Pamer

1563 Kata
Di pagi yang cerah itu, langkah Kirana memasuki kantor benar-benar mengundang perhatian. Tumit sepatunya berdetak pelan di lantai marmer lobby perusahaan, dentingnya menggema—namun bukan itu yang membuat para karyawan wanita melirik dengan sinis. Bukan juga karena wajah Kirana yang selalu segar dengan senyum manis yang seolah tanpa beban. Tapi karena sesuatu yang lain. Leher jenjang Kirana yang biasanya tertutup kini tampak sedikit terbuka karena blouse putih yang ia kenakan hari ini memiliki potongan kerah lebar. Dan di sana, sedikit samar namun jelas, terlihat dua buah kissmark mungil yang menyembul di sisi lehernya. Kirana tahu betul apa yang ia lakukan. Ia tahu di lantai lima—tempat ruang kerja Devano berada—ada segelintir karyawan wanita yang gemar bergosip di balik layar komputer, sambil menyeruput kopi gratisan dan memelototi Kirana dari kepala hingga ujung kaki. Hari ini, dia memutuskan: cukup. Dia akan berdiri tegak, tersenyum, dan menunjukkan satu hal penting—bahwa dia bukan istri CEO karena "beruntung", tetapi karena dipilih, diinginkan, dan dicintai sepenuhnya. Langkah Kirana makin mantap saat menaiki lift. Dia berdiri di samping dua wanita dari bagian keuangan yang selama ini paling vokal membicarakan dirinya di pantry. “Lihat tuh, sengaja banget buka kerah leher. Kayak nggak tahu malu,” gumam salah satu wanita itu setengah berbisik, tapi cukup keras untuk didengar Kirana. Namun Kirana hanya mengibaskan rambut panjangnya ke belakang bahu kanan, memperjelas tanda merah keunguan yang mulai memudar di leher kirinya. Dengan ekspresi puas, ia berkata ringan tanpa memandang mereka. “Oh, maaf. Sepertinya semalam Devano agak... bersemangat.” Lift menjadi hening. Senyum Kirana tak luntur. Ia berjalan keluar lift saat sampai di lantai atas, membiarkan dua wanita tadi terbengong di belakang. --- Di ruang kerja, Devano baru saja meletakkan jasnya di belakang kursi dan menyeduh kopi ketika Kirana masuk dengan langkah ringan. Pria itu langsung menoleh dan mengangkat alis saat melihat ekspresi ceria istrinya. “Ada apa senyum-senyum sendiri pagi-pagi?” tanya Devano curiga, lalu menatap Kirana dari ujung kaki hingga ujung kepala. Kirana menghampiri meja kerjanya dengan gaya menggoda, menaruh tumpukan dokumen yang harus ditandatangani di atas meja sambil membungkuk sedikit ke depan. Devano langsung menahan napas karena posisi Kirana nyaris membuat blousenya memperlihatkan terlalu banyak hal. Tapi yang paling mencolok adalah... tanda merah di leher Kirana. Matanya menyipit. “Kirana... itu belum kamu tutup?” “Kenapa harus ditutup?” Kirana tersenyum manis, lalu duduk di kursi di seberang meja kerja Devano sambil menyilangkan kaki. “Biar mereka tahu... siapa yang menyentuhku.” Devano menatap istrinya lekat-lekat, antara ingin tertawa dan ingin menggeleng kesal. “Kamu itu... gila.” Kirana menaikkan sebelah alis. “Kalau gila tapi dicintai CEO, aku terima.” Devano terkekeh dan menggeleng pelan. Ia bangkit dari kursinya, melangkah mendekati Kirana, dan tiba-tiba membungkuk, menaruh kedua tangannya di sandaran kursi Kirana hingga membuat wanita itu terjebak dalam posisinya. “Terserah apa yang kau katakan,” bisik Devano pelan di dekat telinga Kirana. “Tapi kamu juga harus tahu... kissmark itu bisa bertambah kalau kamu makin menantang.” Pipi Kirana memerah. “Berani banget kamu, Devano…” Tapi sebelum ia sempat membalas, pintu ruang kerja terbuka. Salah satu karyawan masuk tanpa mengetuk—yang tentu saja, membuat Devano langsung menoleh dengan ekspresi tidak suka. Namun si karyawan itu langsung menunduk dalam-dalam saat melihat posisi Devano dan Kirana yang cukup... intim. “S-saya minta maaf, Pak! Saya... saya nggak sengaja...” “Keluar,” ucap Devano dingin. Pintu pun tertutup kembali. Kirana langsung tertawa kecil sambil menutup wajah dengan tangannya. “Tuh kan... malah makin tersebar.” Devano memutar bola matanya. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tidak benar-benar marah. Justru, ia merasa bangga. Karena akhirnya, seluruh karyawan tahu: Kirana adalah miliknya. Bukan sekadar istri sah, tapi satu-satunya wanita yang bisa membuatnya berubah, tertawa, bahkan melunak. --- Sementara itu di pantry kantor... “Ternyata benar ya... Devano itu beneran sayang sama Kirana.” “Huh, tetap saja... aku masih nggak terima. Kenapa harus dia? Padahal dia biasa aja.” “Ya... karena Kirana punya yang kita nggak punya: hati yang tulus. Dan keberanian buat menaklukkan pria sekeras Devano.” Ucapan terakhir itu datang dari salah satu senior HRD yang diam-diam selalu memperhatikan Kirana. Ia tersenyum kecil sambil menyeruput kopinya. “Kadang yang menang itu bukan yang paling cantik. Tapi yang paling berani bertahan dan tulus mencintai.” *** Sore sudah berubah menjadi senja ketika langit mulai menggelap di luar jendela kaca gedung perusahaan Devano. Lampu-lampu di ruang kantor sudah banyak yang dipadamkan, pertanda sebagian besar karyawan sudah pulang. Hanya lantai eksekutif yang masih menyala, dan hanya satu ruangan yang masih terlihat terang—ruang kerja Devano Horison. Kirana menatap jam di tangannya. Jarum panjang sudah lewat angka dua belas. Sudah lewat setengah enam sore. Dengan kesal, ia menyilangkan tangan dan mendesah panjang. Dari tadi ia menunggu di ruang kerjanya sendiri—yang notabene hanya beberapa langkah dari ruang kerja Devano—namun tak kunjung dipanggil, diajak pulang, atau bahkan dikabari. Padahal pagi tadi... Kirana tersenyum getir. Pagi tadi Devano bahkan mencubit dagunya mesra sambil membisikkan godaan kecil saat mereka berdua sarapan. Lelaki itu sempat berkata, “Pulang kantor nanti kita makan malam berdua, ya.” Dan sekarang? Lelaki itu bahkan tak keluar dari ruangannya sedikit pun. Kirana tahu betul Devano sedang bekerja—rapat daring dan laporan perusahaan baru yang harus ditinjau. Tapi tetap saja... Devano itu suaminya. Dan Kirana tidak suka diabaikan seperti ini. Dengan langkah cepat dan nada hak tinggi yang berdetak tajam, Kirana membuka pintu ruang kerja Devano tanpa mengetuk. Ia menemukan suaminya duduk di balik meja dengan laptop terbuka dan puluhan dokumen berserakan di hadapannya. “Devano,” suara Kirana terdengar jengkel. “Sudah malam. Kamu lupa janji kita?” Devano mengangkat kepalanya sekilas. Wajahnya tampak lelah. Matanya merah, dan rambutnya berantakan karena sering disentuh. Ia menatap Kirana sejenak, lalu kembali pada layar laptop. “Aku sibuk. Kamu pulang duluan sana.” Kirana terdiam. Dadanya sesak. Ia menutup pintu perlahan dan melangkah mendekat, berharap suaminya sedikit melunak. Namun Devano tak mengangkat kepala, jari-jarinya masih menari di atas keyboard. “Kita janjian makan malam, Devano... kamu yang bilang tadi pagi.” “Aku bilang kalau sempat,” jawab Devano singkat, kali ini suaranya sedikit keras. “Dan sekarang aku nggak sempat. Jangan ganggu dulu. Banyak yang harus aku selesaikan.” Kirana membeku. Lidahnya kelu. Ia menatap pria yang pagi tadi mencium