Devano menatap Kirana, matanya menyala dengan keinginan yang membara. Senyum miring tersungging di bibirnya saat ia mendekat, langkahnya mantap dan penuh d******i. Kirana, dalam balutan lingerie hitam yang menggoda, menahan napas, jantungnya berdebar kencang menanti sentuhan yang akan datang.
Tangan Devano terulur, jemarinya menyentuh tali lingerie Kirana, melepaskannya perlahan, seolah menikmati setiap detik proses tersebut. Kain sutra itu meluncur turun, memperlihatkan lekuk tubuh Kirana yang indah, kulitnya yang putih bersih berkilauan di bawah remang lampu kamar.
"Kau tahu apa yang aku inginkan," bisik Devano, suaranya serak dan penuh tuntutan.
Kirana hanya menelan ludah, tidak menjawab. Ia tahu persis apa yang diinginkan Devano, dan ia pun menginginkannya. Keinginan yang sama membakar dirinya, membuatnya merasa hidup dan b*******h.
Devano tidak menunggu jawaban. Ia meraih Kirana, menariknya mendekat hingga tubuh mereka bersentuhan. Bibirnya menemukan bibir Kirana, melumatnya dengan kasar dan penuh nafsu. Kirana membalas ciuman itu, lidahnya menari-nari di dalam mulut Devano, saling bertukar saliva dan gairah.
Tangan Devano bergerak liar di tubuh Kirana, meremas payudaranya yang montok, membelai perutnya yang rata, dan menyusuri pahanya yang mulus. Kirana mengerang pelan, menikmati setiap sentuhan Devano, merasakan panas menjalar di sekujur tubuhnya.
"Devano..." desahnya, menyebut nama pria itu dengan nada memohon.
Devano melepaskan ciumannya, menatap Kirana dengan tatapan lapar. Ia mengangkat tubuh Kirana, membawanya ke tempat tidur, dan menjatuhkannya dengan lembut di atas ranjang.
"Sekarang giliranmu," kata Devano, suaranya rendah dan menggoda.
Kirana tersenyum, lalu mulai melepaskan pakaian Devano. Kemeja pria itu terbuka satu per satu, memperlihatkan dadanya yang bidang dan berotot. Kirana mengagumi tubuh Devano, menyentuhnya dengan lembut, merasakan setiap lekuk dan teksturnya.
Celana Devano pun ikut meluncur turun, memperlihatkan kejantanannya yang sudah menegang sempurna. Kirana menelan ludah, lalu meraihnya dengan tangan, membelainya dengan lembut dan penuh gairah.
"Ah, Kirana..." desah Devano, merasakan kenikmatan yang luar biasa.
Kirana terus membelai kejantanan Devano, membuatnya semakin keras dan berdenyut. Ia tahu bahwa Devano sudah tidak sabar, dan ia pun sama. Keinginan mereka sudah mencapai puncaknya, dan mereka siap untuk menyalurkannya.
Devano merebahkan diri di atas Kirana, menindih tubuh wanita itu dengan beratnya. Ia menatap mata Kirana, mencari persetujuan. Kirana mengangguk, memberikan izinnya.
Devano mencium Kirana sekali lagi, lalu mulai memasukkan kejantanannya ke dalam lubang kenikmatan wanita itu. Kirana mengerang keras, merasakan sensasi yang luar biasa, perpaduan antara sakit dan nikmat yang tak tertahankan. Karena selaput darah keperawanannya yang disobek oleh Devano.
"Ah Sakit… tapi... Devano... lebih dalam..." desahnya, memohon pada pria itu untuk terus memasukinya.
Devano menurutinya. Ia mendorong kejantanannya lebih dalam lagi, hingga menyentuh rahim Kirana. Wanita itu menjerit, merasakan ledakan kenikmatan yang tak terlukiskan.
Devano mulai bergerak, memompa Kirana dengan ritme yang cepat dan kuat. Setiap tusukan terasa begitu dalam dan penuh gairah, membuat Kirana semakin menggila. Ia mencengkeram punggung Devano, menariknya semakin dekat, seolah ingin menyatu dengan pria itu.
"Devano... aku... aku akan..." desah Kirana, merasakan o*****e mendekat.
"Bersama-sama," bisik Devano, mempercepat gerakannya.
Kirana menjerit keras, merasakan o*****e yang dahsyat melanda tubuhnya. Ia mencengkeram Devano lebih erat lagi, merasakan setiap denyutan kenikmatan yang mengalir di dalam dirinya.
Devano pun ikut mencapai puncaknya. Ia memompa Kirana dengan sekuat tenaga, lalu menyemburkan spermanya ke dalam rahim wanita itu. Ia mengerang keras, merasakan kelegaan yang luar biasa setelah melepaskan semua hasratnya.
Devano dan Kirana terbaring lemas di atas ranjang, napas mereka terengah-engah. Keringat membasahi tubuh mereka, bukti dari gairah yang baru saja mereka salurkan.
Devano mencium kening Kirana, lalu memeluknya dengan erat. Ia tidak mengatakan apa-apa, tetapi Kirana tahu bahwa pria itu merasa puas. Ia pun sama. Mereka telah menyalurkan hasrat mereka dengan cara yang paling memuaskan, tanpa perlu kata-kata cinta atau janji manis.
Mereka hanya membutuhkan sentuhan, gairah, dan kenikmatan.
***
Malam itu, kamar mereka menjadi saksi bisu dari berbagai gaya dan posisi yang mereka coba. Dari misionaris klasik hingga doggy style yang liar, setiap sentuhan dan tusukan terasa begitu menggoda dan membakar.
Devano tidak pernah kehabisan ide untuk memuaskan Kirana. Ia menjilat, menghisap, dan menggigit setiap inci tubuh wanita itu, membuatnya mengerang dan menjerit kenikmatan. Kirana pun tidak mau kalah. Ia membalas setiap sentuhan Devano dengan gairah yang sama, membelai, meremas, dan menghisap kejantanan pria itu hingga membuatnya menggila.
"Kau membuatku gila, Kirana," desah Devano, di sela-sela ciumannya.
"Itu memang tujuanku," balas Kirana, dengan senyum menggoda.
Mereka terus bercinta hingga larut malam, tanpa henti dan tanpa ampun. Setiap o*****e terasa semakin dahsyat, membuat mereka semakin ketagihan. Mereka tidak peduli dengan waktu atau tempat, yang mereka inginkan hanyalah saling memuaskan hasrat mereka.
"Aku tidak pernah merasa sebahagia ini," bisik Kirana, saat mereka berpelukan erat setelah mencapai klimaks yang kesekian kalinya.
"Aku juga," balas Devano, mencium rambut Kirana dengan lembut.
Meskipun mereka tidak saling mencintai dengan kata-kata, tetapi mereka saling mencintai dengan tindakan. Sentuhan, gairah, dan kenikmatan menjadi bahasa cinta mereka, cara mereka untuk saling terhubung dan memahami satu sama lain.
***
Keesokan harinya, mereka bangun dengan tubuh yang lelah tetapi hati yang puas. Mereka saling tersenyum, lalu berciuman dengan mesra. Mereka tahu bahwa malam itu akan menjadi kenangan yang tak terlupakan, dan mereka tidak sabar untuk mengulanginya lagi.
Devano bangkit dari tempat tidur, lalu mengenakan pakaiannya. Ia menatap Kirana, yang masih berbaring di atas ranjang dengan selimut menutupi tubuhnya.
"Aku harus pergi bekerja," kata Devano, suaranya datar seperti biasa.
"Hati-hati," balas Kirana, dengan senyum manis. Kirana hari ini libur bekerja sebagai sekretaris Devano karena merasakan badannya yang begitu remuk oleh lelaki itu semalam. Namun begitu puas sekali dengan Devano sudah menyentuhnya.
Devano mengangguk, lalu keluar dari kamar. Kirana menghela napas, lalu memejamkan matanya. Ia merasa bahagia dan puas, tetapi juga sedikit kosong. Ia tahu bahwa Devano tidak akan pernah mencintainya seperti yang ia inginkan, tetapi ia tidak bisa menolaknya. Ia terlalu terpikat dengan sentuhan dan gairahnya, terlalu ketagihan dengan kenikmatan yang ia berikan.
Ia tahu bahwa ia terjebak dalam lingkaran setan ini, tetapi ia tidak peduli. Ia akan terus membiarkan Devano memuaskannya, meskipun hatinya tidak pernah terisi penuh. Karena bagi Kirana, sentuhan dan gairah adalah segalanya.
***
Pagi itu mentari menyembul malu-malu dari balik tirai jendela besar kamar utama. Sinar oranye keemasan menyinari seluruh ruangan, menyentuh wajah Kirana yang tampak berseri-seri meski baru saja bangun tidur. Rambutnya tergerai acak-acakan, tetapi senyumnya sehangat matahari yang masuk dari sela tirai. Ia menggeliat pelan, menyentuh sisi tempat tidur yang kini kosong—Devano sudah tidak ada di sana.
Namun tak butuh waktu lama baginya untuk mencium aroma kopi yang samar datang dari dapur. Matanya membulat pelan dan ia langsung bangun. Tapi bukan karena kaget. Lebih tepatnya... karena senang.
Dia sedang di dapur? batin Kirana sembari melangkah keluar kamar dengan langkah ringan dan perasaan berbunga-bunga.
Tiga hari terakhir ini benar-benar seperti masa bulan madu yang tak terduga. Sejak malam itu—malam ketika Devano mengesampingkan semua pekerjaannya demi dirinya—hubungan mereka berubah drastis. Devano jadi lebih hangat, lebih sering menggoda, bahkan mulai memeluknya dari belakang secara tiba-tiba hanya untuk mencium tengkuknya, sesuatu yang tak pernah ia bayangkan akan dilakukan oleh pria sedingin Devano sebelumnya.
Dan malam demi malam... selalu saja terasa membara.
Kirana menggigit bibir bawahnya sambil tersenyum saat mengingat semua kenangan intim yang mereka habiskan bersama di kamar. Mulai dari ranjang, sofa panjang, bahkan dapur pernah menjadi saksi bisu kebersamaan mereka. Bukan hanya tentang fisik. Devano mulai banyak bicara. Tentang masa kecilnya, tentang mimpinya, bahkan... tentang ketakutannya kehilangan Kirana, yang membuat Kirana tidak bisa tidur semalaman karena terlalu bahagia.
Kini, setelah tiga hari penuh libur dan membiarkan diri mereka larut dalam dunia kecil mereka berdua, Kirana memutuskan untuk kembali ke rutinitasnya. Menjadi sekretaris sekaligus istri dari CEO yang kini mulai membuatnya jatuh cinta sepenuhnya.
Di dapur, ia sudah berdiri di depan kompor dengan celemek bunga-bunga yang melingkari pinggangnya. Di wajahnya tergurat senyum yang sulit disembunyikan.
“Aku bikin omelet hari ini,” gumamnya sambil memecahkan telur. “Devano suka yang isi keju, dan aku tambahkan potongan daging asap tipis. Harusnya dia suka.”
Ia melirik sekilas ke arah meja makan. Cangkir kopi Devano sudah ada di sana, tersusun rapi dengan buku berita ekonomi pagi yang selalu dibaca pria itu saat sarapan. Kirana menghela napas lega. Meskipun lelaki itu kaya raya dan terbiasa dilayani banyak orang, dia tak pernah mencela masakan Kirana. Bahkan selalu menghabiskannya.
Tepat saat dia hendak menghidangkan omelet ke piring, suara langkah kaki pelan terdengar dari arah belakang. Kirana tak perlu menoleh untuk tahu siapa itu.
“Pagi,” bisik Devano serak, dan tak butuh satu detik kemudian, lengannya melingkar di pinggang Kirana dari belakang. Dagunya bertumpu di pundak sang istri, dan dia mengecup pelan kulit lembut di sana.
Kirana terkekeh kecil. “Kamu kagetin aku.”
“Pagi yang terlalu tenang harus ada kejutan biar hidup,” gumam Devano malas, kemudian mencium leher Kirana dengan intens. “Dan... kamu bikin dapur jadi makin panas. Bukan cuma karena api kompornya.”
“Hei, kamu! Mau sarapan atau mau nambah satu ronde lagi, hah?” ejek Kirana sambil memukul pelan d**a Devano dengan punggung tangannya.
Devano tertawa ringan, sangat langka bagi pria itu. “Boleh dua-duanya?”
“Kamu bisa telat kerja, tahu nggak?”
“Bukannya kamu juga akan ikut ke kantor?” Devano menatap istrinya yang kini sudah memalingkan wajah, tetapi rona pipi merahnya tidak bisa ditutupi.
“Y-ya. Tapi jangan macam-macam lagi, oke? Kita sudah... cukup... selama tiga hari ini.” Kirana tersipu, menahan tawa dan rasa malunya sendiri. “Perut aku pegal-pegal semua karena kamu, tahu nggak?”
Devano menaikkan alis. “Masa iya? Harus kupijat dulu berarti?”
“DEVANO!”
Tawa pria itu meledak. Ia menarik tubuh Kirana untuk berbalik menghadapnya, lalu menatap wajah istrinya dengan lembut. “Kamu makin cantik pagi ini. Makin berbahaya juga.”
Kirana tertunduk. Hatinya meleleh setiap kali Devano bicara seperti itu. Dan walaupun dia sudah menjadi istri sahnya selama hampir satu bulan, baru sekarang dia benar-benar merasa seperti istri... yang dicintai.
Devano mengangkat dagu Kirana dengan dua jarinya, memandang dalam. “Ayo sarapan, habis itu kita berangkat. Banyak yang harus kita kejar di kantor. Dan aku... butuh kamu terus ada di sampingku.”
Kalimat itu terdengar sederhana, tapi bagi Kirana, itu seperti pelukan paling erat yang bisa ia dapatkan.
Setelah sarapan, mereka berdua melangkah bersama ke mobil pribadi yang membawa mereka ke kantor. Di sepanjang perjalanan, Kirana memeluk lengan Devano dan bersandar di bahunya. Banyak mata yang menatap mereka saat tiba di perusahaan, karena tak hanya datang bersama, Devano bahkan membuka pintu untuk Kirana.
Semua orang mengira Kirana hanya ‘istri keberuntungan’. Tapi Kirana membuktikan kalau dirinya lebih dari itu.
Dan kini, Kirana siap menunjukkan bahwa dia bukan hanya istri CEO... tetapi juga satu-satunya wanita yang sanggup menjinakkan singa dingin bernama Devano Horison.