Rahel hanya bisa membeku di tempat sejak lima menit lalu, bahkan sekedar menelan makanannya saja ia tidak sanggup, keringat nampak mulai membasahi wajahnya yang elok itu.
"Kamu kenapa Hel? Kamu sakit?" Arthur menatapnya cemas, padahal tadi Rahel nampak sehat-sehat saja tapi kenapa mendadak seperti sangat tertekan begini.
Rahel terkesiap, mengerjap linglung sebelum akhirnya meringis kaku. "I-iya deh kayaknya, kita pulang sekarang aja ya." Alibinya jelas membual.
Arthur tersentak kaget, raut wajahnya seketika berubah cemas. "Astaga mau ke rumah sakit aja? Apa kamu masuk angin karena udara malam begini ya, salahku harusnya aku ajak kamu makan di tempat yang hangat." Gumamnya benar-benar merasa bersalah yang tentu saja membuat Rahel sangat tidak enak, tapi Rahel tidak punya pilihan lain masalahnya jika lebih lama lagi disini ia benar-benar seperti akan mati di tempat.
Selanjutnya Arthur beranjak menuju penjual untuk membayar makanannya sedangkan Rahel dengan terburu-buru merapikan tasnya dan segera keluar tenda warung itu, begitu sudah di luar ia langsung mengambil napas dalam-dalam sangat lega.
"Astaga kenapa dunia sempit sekali untung lelaki itu tidak melihatku." Gumamnya mengurut dadanya.
"Aku lihat kok."
Rahel seketika mencelat di tempat, ekspresi wajahnya langsung berubah horor seperti orang yang habis melihat setan. Di depannya seorang lelaki yang tadi habis ia bicarakan berdiri dengan tenangnya, Lucas menatap Rahel lamat-lamat entah untuk apa.
"Siapa ya? Kita kenal?" Rahel berlagak menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi dibuat bingung, tentu saja Lucas langsung mendecih geli.
"Segitu tidak inginnya hubungan kita terungkap, ah~ apa ini karena ada pacar kamu?" bisiknya mendekat kearah Rahel.
Rahel mendelik sesaat, sebelum dengan spontan mendorong mundur tubuh lelaki itu. "Aku udah transfer uang sesuai kesepakatan kita jadi kita sudah tidak ada hubungan apapun, kuharap kamu juga menepati janjimu!" desis Rahel dingin.
Lucas tersenyum miring, namun belum sempat membalas sebuah suara sudah menginstruksi mereka.
"Siapa Hel?" Arthur mendekat sambil meneteng jasnya.
Rahel mengerjap, tak lama melenggang melewati tubuh Lucas begitu saja. "Hanya orang yang membantu mengambilkan dompetku yang jatuh, ayo kita pulang." Ujarnya dengan penekanan seolah tidak ingin ditanya lagi.
Selanjutnya merekapun beranjak pergi dari sana, namun Arthur menyempatkan menatap wajah lelaki tadi yang ternyata kebetulan juga sedang menatapnya membuat mereka jadi saling berpandangan. Arthur menganggukkan kepalanya sopan dengan senyuman ramah untuk berpamitan sebelum masuk mobil dan pergi.
Membuat Lucas mendecih sinis di tempat, "cih masih tampan aku kemana-mana."
***
Rambut di cepol dengan balutan piyama tidur, kaki jenjangnya lurus menumpu laptop dengan layar 16 inci dan ruangan bernuansa monokrom yang simpel namun elegan. Rahel sudah persis wanita karir sukses.
"Hoam!" Rahel mengulet tubuh, menyingkirkan laptopnya sambil merenggangkan otot tubuhnya yang kaku, sesekali ia memijit pangkal hidungnya yang berdenyut. Kalau kalian berpikir menjadi investor itu mudah karena hanya menyetor uang lalu ongkang-ongkang menunggu hasil maka kalian salah besar, setiap jam bahkan setiap menit sangat berharga untuknya, ia harus melihat pasar saham dan mempertimbangkan matang-matang setiap keputusannya. Tentu saja jika ia salah berinvestasi ia akan rugi besar apalagi nominal uang yang ia setorkan bukan main-main.
Awal mula perjalanan karirnya dimulai tepat setelah perceraiannya lima tahun silam, ia hanya iseng main lotre dan entah dapat keberuntungan darimana ia menang, itulah uang pertama yang ia hasilkan. Awalnya ia ingin membuat bisnis atau usaha kecil-kecilan karena tidak punya pengalaman apapun sebelumnya, namun lucunya saat itu ia justru tidak sengaja melihat mantan suaminya yang tengah berbelanja di mall bersama selingkuhannya, tekad awalnya yang hanya ingin menjadi wanita karir biasa berubah detik itu juga. Ia bersumpah akan menggapai puncak sampai melampaui mantannya itu, dan entah keberuntungan darimana lagi ia yang nekat menyetorkan uangnya untuk investasi surplus besar, dan begitulah ia berkembang menjadi seorang investor profesional.
"Heh untuk apa aku tiba-tiba kepikiran lelaki b******n itu, kepalaku rasanya jadi kotor." Kekehnya sinis, bahkan dalam pikiranpun ia sangat jijik dengannya.
Drrrt ... drrrt ...
Atensinya teralih pada benda pipih di sebelahnya, Rahel mengambil handphonenya dan begitu melihat nomor si pemanggil seketika ekspresi wajahnya berubah suram.
"Buat apa dia menghubungiku!" ketusnya langsung merijek panggilan telepon lelaki yang pernah tidur semalam dengannya itu.
Drrrt ... drrrt ...
Namun nyatanya lelaki itu pantang menyerah, bahkan sampai lima kali masih berusaha mencoba menghubunginya yang tentu saja membuatnya sangat geram.
"Ada apasih kamu nelpon-nelpon aku?!" semprotnya langsung tanpa basa-basi.
"Wah akhirnya teleponku diangkat juga, aku pikir kamu akan memblokirku." Sebuah suara gembira terdengar membalas.
"Oh ide bagus, aku akan memblokirmu." Rahel sudah benar-benar akan memblokir nomor lelaki itu jika lelaki itu tidak menyahut cepat.
"Ayo kita bertemu!"
Rahel tertegun sejenak, tak lama menipiskan bibirnya sinis. "Apakah uang yang kuberikan padamu sudah habis? Kamu masih mau manfaatin aku lagi?" tembaknya sarkas.
Lucas menghela napas di seberang sana, "aku tidak akan meminta uang darimu lagi, tapi ayo kita bertemu ada yang ingin kubicarakan."
Rahel memutar bola mata malas, "Katakan sekarang, aku sibuk bukan pengangguran sepertimu."
"Kenapa kamu keras kepala sekali sih!" decak Lucas sebal, Rahel justru mendelik tak terima. "Yaudah aku katakan sekarang aja deh." Lanjutnya yang tentu saja membuat Rahel mulai penasaran.
Hanya terjadi jeda untuk beberapa saat sebelum akhirnya suara lelaki itu kembali terdengar olehnya.
"Aku akan bekerja untukmu."
"Hah?!"
"Itu ... sebenarnya saat aku meminta uang lima milyar aku tentu saja berpikir untuk balas budi, setidaknya aku bisa bekerja apapun tanpa dibayar, anggap saja impas."
"Woah~!" Rahel berdiri, tertawa tak menduga. "Tidak kusangka ternyata kamu masih punya rasa manusiawi juga ya?" soraknya dengan nada mengejek. "Tapi memangnya pekerjaan apa yang bisa kamu lakukan? Tukang kebun? Satpam? Tukang bersih-bersih? Kamu pikir bisa melunasi utangmu berapa lama!" sentaknya di akhir kalimat yang berhasil membuat Lucas kicep di tempat. "Sudahlah lupakan, toh aku tidak akan bangkrut hanya dengan uang segitu, kamu ambil saja uangnya anggap itu sedekah dariku."
"Aku sudah berniat baik kenapa balasanmu kasar sekali!"
Rahel seketika tertawa garing, "baik katamu? Tidak ada orang baik yang merampok uang lima milyar!"
Lucas di seberang sana meremat handphonenya keras, rahangnya bergemelatuk menahan emosi yang luar biasa, Rahelpun juga sama menatap handphonenya dengan tatapan tak bersahabat.
"Hal terbaik yang bisa kamu lakukan adalah dengan tidak menghubungiku lagi, kamu harus camkan ini baik-baik mulai sekarang kita TIDAK ADA HUBUNGAN apapun, ingat itu!"
TUT!
Lalu sambungan telepon dimatikan oleh Rahel, ia membuang napas cepat menghasilkan dengusan tak habis pikir, dengan wajah masih kesal ia meraup kasar wajahnya.
Hidupnya melelahkan sekali sih!
***
"Terimakasih untuk kesepakatannya, saya harap ini akan menjadi kerjasama yang menguntungkan."
"Iya sama-sama."
Lalu orang yang habis meneken kontrak di atas kertas itu pergi keluar ruangan diikuti tatapan datar Rahel, wanita yang memakai rok span selutut dipadukan blouse ivory itu kembali duduk ke tempatnya, namun entah kenapa raut wajahnya sedikit murung. Beberapa kali ia terlihat melirik ponselnya namun benda pipih berwarna hitam itu tidak menunjukkan tanda-tanda adanya notifikasi.
"Ya bagus dong dia gak ganggu aku lagi, sekarang hubunganku dengannya sudah benar-benar berakhir." Lalu tak lama ia tertawa sendiri meskipun sangat terlihat jika tawanya sangat dipaksakan.
Sejujurnya setelah berkata sejahat itu pada lelaki itu Rahel tidak bisa untuk tidak kepikiran, masalahnya ia jadi merasa seperti tokoh antagonis dalam cerita, apalagi ia merupakan orang yang hatinya tergolong lembut.
Drrrt ... drrrt ...
Rahel mencelat, seketika ia berubah bak kilat yang menyambar handphonenya, dengan tergesa ia melihat si penelepon dan harapannya pupus seketika.
"Bukan ... dia." Gumamnya.
***
"Lo kenapa?"
Lucas tersentak, tak lama menggeleng sebagai balasan, sejak beberapa jam lalu yang ia lakukan hanya menatap handphonenya tanpa tujuan jelas yang tentu saja membuat temannya itu kebingungan.
"Pumpung belum mulai matkul kedua yuk ngantin." Ajak Alif merangkul bahu Lucas namun langsung ditepis.
"Kagak mood gue lo aja sendiri."
"Eh tumben?!" Alif seketika melompat ke kursi di depan Lucas, menatap serius wajah Lucas seolah sedang memeriksanya bahkan sampai mengecek suhu tubuhnya. "Gak panas." Gumamnya yang langsung ditempeleng Lucas.
"Gue beneran lagi gak ada mood buat bercanda, mending lo pergi sana sebelum gue kunyah kepala lo!" desisnya emosi berat, udah galau maksimal ditambahi kelakuan abnormal temannya membuatnya benar-benar ingin mengamuk hari ini.
Alif seketika mundur menjaga jarak sambil bergidik ngeri, "dih ngeri amat lo, yaudah gue ke kantin ya, nanti gue beliin makanan buat lo."
"Gak perl—"
"Bye-bye!" seperti biasa tanpa menunggu persetujuannya temannya itu sudah melipir pergi begitu saja, ia hanya bisa mendengus pasrah di tempat, selanjutnya ia kembali menatap handphonenya dan melakukan hal yang sama seperti tadi, melamun.
"Ck! Bodo amat lah gue telepon lagi aja deh, kalo kali ini dia mau marah gue gak peduli!" decaknya mulai mendial nomor Rahel, ia sudah tidak memikirkan harga dirinya lagi, masalahnya ia benar-benar merasa berat hati jika membiarkan masalah ini berlalu begitu saja, gini-gini ia merupakan orang yang bertanggung jawab dan juga masalah 'kecelakaan' itu tidak akan terjadi ia ia mampu menolaknya, sejujurnya tidak munafik ini juga merupakan salahnya.
Pada deringan pertama tidak mendapat jawaban, tanpa sadar detak jantung Lucas sudah berpacu dua kali lipat dari biasanya, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja dengan tempo seirama dengan nada dering handphonenya.
Tit.
Lucas spontan menegakkan punggungnya dengan bola mata membulat utuh, menatap hampir tak percaya pada teleponnya yang diangkat. Wanita itu tidak memblokir nomornya!
Terjadi hening beberapa saat karena Lucas masih sibuk menata pikirannya yang sedang rancu, tanpa diduga orang di seberang justru menyapanya duluan.
"Halo?"
Lucas langsung membekap mulutnya dengan wajah merah padam, kenapa suara perempuan itu tiba-tiba lembut begini?!