dahinya lembut, kini mendecak dan mengusirnya seperti asisten pribadi yang mengganggu kerja. “Jangan bersikap seperti aku ini pengganggu,” ucap Kirana akhirnya, pelan, tapi tajam. “Aku ini istrimu. Aku berhak menuntut sedikit waktu.” Devano mengangkat kepalanya lagi. Napasnya terdengar berat. “Kalau kamu mau marah atau ngambek, simpan dulu. Aku benar-benar sedang nggak bisa diganggu, Kirana. Jangan bersikap kekanak-kanakan.” Kirana membelalak. “Kekanak-kanakan?” Devano hanya menghela napas dan kembali pada pekerjaannya. “Tutup pintunya waktu keluar.” Sekian detik hening. Kirana menatap pria itu lama... dan hatinya remuk. Ada sesuatu di d**a yang mencubit. Ia menggigit bibir, menahan air mata yang hampir tumpah. Tanpa suara, ia memutar tubuhnya, melangkah keluar ruangan dengan kepala tegak meski jantungnya menjerit. Ia tak membanting pintu. Ia menutupnya perlahan. Tapi suara *klik* di baliknya terasa seperti ledakan keras yang mengakhiri harapan kecilnya malam ini. --- Tangga darurat di ujung lorong jadi tempat pelarian Kirana. Ia bersandar di dinding dingin, menatap tangga logam di bawah, dan akhirnya membiarkan air matanya jatuh. “Kenapa... harus seperti ini...” bisiknya pelan. Kirana mengingat semuanya. Perjuangannya menjadi istri dari pria yang keras kepala seperti Devano. Fitnah dari karyawan kantor. Tatapan sinis orang-orang. Tapi yang paling menyakitkan bukan itu semua—melainkan ketika suaminya sendiri, yang biasanya hangat dan lembut hanya padanya, kini menjelma dingin dan mengusir seperti tak mengenal siapa dirinya. Ia menghapus air matanya cepat-cepat. Tidak. Ia tidak boleh terlihat lemah. Dia adalah Kirana Aryasatya. Istri sah dari CEO perusahaan ini. Namun, luka di hatinya malam itu tak bisa disangkal. --- Dua jam kemudian... Lampu ruang kerja Devano masih menyala. Tapi laptopnya sudah tertutup. Ia bersandar di kursi, memijat pelipisnya dengan letih. Perutnya kosong. Suasana kantor sudah benar-benar sepi. Hanya suara angin malam yang terdengar dari balik jendela tinggi. Ia baru menyadari—Kirana tidak mengirim pesan. Tidak menelpon. Tidak juga mengucapkan selamat malam. Biasanya, Kirana akan tetap merecoki dengan nada cerewet tapi lucu. Tapi kali ini... tidak. Dan itu membuat Devano resah. Ia mengambil ponsel, membuka percakapan terakhir mereka, dan hanya melihat pesan: “Aku sudah tunggu kamu dari jam lima. Tapi kalau kamu lebih memilih pekerjaanmu... ya sudah. Aku pulang sendiri.” Tak ada emoji. Tak ada canda. Hanya teks datar. Tapi Devano tahu—itu bukan sekadar pesan. Itu adalah rasa kecewa yang ditulis dalam kalimat singkat. --- Sampai di rumah, Devano membuka pintu kamar dengan cepat. Kirana sudah tidur... atau berpura-pura tidur. Wajahnya menghadap tembok. Lampu kamar sudah dimatikan. Suasana sangat hening. Devano mendekat. Duduk di sisi ranjang. Menatap punggung wanita yang telah menjadi separuh hidupnya. “Kirana,” panggilnya pelan. Tak ada jawaban. Devano menghela napas. Ia tahu wanita itu belum benar-benar tidur. Tapi ia tidak bisa memaksa Kirana untuk bicara sekarang. Ia hanya membungkuk, mengecup pelan pundak istrinya, lalu berbisik, “Maaf... Aku terlalu keras hari ini.” Masih tak ada balasan. Tapi saat ia hendak berdiri, tangan Kirana yang semula memeluk bantal tiba-tiba bergerak—dan menggenggam jari-jari Devano dengan kuat. Devano terdiam. Lalu tersenyum lirih. Kenapa dia sekarang merasa bersalah pada istri kontraknya ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN