Devano Gila!

1636 Kata
Kirana berdiri di depan cermin besar yang terpajang di salah satu ruang lobi kantor. Ia mengenakan blus putih satin dan rok pensil berwarna navy yang membentuk tubuhnya dengan pas, rambutnya diikat rapi ke belakang, memperlihatkan wajahnya yang lembut namun tegas. Tumit tinggi yang berkilau setiap kali melangkah menjadi penegas bahwa ia, Kirana, bukanlah perempuan biasa. Dan hari ini ia datang ke perusahaan bukan hanya sebagai istri sang CEO, tetapi juga sebagai wanita yang ingin dikenali karena dirinya sendiri. Namun belum sempat ia menenangkan pikirannya, suara berbisik yang jelas-jelas dimaksudkan untuk terdengar pun masuk ke telinganya. Tiga orang wanita dari divisi humas berdiri tidak jauh darinya, berpura-pura membaca laporan, namun tatapan mereka mengarah lurus padanya. "Dia itu cuma beruntung jadi istri CEO. Kalau nggak, mana mungkin perempuan biasa kayak dia bisa masuk ke gedung ini tiap hari?" "Iya, bener. Cantik juga enggak. Dari penampilannya waktu pertama kali datang aja udah kelihatan, tuh anak kampung." "Miris banget, CEO sehebat itu harusnya bisa dapet model luar negeri. Bukan... ya, kayak dia gitu." Kirana mematung. Matanya menatap pantulan para wanita itu di cermin. Bibirnya mengulas senyum tipis, tetapi bukan senyum ramah. Bukan pula senyum malu. Melainkan senyum seorang perempuan yang sudah cukup lama menahan diri, namun sekarang waktunya membalas. Ia membalikkan tubuhnya dan melangkah pelan menghampiri mereka. Tumit sepatunya berdentang di lantai marmer, mengisi jeda keheningan yang sempat terjadi karena para wanita itu baru sadar bahwa Kirana mendengar semua omongan mereka. "Permisi," ucap Kirana dengan suara tenang namun sarat tekanan. “Tadi aku dengar... aku cuma beruntung ya, jadi istri CEO?” Ketiga wanita itu saling pandang. Salah satu dari mereka, yang paling vokal—bernama Raina—mendengus dan mencoba tersenyum sinis. "Ah, maaf, Bu Kirana. Kami cuma bercanda, kok. Gak usah dibawa serius." "Kalau bercanda, seharusnya bisa bikin orang ketawa. Tapi yang saya dengar, kalian lebih mirip sedang merendahkan seseorang," balas Kirana tenang, namun nada suaranya seperti cambuk halus yang menyayat diam-diam. “Lanjutkan saja,” sambung Kirana pelan, matanya tajam. “Katanya aku tidak cantik?” Raina mencoba tersenyum, namun terlihat jelas senyumnya terpaksa. “Ya… mungkin maksudnya, Bu Kirana tuh punya daya tarik khas. Tapi dibanding mantan-mantannya Pak Devano, ya jauh sih...” Kirana tertawa kecil. Lalu ia melangkah lebih dekat. Kini jaraknya hanya beberapa langkah dari Raina. Ia menatap wanita itu dari ujung kepala sampai kaki, lalu berkata dengan suara pelan namun menusuk. “Kamu tahu, Raina, kamu benar. Aku bukan perempuan yang dibesarkan dengan segala kemewahan. Aku tidak datang dari keluarga kaya, aku tidak belajar di luar negeri, dan aku tidak pernah tampil di majalah mode seperti beberapa wanita yang pernah dekat dengan suamiku. Tapi dengar baik-baik.” Kini nada suara Kirana berubah. Penuh wibawa, dan membuat siapa pun yang mendengarnya secara naluriah ingin menunduk. "Aku memang tidak lahir sebagai orang kaya. Tapi aku punya harga diri. Aku tidak menggunakan tubuhku untuk mendekati laki-laki kaya. Aku tidak pernah berpura-pura manis untuk dapat perhatian atasan. Dan yang paling penting, aku tidak pernah mencibir perempuan lain hanya karena aku merasa kalah saing." Kirana menyilangkan tangan di depan d**a. Matanya menatap lurus ke arah wanita itu. "Dan tahu kenapa aku berdiri di sini hari ini, Raina? Bukan karena keberuntungan. Tapi karena pilihan. Devano memilih aku sebagai istrinya bukan karena dia kasihan, dan bukan karena aku memohon. Tapi karena dia melihat sesuatu yang kamu tidak pernah lihat—integritas, karakter, dan keberanian. Sesuatu yang jelas kamu belum miliki." Ruangan menjadi sangat sunyi. Bahkan detak jam dinding pun seolah terdengar keras. Kirana melanjutkan. "Kamu pikir jadi istri CEO itu hanya soal uang dan gaun mahal? Coba kamu tinggal di rumah yang dinginnya bukan karena AC, tapi karena suamimu lebih memilih kerja daripada tidur bersamamu. Coba kamu jalani hari-hari ketika kamu menggoda suamimu sendiri dan tetap ditolak karena dia terlalu sibuk membangun perusahaannya. Lalu kamu bilang aku hanya beruntung?" Kirana tersenyum. "Kalau kamu di posisiku, kamu sudah menyerah. Tapi aku? Aku tetap berdiri di sampingnya. Setiap hari. Tanpa mengeluh. Karena cinta yang aku beri bukan cinta karena kemewahan, tapi karena pengabdian." Kini para karyawan lainnya mulai memperhatikan. Beberapa bahkan diam-diam mengangguk, terkesan dengan keberanian dan ketegasan Kirana. Raina terdiam. Wajahnya memerah, antara malu dan kesal, tetapi tidak bisa membalas sepatah kata pun. Kirana melangkah mundur satu langkah, lalu berkata untuk terakhir kalinya. “Jadi sebelum kamu mencibir seseorang yang kamu anggap tidak selevel, pastikan kamu punya kualitas lebih dulu. Kalau hanya mengandalkan wajah cantik dan lidah tajam, kamu tidak akan pernah berdiri di posisiku. Bahkan untuk mendekati laki-laki seperti Devano pun kamu tidak akan pernah punya kesempatan.” Setelah itu, Kirana berbalik, berjalan anggun melewati lorong kantor yang kembali hening. Setiap langkahnya kini terasa lebih mantap. Lebih kuat. Dan tidak ada lagi suara sumbang yang berani menyentuhnya. Karena hari itu, Kirana membuktikan—bahwa dia bukan istri CEO karena keberuntungan. Tapi karena pantas. *** Devano baru saja keluar dari ruang kerjanya di rumahnya dengan wajah lelah. Kemeja putih yang dikenakannya sudah sedikit kusut karena dipakai sejak pagi, dasinya dilonggarkan dan lengan kemejanya digulung sebatas siku. Ia menuruni anak tangga menuju ruang tamu rumahnya, dan matanya langsung tertuju pada satu sosok yang tengah duduk di sofa panjang sambil menyilangkan tangan di d**a dan menghentak-hentakkan kaki kanan dengan kesal. Alis Devano langsung bertaut. Kirana. Wanita itu mengenakan piyama satin berwarna merah muda pucat dengan motif cherry blossom, rambutnya digerai berantakan karena berkali-kali disentak kesal oleh tangannya sendiri, dan bibir mungilnya manyun. Sangat terlihat tidak puas. Bahkan terlalu terlihat. Devano berdiri beberapa meter dari sofa itu, menyandarkan tubuhnya pada dinding, dan melipat tangan di depan d**a. Ia tidak langsung mendekat, hanya menatap dalam diam, mencoba memahami. Namun detik berikutnya, Kirana menghentak kaki lagi. Dum. Dum. Dum. “Ya ampun…” gumam Devano pelan. “Ada apa sih?” akhirnya ia bertanya juga, tidak tahan melihat istrinya yang berperilaku seperti anak kecil yang tidak dibelikan es krim. Kirana tidak langsung menjawab. Ia hanya memalingkan wajah ke arah lain, pura-pura tidak mendengar. Tapi Devano tahu. Sangat tahu. Bahwa istri kontraknya itu sedang ingin perhatian. Tinggal masalahnya: perhatian karena apa? Devano melangkah pelan, lalu duduk di kursi sebelahnya, memberi jarak sedikit. Takut-takut, siapa tahu Kirana sedang dalam mode ‘bom waktu’. “Kirana,” panggilnya pelan. “Kenapa kamu cemberut dari tadi? Hentak-hentak kaki juga. Apa aku ngelakuin sesuatu?” Kirana mendengus pelan. Ia tetap tidak menoleh, namun suaranya keluar lirih tapi terdengar sangat jelas. “Kamu ngga peka banget, sih.” “Nggak peka?” Devano mengulang pelan, bingung. “Aku ngga ngelupain ulang tahun kamu. Bukan juga hari jadi. Kamu juga nggak bilang kamu mau diajak makan malam…” “Bukan itu!” potong Kirana cepat, lalu akhirnya menoleh ke arahnya dengan pipi yang tampak bersemu merah, entah karena malu atau marah. Devano semakin bingung. Ia merapikan posisi duduknya, sedikit memiringkan badan agar bisa lebih fokus menatap istrinya yang sepertinya mulai meledak. Kirana menarik napas panjang, lalu melipat tangan di depan d**a dan menatap Devano penuh tuntutan. “Kamu pulang-pulang, langsung masuk ruang kerja lagi. Kerja. Terus kerja. Padahal aku udah nyiapin suasana kamar romantis, lilin aromaterapi, sprei baru warna wine red, dan—” ia memotong sendiri kalimatnya karena malu. Devano berkedip pelan. “Terus?” “Terus?” Kirana menirukan, ekspresinya sebal. “Terus kamu cuma bilang ‘tidurlah duluan’. Ya ampun, Devano. Aku ini istri kamu. Istri! Minimal pura-pura lihat dulu kek usahaku, atau kasih komentar kayak ‘wah, bagus kamarnya’ gitu. Tapi kamu malah ngeloyor gitu aja.” Devano akhirnya mengerti. Ia mengerjapkan mata dan menunduk pelan, lalu menyentuh pelipisnya sendiri. Lelaki itu menarik napas sejenak sebelum menjawab, “Aku nggak lihat apa-apa karena aku langsung ke ruang kerja. Aku bahkan nggak tahu kamu nyiapin semua itu…” “Aku taruh kelopak mawar di lantai dari pintu sampai tempat tidur, Devano,” potong Kirana, “masa kamu ngga lihat?!” “Ah…” Devano terdiam sesaat. Lalu pelan-pelan, ia menahan tawa. Tapi gagal. Sudut bibirnya terangkat dan ia akhirnya terkekeh. “Jadi kamu marah karena aku ngga menggubris usaha kamu menggoda aku tadi malam?” Kirana langsung menatap tajam. “Ini bukan soal goda-menggoda, Devano!” “Oh? Terus apa?” “Ini soal harga diri seorang istri!” ujar Kirana sambil berdiri dramatis. “Aku udah belajar cara bikin suasana kamar romantis dari Youtube, dari Pinterest, dan bahkan dari grup Telegram yang isinya ibu-ibu rumah tangga. Dan semua mereka bilang, kalau suami langsung tidur atau malah kerja, berarti usahanya gagal total.” Devano menahan tawa lagi, tetapi ia bangkit dari sofa, menghampiri Kirana, dan kini berdiri tepat di depannya. Wajahnya berubah serius. “Dengar, Kirana. Aku nggak pernah anggap usaha kamu gagal. Aku memang... terlalu fokus sama kerjaan. Itu salahku. Tapi bukan karena kamu nggak menarik atau karena aku nggak lihat kamu sebagai wanita. Justru karena aku lihat kamu sebagai wanita, aku takut kehilangan kontrol.” Kirana berkedip. “Kontrol?” Devano tersenyum kecil. “Iya. Kamu tuh terlalu cantik kalau lagi berusaha menggoda. Dan aku takut kalau aku mulai sekarang, aku ngga bisa berhenti. Pekerjaan masih numpuk, kalau aku layanin kamu malam itu, bisa-bisa aku bolos kerja seminggu.” Kini giliran pipi Kirana yang bersemu merah karena malu. Ia menggigit bibir bawahnya, menunduk, tapi tetap manyun. “Tapi kamu tetap harus peka. Aku itu istri kamu. Kamu bukan nikahin batu es, kan?” Devano tertawa pelan. Ia mengusap pelan puncak kepala Kirana. “Maaf, ya. Gimana kalau aku tebus kesalahanku malam ini?” Kirana menatapnya curiga. “Tebus gimana?” Devano mencondongkan tubuh, lalu membisikkan sesuatu di telinga Kirana yang membuat wanita itu langsung menegakkan badan dan memukul pelan d**a suaminya. “Devano! Gila!” Tapi ekspresi Kirana tak lagi cemberut. Ia justru tersenyum malu-malu dan memalingkan wajah dengan kikuk. Hentakan kakinya hilang, digantikan detak jantung yang tiba-tiba berdegup cepat. Dan Devano? Ia meraih tangan Kirana, menggenggamnya erat, lalu berkata pelan, “Malam ini, kamulah prioritas utamaku.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN