Bukan Godaan

888 Kata
Restoran bintang lima di pusat kota sudah siap menyambut tamu penting dari negeri sakura. Interiornya penuh dengan nuansa kayu gelap, lampu-lampu gantung bergaya minimalis, dan aroma harum masakan Jepang yang menyambut sejak pertama langkah kaki masuk. Devano berdiri di depan meja besar yang telah dipesan khusus untuk pertemuan itu. Wajahnya tenang, penuh wibawa, dengan setelan jas hitam rapi yang menambah karismanya. Namun sebelum semuanya terjadi, pagi tadi, di lantai tertinggi gedung perusahaannya, Devano baru saja berdiri dari kursi kerjanya dan memandangi sosok wanita yang sejak tadi duduk di sofa, memeriksa kuku jarinya dengan santai seolah dunia hanya miliknya sendiri. “Kirana,” panggil Devano sambil melirik jam tangannya. “Kita ada pertemuan penting dengan klien Jepang siang ini. Kau ikut.” Kirana menoleh dengan senyum manis. “Benarkah? Wah, berarti aku akan ikut makan siang bersama suamiku hari ini.” Ia berdiri perlahan, menyusuri ruang kerja itu dan berdiri di depan meja Devano, seperti biasa dengan langkah menggoda yang membuat mata siapa pun sulit berpaling. Tapi Devano tak tampak terkesan. Matanya menatap langsung pada pakaian Kirana, lalu menghela napas panjang. “Tapi tidak dengan pakaian seperti itu. Ganti bajumu. Aku tidak ingin membuat klien kehilangan fokus.” Kirana menatap Devano, lalu tertawa kecil. “Aww... jadi Devano cemburu kalau orang lain lihat aku begini?” “Tidak. Aku hanya profesional. Dan kau... kelihatan seperti mau pergi ke pesta malam, bukan pertemuan bisnis.” Kirana mengangkat satu alisnya tinggi-tinggi, lalu melangkah lebih dekat. Ia menatap tajam ke wajah suaminya yang tetap berdiri tegak dan tak tergoyahkan itu. Kemudian, tanpa aba-aba, Kirana menyentuhkan bibirnya ke pipi Devano, lembut dan cepat, nyaris seperti angin yang menyapa pagi hari. “Baik, aku akan ganti bajuku, Tuan Suami.” Devano tidak menjawab. Ia hanya berdiri diam dengan pandangan datar, tapi sedikit—sangat sedikit—matanya mengerjap pelan. Dan meskipun tubuhnya tetap tegak, tak bergerak, pipinya yang baru saja disentuh oleh bibir Kirana tampak menghangat. Tapi pria itu terlalu pandai menyembunyikan perasaannya. Ia kembali duduk, pura-pura membuka dokumen di hadapannya. Kirana tersenyum dalam hati, lalu berbalik, membuka pintu kecil yang mengarah ke kamar pribadi yang hanya ada di ruang kerja Devano. Kamar itu sederhana tapi elegan, lengkap dengan lemari pakaian, sofa panjang, dan kamar mandi pribadi. Kirana membuka lemari yang sudah ia isi dengan beberapa pakaiannya sejak tinggal sebagai istri kontrak. Ia memilih setelan blouse putih satin dengan rok midi abu-abu elegan, menutup tubuhnya lebih sopan namun tetap membingkai siluet tubuhnya dengan anggun. Ia melilitkan scarf tipis di leher, membiarkan rambut panjangnya digerai indah, dan mengganti sepatu hak tinggi dengan yang sedikit lebih formal. Ketika ia keluar kembali ke ruang kerja, Devano sempat melirik sekilas. Sekejap pandangannya berhenti. Tidak ada komentar. Tapi Kirana tahu dari sorot mata itu—ada pengakuan diam-diam. Dirinya terlihat pantas hari ini. Terlihat seperti seorang istri CEO yang sebenarnya. --- Setibanya di restoran, Kirana berjalan berdampingan dengan Devano. Tak ada lagi aksi bergelayut seperti di kantor tadi. Kini ia lebih berwibawa, mengikuti langkah Devano dengan senyum profesional. Para pelayan menyambut mereka, mempersilakan masuk ke ruang VIP yang sudah dipesan. Di dalam, sudah ada dua pria Jepang dengan jas formal dan senyum ramah yang langsung berdiri saat melihat Devano datang. Mereka membungkuk sopan, dan Devano membalas dengan anggukan serta jabat tangan singkat. “This is my wife, Kirana,” ucap Devano dengan bahasa Inggris yang fasih. “She will join us today.” Salah satu pria Jepang, Tatsuya-san, menatap Kirana dengan kagum lalu membungkuk sopan. “Very honored to meet you, Mrs. Kirana. You are very elegant.” Kirana membalas dengan senyum anggun dan membungkuk ringan. “Thank you, Tatsuya-san. It’s an honor to be here.” Pertemuan pun dimulai. Pelayan datang menyajikan teh hijau dan beberapa hidangan pembuka. Kirana duduk diam di sisi Devano, tidak banyak bicara, tapi matanya tajam memperhatikan pergerakan semua orang di meja itu. Ia bisa merasakan bagaimana Devano begitu profesional, menjelaskan detail proyek kerja sama, menanggapi pertanyaan-pertanyaan dengan ringkas namun padat. Tidak ada celah untuk menyela. Namun beberapa kali, klien mereka melirik Kirana, sesekali memberi pujian soal bagaimana Devano beruntung memiliki istri secantik dan seanggun dirinya. Devano hanya tersenyum tipis dan menjawab sopan, “I appreciate it. She’s quite something.” Kirana menoleh seketika, hampir tak percaya Devano mengucapkan hal itu. Tapi wajah pria itu tetap datar, meski di ujung matanya terselip sedikit kilau yang sulit ditafsirkan. Bangga? Menggoda? Atau hanya basa-basi semata? Setelah makan siang dan penandatanganan kesepakatan selesai, para klien berpamitan. Mereka menyampaikan terima kasih atas keramahan Devano dan Kirana, dan tak lupa mengundang mereka ke Jepang jika ada waktu. Begitu semua tamu pergi, Kirana duduk bersandar di kursinya dan memutar sendok kecil di dalam cangkir tehnya. “Hmm... jadi, aku cukup bisa berperan sebagai istri CEO hari ini?” Devano melirik sebentar, lalu berdiri sambil mengambil jasnya. “Untuk hari ini, ya. Kau cukup menahan godaan jadi dirimu sendiri.” Kirana pura-pura tersinggung. “Hei, apa maksudmu aku godaan berjalan?” “Bukan ‘godaan’, tapi ‘gangguan’.” Mereka berjalan keluar restoran bersama. Matahari sore menyinari jalanan, dan Kirana berjalan tenang di sisi Devano. Tidak bergelayut. Tidak mencuri-curi cium. Tapi dalam hatinya, ia tersenyum lebar. Karena hari ini, Devano membiarkannya masuk ke dunia profesionalnya. Dan besok—besok ia akan lebih dari sekadar hiasan istri. Ia akan menjadi ratu di sisi raja. Dan tak akan ada yang bisa mencabut tahtanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN