti biasa,” jawab Devano tanpa ragu. “Tidak perlu campur urusan pribadi. Aku tetap bebas bergaul dengan siapa pun. Dan kau… bebas melakukan apapun asalkan menjaga image sebagai ‘istri’ saat dibutuhkan. Kita tinggal di rumah yang sama, tampil bersama saat mama ada, dan setelah setahun, semuanya selesai.”
Kirana kembali diam. Mencerna. Menganalisis.
Harga dirinya jelas berontak. Tapi kebutuhan mendesak keluarganya menjerit lebih keras. Ayahnya butuh pengobatan lanjutan. Rumah hampir disita. Dan adiknya sebentar lagi harus bayar semester baru.
Ini bukan sekadar tawaran. Ini adalah kesempatan.
Kirana tersenyum tipis. Kali ini bukan cemooh, tapi ketegasan.
“Baik,” katanya tenang. “Tapi aku punya syarat.”
Devano menaikkan alis. “Syarat?”
“Ya. Kita mungkin menikah kontrak, tapi selama statusku adalah istrimu, aku tidak mau dipermalukan oleh kelakuanmu di luar sana. Kau bisa bersenang-senang, tapi jangan sampai membuatku terlihat seperti badut di hadapan publik.”
Devano tertawa pelan, suaranya serak dan santai. “Deal.”
“Dan... lima puluh miliar langsung ditransfer ke rekening keluargaku begitu surat nikah selesai. Tidak pakai nunggu setahun.”
Devano berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Itu juga bisa diatur.”
Kirana mengangguk mantap. Jika harus menjual diri pada keadaan, maka ia akan melakukannya dengan kepala tegak. Bukan dengan air mata atau rayuan palsu.
Ia berdiri.
“Kalau begitu, sampai jumpa di hari pernikahan, Tuan Devano.”