Pantai

801 Kata
Langit hari itu begitu cerah, seakan tahu bahwa akan ada dua insan yang ingin melarikan diri sejenak dari rutinitas yang padat dan menyesakkan. Udara pagi mengalun lembut, menyejukkan kulit, membelai rambut Kirana yang digerai bebas hari ini. Ia duduk di kursi penumpang, memandang ke arah Devano yang sedang menyetir dengan ekspresi penuh fokus tapi tenang—tidak seperti biasanya yang selalu tampak dingin dan serius. “Kita beneran mau ke pantai?” tanya Kirana sambil menyipitkan mata ke arah papan penunjuk jalan. Devano hanya melirik sekilas dan tersenyum tipis—senyuman langka yang hanya muncul di wajahnya saat bersama Kirana. “Katanya mau lihat matahari terbenam? Ya, kita ke pantai.” Kirana terdiam sejenak, jantungnya seperti meledak kecil di dalam d**a. Bahkan ia lupa cara berkedip beberapa detik. Lelaki itu... betulan menurut. Devano Horison, si CEO dingin yang gila kerja, benar-benar meluangkan waktu hanya untuk menuruti keinginannya hari ini. Tanpa rapat. Tanpa laptop. Tanpa berlembar-lembar dokumen. “Hari ini kamu baik banget... jangan-jangan kamu udah gila,” ujar Kirana, menggoda dengan tawa pelan. “Aku memang gila. Gila karena nikahin kamu,” balas Devano santai, membuat Kirana terbatuk pelan karena tak menyangka akan dibalas seperti itu. Pipi wanita itu langsung merona. Perjalanan menuju pantai memakan waktu dua jam, dan selama itu, keduanya menghabiskan waktu dengan mengobrol tentang hal-hal ringan. Kirana bercerita tentang makanan kesukaannya waktu kecil, tentang mimpi kecilnya yang dulu ingin menjadi penari, tentang betapa ia pernah takut akan dicampakkan oleh Devano karena tidak berasal dari keluarga kaya. Devano mendengarkan semuanya dengan tenang, sesekali mengangguk atau memberi komentar yang membuat Kirana tertawa. --- Sesampainya di pantai, Kirana langsung melonjak turun dari mobil dan membuka sandalnya. Pasir yang hangat menyentuh kakinya, sementara angin pantai menyapu wajah dan rambutnya. Ia menengadah, memejamkan mata, dan menghirup dalam-dalam aroma asin laut yang khas. “Segarnya...” gumamnya. Devano berjalan pelan di belakangnya, lalu ikut melepas sepatunya. Saat Kirana berlari ke tepi air, Devano hanya menatapnya dari jauh dengan tatapan yang berbeda—hangat dan dalam. Kirana menoleh ke belakang dan berteriak, “Hei! Kenapa kamu diem aja di sana? Sini main air!” Devano mengangkat alis. “Aku nggak main air!” “Bohong! Masa kecil kamu pasti suram!” teriak Kirana lagi, lalu sengaja mencipratkan air ke arah Devano. Cipratan air itu sukses membuat Devano basah sebagian, dan Kirana tertawa keras. Namun tawa itu mendadak berhenti saat Devano menyingsingkan lengan bajunya dan berjalan cepat ke arah Kirana. “Dev... Devano! Jangan kejar aku!” teriak Kirana panik tapi geli. “Aku udah bilang jangan ganggu. Sekarang terima akibatnya!” Kirana berlari di sepanjang garis pantai sambil tertawa. Ombak kecil berdesir menyentuh kaki mereka, dan langit mulai berubah jingga keemasan. Devano akhirnya berhasil menangkap Kirana dan memeluk pinggang istrinya dari belakang, membuat Kirana menjerit tertahan dan keduanya tertawa. Mereka jatuh berdua ke pasir, tertawa terbahak-bahak, nafas terengah karena kelelahan. Kirana menatap langit yang mulai memerah, lalu menoleh ke Devano yang kini berbaring di sebelahnya, menatapnya balik. “Aku nggak nyangka kamu bakal ngajak aku ke sini,” bisik Kirana. Devano menjulurkan tangan, mengusap pelan rambut Kirana yang tertiup angin. “Aku terlalu sering nyakitin kamu belakangan ini. Mungkin nggak bisa langsung ditebus... tapi aku pengin mulai dari hal kecil.” Kirana menggigit bibir bawahnya, matanya sedikit berkaca. “Hari ini... sempurna,” bisiknya. Devano tersenyum. “Belum.” “Hah?” Kirana mengerutkan dahi. Tiba-tiba, Devano meraih Kirana ke pelukannya. Ia duduk dengan Kirana di antara kakinya, dipeluk dari belakang sambil menunjuk ke arah cakrawala. “Tunggu sebentar lagi. Mataharinya sebentar lagi tenggelam.” Dan benar saja, detik berikutnya matahari mulai menyentuh garis laut, menciptakan semburat warna oranye, merah, dan ungu di langit. Kilau cahaya itu memantul di air laut dan membuat pemandangan terasa seperti mimpi. “Indah banget...” gumam Kirana pelan. “Iya,” jawab Devano. Tapi matanya bukan ke langit. Ia menatap Kirana. Kirana menyadari itu, dan pipinya kembali merona. Ia menunduk, menyandarkan kepala di d**a Devano. “Kamu lihat langitnya dong... jangan aku terus yang kamu lihat.” “Aku cuma lihat hal yang paling indah sore ini.” Hening. Tapi hening yang menyenangkan. Mereka berdiam seperti itu cukup lama. Menikmati keheningan, deburan ombak, aroma asin laut, dan detak jantung masing-masing. Hanya ada mereka berdua. Tak ada dokumen. Tak ada karyawan yang menggunjing. Tak ada laptop. Tak ada deadline. Dan saat matahari benar-benar tenggelam, Kirana berbalik menghadap Devano. Di bawah cahaya yang memudar, dia menatap pria itu dan berbisik: “Janji ya, jangan jadi gila kerja lagi. Sesekali... gila karena aku aja.” Devano terkekeh pelan, lalu mengusap pelan bibir Kirana dengan ibu jarinya. “Gila karena kamu,” bisiknya. “Udah jadi kebiasaanku sejak kita nikah.” Dan mereka pun berciuman—dalam, lembut, tanpa tergesa. Ciuman yang membuat Devano semakin berpikir apakah dirinya memang tertarik pada Kirana sekarang?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN