Pantai sudah mulai sepi. Langit yang tadi dihiasi semburat senja kini berubah gelap kebiruan, hanya tersisa cahaya remang dari bintang-bintang yang mulai muncul satu per satu. Angin laut bertiup lembut, membawa aroma asin yang khas, tetapi suasana damai itu mendadak berubah menjadi agak… aneh.
“Devanooo...” suara Kirana mendayu aneh, memanjang seperti mantra.
Devano yang sedang duduk santai di atas tikar piknik mendadak merinding. Ia menoleh perlahan. Kirana berdiri membelakanginya, membungkuk sedikit sambil tersenyum sangat… lebar. Terlalu lebar. Senyuman yang bahkan lebih cocok berada dalam film horor daripada suasana romantis.
“Mau aku cium, nggak?” Kirana mendekat pelan, melangkah seperti penari tradisional, sambil memutar tubuhnya, membuat rok panjangnya berkibar. Tapi yang paling mencolok? Lipstik merah menyala yang baru saja dia pulaskan entah dari mana.
Devano langsung menegakkan badan, alisnya naik tinggi, bahkan ia sedikit mundur. “Eh, eh, tunggu. Dari mana kamu dapet lipstick itu?”
Kirana tidak menjawab. Dia hanya menatap Devano dengan senyuman psikopat penuh semangat, tangannya terulur ke depan seperti zombie yang sedang mengejar korbannya. “Sini… sayang… satu ciuman aja…”
“Kirana… kamu kenapa sih?” tanya Devano dengan nada takut-takut. “Ini bukan waktunya cosplay jadi hantu cantik, ya.”
Kirana justru terkikik pelan. “Kamu tadi bilang aku paling indah, kan? Nih! Aku percantik lagi! Sekarang kamu mau cium aku, nggak?”
Devano langsung berdiri, mengangkat tangan seolah menyerah pada takdir. “Aku takut. Beneran. Kirana, jangan deket-deket! Kamu kayak orang kerasukan!”
“CIUM AKU!” teriak Kirana tiba-tiba sambil lompat maju dan membuat Devano hampir jatuh.
“OH TIDAAK!!”
Devano berlari ke arah mobil. Kirana mengejarnya dengan sandal yang hampir lepas satu. Langkahnya cepat, rambutnya tergerai liar tertiup angin. Suara tawanya terdengar di antara desir ombak malam.
“Devanooo! Jangan lari! Kamu milikku!”
“Aku bukan manusia! Aku robot! Aku nggak ngerti cinta!” jawab Devano asal sambil membuka pintu mobil dan nyaris masuk.
Namun Kirana berhasil memeluk punggung suaminya sebelum dia kabur. “Kena kamu!!”
Devano mengerang. “Ya ampun, Kirana... Kamu bener-bener ngagetin. Aku pikir kamu kerasukan makhluk laut!”
Kirana tertawa geli, lalu menurunkan suaranya, kali ini lembut, penuh kasih. “Aku cuma mau kamu senang. Maaf ya kalau aku lebay barusan.”
Devano terdiam sejenak. Ia menoleh pelan ke arah Kirana yang kini duduk di jok penumpang, memandangi langit malam. Senyum lebarnya kini berubah menjadi senyum yang lebih tenang. Masih ada bekas lipstik merah di bibirnya, tapi ekspresinya kini tidak lagi menyeramkan. Justru menggemaskan.
“Kamu nggak perlu jadi aneh buat bikin aku senang, Kirana,” ucap Devano lirih. “Kamu jadi dirimu aja, aku udah cukup kewalahan.”
Kirana cemberut. “Ih, maksudnya apa tuh? Aku nyusahin?”
“Enggak.” Devano tertawa kecil, lalu mendekatkan wajahnya. “Kamu cuma... terlalu penuh kejutan.”
Kirana memutar bola matanya, tapi sebelum bisa membalas, Devano tiba-tiba mencium keningnya. Lembut. Hangat. Dan Kirana mendadak lupa bahwa ia sedang pakai lipstick merah norak yang sudah agak belepotan.
“Ayo pulang,” ujar Devano. “Kita mandi, terus kamu bisa pakai lipstick warna normal kalau mau ciuman.”
Kirana menampar lengan Devano pelan. “Kurang ajar!”
Devano nyengir, menggenggam tangan istrinya, lalu menyalakan mesin mobil. Dan saat mobil melaju kembali ke arah kota, Kirana bersandar di bahu suaminya, masih dengan senyum puas, walau lipstiknya sudah tidak jelas bentuknya.
***
Di depan pintu rumah, udara malam masih terasa hangat, menyisakan hembusan angin pantai yang terbawa sampai ke halaman. Devano membuka pintu sambil menguap lebar, bahunya terangkat malas, matanya menyipit karena kantuk yang begitu menyerang setelah hari panjang yang benar-benar melelahkan.
“Ngantuk banget… beneran…,” gumamnya sambil melepas jas dan melemparkannya ke sandaran sofa tanpa peduli.
Kirana berjalan pelan di belakangnya, menutup pintu dengan perlahan dan memeluk dirinya sendiri, masih mengenang betapa menyenangkannya sore di pantai tadi. Namun wajahnya langsung berubah menjadi cemberut ketika melihat Devano malah berjalan langsung ke arah tangga menuju kamar.
“Eh, Devano!” panggil Kirana sambil berdiri dengan tangan di pinggang, mata menatap suaminya yang setengah berjalan setengah terseret menuju lantai atas. “Kamu belum lakuin satu hal penting.”
Devano menghentikan langkahnya. Ia menoleh pelan, dengan mata setengah tertutup. “Hah? Apa lagi sih, Kirana?”
Kirana menyilangkan tangan di d**a, bibirnya sedikit manyun. “Cium aku dulu. Baru boleh tidur.”
Suasana hening sejenak.
Devano menatap istrinya seperti tak percaya dengan permintaan itu. Dia mengangkat sebelah alis, mengerjapkan mata beberapa kali, dan akhirnya menghela napas. Lalu—tanpa mempedulikan keromantisan apa pun—ia mendecak pelan, agak kasar.
“Tch… Kirana… aku capek banget, ya Tuhan…”
Nada suaranya tidak meninggi, tapi terdengar jengkel. Lelaki itu benar-benar kelelahan, dan tak ada tenaga lagi untuk menghadapi drama manja istrinya yang datang tanpa aba-aba.
Kirana membeku di tempat. Senyumnya memudar pelan. Sorot matanya menajam, tersinggung, lalu bergetar, seolah tidak menyangka bahwa permintaan kecilnya akan ditanggapi seperti itu.
Dia melipat lengan, berdiri tegak seperti patung, lalu bergumam—pelan tapi tajam.
“Oh. Jadi sekarang cium istri sendiri itu merepotkan, ya?”
Devano menyandarkan tubuhnya di dinding, memejamkan mata. “Kirana… aku nggak bilang gitu. Aku cuma beneran capek…”
“Capek? Tapi kamu sempat bawa aku ke pantai, sempat bercanda, sempat belanja, sempat foto-foto. Tapi sekarang... cium aku aja susah?”
“Kirana, aku manusia. Aku punya batas juga,” Devano menjawab, kali ini suaranya mulai dingin. “Nggak bisa semua keinginan kamu harus diturutin setiap waktu. Aku capek banget hari ini. Kamu tahu itu.”
Kirana menggertakkan giginya. Hatinya ngilu.
Bibirnya bergetar. Ia melangkah maju dan berdiri di anak tangga paling bawah. “Aku juga manusia, Devano. Aku juga punya perasaan. Cuma minta satu ciuman sebelum tidur. Apa itu terlalu berat buat kamu?”
Devano menghela napas panjang. Ia memejamkan mata, lalu turun dua langkah, berdiri sejajar dengan Kirana. Tatapan mereka bertemu dalam keheningan. Ada ketegangan, ada amarah yang tertahan, tapi juga ada keteduhan yang tidak mau mereka akui.
“Aku minta maaf,” bisik Devano akhirnya. “Aku... terlalu lelah sampai nggak peka. Maaf.”
Kirana menunduk. Matanya berkaca-kaca tapi tidak sampai menangis. Ia terlalu keras kepala untuk menangis di depan suaminya hanya karena hal sekecil ini.
Namun tiba-tiba, Devano memegang dagunya, mengangkat pelan wajah Kirana. Matanya menatap dalam.
“Dosa besar kalau aku tidur sebelum nyium istri secantik kamu, ya?” bisiknya lembut.
Kirana terdiam. Tidak menjawab. Tapi mata mereka berbicara banyak.
Lalu Devano menunduk dan mencium bibir Kirana dengan pelan. Lama. Tidak terburu-buru. Ciuman itu seolah menebus semua keluh, semua salah, semua kelelahan yang tertinggal.
Setelah melepaskannya, Devano menyandarkan dahinya ke kening Kirana. “Sekarang aku boleh tidur?”
Kirana tersenyum kecil. “Cium aku sekali lagi, baru boleh.”
Devano tertawa, lalu mengangkat Kirana dalam pelukannya. “Kalau gitu, kita tidur sambil berciuman aja.”
Kirana memekik kecil sambil tertawa di pelukannya. Devano membawanya naik ke kamar, dan malam itu meski lelah, dia tahu: cintanya pada Kirana... tak pernah jadi beban.
Dan Kirana tahu satu hal lagi. Dicintai suaminya bukan soal seberapa sering dia dicium—tapi bagaimana, meski lelah dan kesal, lelaki itu tetap pulang padanya. Selalu.