Langit malam menggantung indah dengan taburan bintang ketika mobil hitam mewah yang membawa Devano dan Kirana meluncur pelan memasuki halaman hotel berbintang tempat pesta para kolega bisnis akan digelar. Kirana duduk di samping Devano, mengenakan gaun malam merah marun dengan potongan elegan di bahu dan belahan rok yang menggoda. Rambutnya disanggul rapi, memperlihatkan leher jenjangnya, sementara perhiasan berkilau menambah aura bangsawan pada penampilannya malam itu. Devano sendiri tampak luar biasa gagah dalam setelan jas gelap dengan dasi merah senada dengan gaun Kirana.
Mereka turun dari mobil, dan para tamu yang hadir seakan secara otomatis menoleh, memperhatikan pasangan itu. Para pria melirik Kirana dengan kekaguman, dan para wanita menatap Devano penuh keinginan. Kirana menggandeng lengan suaminya dengan bangga. Malam ini, dia ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah istri sah dari pria luar biasa bernama Devano.
Namun senyum di bibir Kirana mulai memudar saat beberapa langkah masuk ke dalam ballroom megah itu, matanya menangkap sosok wanita yang tampak terlalu akrab dengan suaminya. Wanita itu tinggi, ramping, dengan rambut ikal panjang keemasan dan gaun hitam berbelahan d**a rendah. Ia melangkah cepat begitu melihat Devano dan langsung memeluk pria itu tanpa ragu.
"Devano!" serunya, diikuti dengan pelukan sepihak yang terlalu lama bagi Kirana.
Kirana membeku. Ia masih menggandeng lengan suaminya, tapi Devano tidak menolak pelukan itu. Memang dia tidak membalas, tapi dia juga tidak menarik diri. Matanya dingin, netral. Tapi tidak ada usaha menjauh.
Wanita itu menarik diri dan langsung menyentuh lengan Devano, tertawa kecil dengan suara lembut yang dibuat-buat. “Sudah lama sekali kita tidak bertemu. Kau tambah tampan, Dev.”
Kirana mengepalkan tangan. Darahnya mendidih. Siapa wanita ini? Dan kenapa suaminya tidak mendorong pergi makhluk yang jelas-jelas mencoba merebut perhatian?
Devano akhirnya bicara, tenang dan pendek. “Raina.”
Kirana mengerjap. Nama itu tidak asing. Ia pernah melihat nama itu di salah satu dokumen lawas di ruang kerja Devano—Raina Meilani, mantan tunangan Devano yang kabarnya membatalkan pernikahan karena memilih pria lain, lalu ditinggal begitu saja. Dan sekarang, wanita itu muncul kembali seperti tak pernah berdosa.
“Oh, is this your wife?” tanya Raina kemudian, seolah baru menyadari Kirana ada di sana. Pandangannya turun naik, mengukur Kirana dari kepala hingga kaki. Ada senyum tipis menyepelekan yang membuat Kirana ingin menyobek wajah cantik itu dengan kuku-kukunya.
“Iya,” jawab Devano. “Istriku.”
Hanya itu. Datar. Tanpa tambahan kehangatan atau kebanggaan dalam suaranya. Dan itu entah kenapa lebih menyakitkan bagi Kirana daripada pelukan Raina.
“Oh,” Raina tersenyum sambil menjabat tangan Kirana. “You’re lovely. Tapi... sepertinya agak muda, ya? Kau... ehm, model, atau...?”
Kirana membalas senyum, tipis tapi tajam. “Bukan model. Saya hanya wanita yang cukup beruntung untuk menjadi istri Devano. Dan cukup muda untuk memastikan dia tidak bosan di ranjang.”
Seketika senyum Raina memudar sedikit. Tapi ia masih berusaha tetap anggun, walau nada tawanya mulai terdengar palsu. “Well... lucky you.”
Setelah beberapa basa-basi, Raina akhirnya berpamitan untuk menyapa tamu lain. Dan saat wanita itu menjauh, Kirana memalingkan wajah ke arah Devano. Tatapannya tajam seperti pisau. “Tidak menolak pelukannya?”
“Pesta bisnis. Banyak mata. Aku tidak ingin membuat keributan hanya karena wanita dari masa lalu.”
“Wanita dari masa lalu? Yang pernah hampir menjadi istrimu?”
Devano menatap Kirana sejenak. “Dia masa lalu. Kau masa kini. Dan sejauh ini... belum tentu masa depan.”
Seketika d**a Kirana mencelos. Tapi ia tidak ingin memperlihatkan luka itu. Ia hanya tersenyum sinis.
“Baiklah. Kalau begitu, biarkan aku jadi istri masa kini yang layak untuk dipamerkan.” Ia melepas lengannya dari tangan Devano dan berjalan sendiri ke meja minuman. Gelas anggur diambilnya, lalu diteguk dalam satu tarikan.
Devano mengamatinya dari kejauhan. Sial, wanita itu keras kepala, meledak-ledak, dan kadang seperti bom waktu. Tapi ada sesuatu di mata Kirana malam ini—sebuah luka kecil yang tak bisa disembunyikan oleh senyum sinis atau gaun mewah.
Dan entah kenapa, itu membuat hati Devano tak nyaman.
Beberapa pria mulai mendekati Kirana, mencoba berbincang, memuji penampilannya. Kirana menanggapi dengan cerdas dan sedikit genit, tapi ia sesekali melirik ke arah Devano yang kini berdiri sendiri, dengan tatapan tak terbaca.
Devano menyipitkan mata ketika salah satu pria menyentuh punggung Kirana terlalu akrab. Dalam hitungan detik, Devano sudah di sisi istrinya, meraih pinggang Kirana dan menariknya ke pelukannya sendiri. Kirana terkejut, begitu juga si pria.
“Maaf, ini istriku,” ucap Devano dingin. “Dan dia hanya untukku.”
Pria itu buru-buru minta maaf lalu mundur. Kirana masih terdiam dalam pelukan Devano, tubuhnya kaku.
“Kau cemburu?” bisiknya.
Devano tidak menjawab. Tapi ia menatap mata Kirana lama sekali, dalam dan intens. “Aku hanya tidak suka ada yang menyentuh apa yang jadi milikku.”
Kirana tertawa kecil. “Kau belum tentu mau memilikinya.”
Tangan Devano mengeratkan pelukan. “Aku belum tentu... melepaskannya juga.”
Kirana menatap Devano, jantungnya berdetak tak karuan. Dan untuk pertama kalinya, mereka berdiri begitu dekat di tempat umum, tak ada yang berpura-pura, tak ada basa-basi. Hanya mereka, dan perasaan-perasaan samar yang mulai tumbuh liar dan tak bisa dikendalikan.
Dan Kirana bersumpah, malam ini adalah awalnya.
Awal dari bagaimana ia akan membuat Devano mencintainya. Bukan hanya karena kontrak. Bukan karena status. Tapi karena hatinya. Karena tubuhnya. Karena segalanya tentang dirinya.
Dan Raina? Akan jadi bayangan masa lalu yang segera dilupakan. Karena Kirana tidak akan pernah kalah. Tidak untuk laki-laki yang sudah dia putuskan akan menjadi takdirnya.
***
Setelah pulang dari pesta yang membuat emosinya campur aduk, Kirana berjalan masuk ke dalam penthouse mereka dengan langkah ringan namun d**a yang berat. Gaun merah marun yang ia kenakan masih melekat sempurna di tubuhnya, tapi tumit tinggi itu telah ia lepas sejak di mobil. Devano, seperti biasa, langsung menuju ruang kerja pribadi yang berada di ujung lorong lantai atas. Pria itu benar-benar tidak mengenal kata lelah. Baru saja dari pesta penting, bukannya bersantai atau mengistirahatkan diri di ranjang empuk bersama istri sahnya, dia malah menyalakan laptop dan menenggelamkan diri dalam dokumen dan laporan.
Kirana berdiri di depan pintu ruang kerja suaminya. Menatap pintu itu dengan kesal. Laki-laki itu benar-benar... gila kerja! Sudah punya istri secantik dirinya, lengkap dengan balutan gaun seksi, kulit yang wangi parfum mahal, make-up yang belum luntur sejak pesta, tapi tetap saja memilih menatap layar monitor ketimbang tubuhnya.
Huh! Dasar CEO beku berdarah dingin!
Kirana mendengus, tapi tidak menyerah. Ia melangkah masuk ke dalam kamarnya, melepas gaun marun yang ia kenakan dan berganti dengan gaun tidur yang sangat tipis, berwarna hitam transparan. Lingerie satin yang baru ia beli dua hari lalu dari butik mahal yang berada di pusat kota. Ia bahkan menyemprotkan sedikit parfum lembut aroma vanila di titik-titik sensitif tubuhnya—di belakang telinga, di pergelangan tangan, dan sedikit di antara payudaranya yang tertutup tipis oleh renda.
Ia menyisir rambutnya pelan, menyemprotkan hair mist, dan memastikan bahwa tampilannya malam ini benar-benar seperti istri sah yang siap digoda dan menggoda. Ia melirik jam dinding. Sudah hampir tengah malam. Masih ada waktu.
Dengan langkah ringan, ia berjalan mendekati ruang kerja Devano. Pintu tidak dikunci. Pria itu duduk di balik meja besar, mengenakan kemeja putih dengan dasi yang sudah ia lepas, lengan tergulung, rambut sedikit acak karena jari-jari tangannya sendiri. Di layar monitornya, deretan angka dan grafik menyala, dan di meja ada dua cangkir kopi—satu sudah kosong, satu masih mengepul.
“Masih kerja?” Kirana bertanya lembut, menggoda. Suaranya rendah dan lembut, seperti bisikan.
Devano tidak menoleh. “Ya. Kamu tidur duluan. Jangan tunggu aku.”
Kirana menaikkan satu alisnya. “Tapi... aku ngantuknya cuma kalau ada kamu di sebelahku,” ucapnya genit, lalu melangkah masuk ke ruang kerja itu.
Langkahnya perlahan, seperti tarian. Gaun tidurnya berkibar ringan seiring hembusan AC. Dan Devano—sialnya—masih tidak menoleh.
“Dev... kamu nggak lihat aku pakai apa?”
“Lihat. Dan aku tetap menyuruh kamu tidur.” Nadanya tetap datar. Tidak marah, tidak dingin, tapi cukup untuk membuat Kirana menggigit bibir.
Wanita itu berdiri di samping meja kerja, tangannya menumpu di permukaan kayu mahoni itu sambil membungkuk sedikit, memperlihatkan belahan dadanya. “Aku cuma butuh lima menit, atau sepuluh, atau... sesingkat yang kamu mau. Aku cuma... pengen kamu malam ini, Dev.”
Mata Devano berhenti membaca. Ia mengangkat kepala, menatap Kirana untuk pertama kali sejak wanita itu masuk. Tatapannya turun ke tubuh Kirana—ke belahan gaun tidur yang memperlihatkan lekuk indah tubuh sang istri.
Lalu, matanya kembali ke layar. “Jangan paksa aku buat bilang sesuatu yang nyakitin kamu, Kirana.”
Kirana terdiam. Hatinya tergores. Tapi ia tersenyum kecil, pura-pura tidak terpengaruh. “Nyakitin kayak gimana? Bilang kamu nggak tertarik sama istrimu sendiri? Bilang kamu lebih suka kerja daripada pelukan dan ciuman?”
Devano meletakkan pena di tangannya. Kali ini ia menatap Kirana dengan lebih dalam.
“Kamu cantik, Kirana. Kamu tahu itu. Dan ya, mungkin laki-laki lain akan langsung menyeret kamu ke ranjang malam ini. Tapi aku bukan laki-laki itu. Aku menikahi kamu karena kontrak. Bukan karena hasrat. Jadi berhenti berharap lebih.”
Deg. Kalimat itu menghantam Kirana seperti palu godam. Tapi ia tetap tersenyum. Tetap berdiri tegak. Tetap terlihat manis dan menggoda, walau hatinya mulai sobek sedikit demi sedikit.
“Kalau memang cuma kontrak, kenapa kamu nggak tinggal di kamar sendiri? Kenapa kamu biarin aku tidur di ranjang yang sama?”
Devano bangkit dari kursinya. Tinggi, gagah, dingin seperti biasa. Ia melangkah ke arah Kirana, dan berdiri hanya beberapa senti dari tubuh wanita itu.
“Karena aku ingin melihat seberapa jauh kamu akan berusaha menembus dinding yang kamu sendiri tahu nggak akan runtuh.”
Dan lalu, tanpa berkata apa-apa lagi, Devano berjalan melewati Kirana, meninggalkannya sendiri di ruang kerja. Langkahnya pelan menuju dapur kecil untuk membuat kopi baru. Sementara Kirana masih berdiri di sana, mematung, dengan gaun tidurnya yang indah, tubuhnya yang wangi, dan hati yang mulai remuk perlahan.
Tapi Kirana adalah Kirana. Dia tidak akan menyerah hanya karena malam ini dia ditolak. Tidak ada cinta instan. Tidak ada hubungan yang dibangun hanya dalam sehari. Dan Kirana tahu, Devano adalah benteng keras yang bisa runtuh—asal dia tahu caranya.
Dia menatap bayangan punggung Devano dari balik lorong. Dia tidak akan berhenti. Bahkan kalau harus menggoda laki-laki itu seribu kali, dia akan tetap mencobanya sampai Devano berhenti hanya melihat kontrak, dan mulai melihat Kirana sebagai wanita. Sebagai istri. Sebagai seseorang yang layak untuk dicintai.
Dan malam ini, Kirana kembali ke kamar dengan senyum tipis di bibirnya.
Bukan karena menang.
Tapi karena dia tahu, permainan ini belum selesai.
Devano pasti nanti akan luluh dengannya. Lelaki mana yang akan menolak rayuan wanita seksi sepertinya ini?