Bab 8

1613 Kata
Menangis karena Romi bukanlah hal yang menyenangkan. Itu adalah hal termenyedihkan yang pernah kulakukan. Harusnya aku bisa kuat. Harusnya aku tak boleh menangis. Tapi apa dayaku, aku hanya seorang wanita yang penuh dengan goresan luka. Jika aku boleh memilih, aku akan dengan senang hati melupakan perbuatannya dan pergi begitu saja dari bayang-bayangnya. Tapi rasanya tak bisa. Melihatnya begitu bahagia semakin membuatku sakit. Semakin hari rasanya semakin sakit. Apa lagi ketika dia berlagak semuanya baik-baik saja dan menganggapku tak apa-apa, rasanya aku bisa meledak karena amarah. Aku hanya ingin dia merasakan apa yang kurasakan. Hanya itu. “Nggak harus kan, ngelihatin mereka terus?” tegur suara di sebelahku. Aku diam tak menjawabinya. Mataku masih mengarah pada pemandangan di balik jendela. Romi dan Liny. Ya, mereka berdualah yang kini tengah menjadi objek pandangku. Aku benar-benar membenci mereka. Tapi mengalihkan perhatian dari mereka saja aku tak mampu. Rasanya ingin sekali aku melihat kebahagiaan mereka runtuh. Aku ingin melihat mereka menderita. Apakah ini yang orang-orang sebut dengan haters? Orang yang bilangnya benci tapi tak bisa lepas dari orang yang dibencinya. Menyedihkan sekali. “Tadi pagi pas gue mau berangkat ke kampus, gue ketemu mereka berdua di halaman. Terus mereka berdua ngajakin dinner bareng berempat,” ucap Darryl yang membuatku menoleh ke arahnya. “Tapi gue nolak. Gue tau kalau lo nggak mau.” Aku mengangguk dan kembali menatap ke arah Romi dan Liny berada. Mereka berdua kini tengah bercanda dan tertawa. Sungguh kebahagiaan yang membuatku menderita. Aku tak menyukainya. “Nggak masalah kalau lo kemarin nangis. Gue tau lo masih sedih dan sakit hati karena Romi. Tapi mau sampai kapan, Shab?” “Sampai dia ngerasain apa yang gue rasain.” Kudengar helaan napas darinya. “Sebutin satu alasan kenapa lo benci banget sama Romi?” Aku menoleh ke arahnya dengan kening berkerut. “Apa perlu gue bilang lagi alasannya?” “Yap. Kenapa? Aku menghembuskan napas kasar sebelum menjawab pertanyaannya. Aku merasa Darryl semakin bodoh sehingga menanyakan hal yang sudah jelas ia tahu jawabannya. “Karena dia pergi begitu saja ninggalin gue terus tiba-tiba nikah sama orang lain.” “Yakin kalau itu alasannya?” “Iya. Apalagi?” Darryl tersenyum kecil ke arahku yang membuatku menatapnya bingung. “Karena dia telah ngebuat lo jatuh cinta. Sayangnya, cinta itu masih ada dan belum hilang. Sebab itu, lo benci sama dia.” Jatuh cinta? Darryl gila? “Sudah malam. Sana tidur, istirahat, mimpi indah,” ucapnya lagi seraya tersenyum ke arahku. Setelah itu, ia beranjak pergi menuju kamarnya, meninggalkanku sendirian di sini. Kembali kutatap ke arah jendela berada. Romi dan Liny masih berada di ruang tv mereka. Mereka terlihat sangat baik. Dan aku terlihat menyedihkan. Jadi menurut Darryl, alasan aku membenci Romi adalah karena dia telah membuatku jatuh cinta? Tapi jika dipikir-pikir, benar juga. Semuanya berawal dari cinta dan jika cinta itu tak pernah ada, aku yakin bahwa sekarang aku baik-baik saja. Hatiku akan utuh dan luka itu tak pernah ada. Tapi bukankah Darryl juga mengatakan bahwa cinta yang kupunya untuk Romi masih ada? Apa mungkin cinta itu masih ada? Namun, yang kurasakan setiap melihat Romi adalah sebuah amarah. Jantungku berdetak kencang pun karena marah. Ini sama sekali bukan cinta. Karena aku masih ingat bagaimana perasaan aneh yang mereka sebut cinta itu timbul jika orang yang kita cintai berada di dekat kita. Dulu jantungku memang berdetak kencang, tapi detakannya menyenangkan. Detakan itu membuat perutku geli seperti tergelitik. Rasanya aneh tapi sungguh indah. Aku merindukan perasaan aneh itu. Karena perasaan itu membuatku bahagia, bukan sengsara seperti ini. Bagaimana bisa Darryl mengatakan bahwa aku masih mencintai Romi? *** Sekarang, aku akan berjanji kepada diriku sendiri untuk tidak menangis lagi karena Romi. Sesakit apa pun, aku tak akan menangis lagi. Jika nanti tiba-tiba aku ingin menangis, akan kutarik napas sedalam-dalamnya. Jika perlu akan kulakukan hal itu berulang-ulang kali agar air mataku tidak mengalir. Aku tak ingin menjadi lemah. Apalagi jika kelemahanku ini tercipta karena Romi. Aku tak akan sudi. Harusnya perbuatannya membuatku semakin kuat. Ya, lebih kuat. “Apa kalian tahu, mobil Romi habis diisengi orang tadi pagi,” ucap Papa kepadaku dan Darryl. Kini kami bertiga tengah berkumpul di ruang tengah sembari menonton acara televisi. Sore ini Papa dan Darryl tidak ada kegiatan, sehingga kami bertiga bisa berkumpul seperti ini. “Diisengi gimana, Om?” tanya Darryl seraya menoleh ke arah Papa yang berada di sebelahnya. “Tadi pagi ada yang melempari mobil Romi pakai lumpur sampai kotor banget. Nggak tahu deh, siapa yang ngelakuin. Kamu hati-hati ya, Ryl. Motor kamu mendingan langsung masukin garasi saja. Takutnya ada iseng juga sama kamu,” ucap Papa kepada Darryl. Aku masih diam, tak berminat untuk mengikuti obrolan tersebut. “Iya, Om.” Darryl kini melirikku tajam. Aku pura-pura menguap ketika melihat lirikannya tersebut. Lirikannya menyeramkan. Segera aku bangkit dari posisi dudukku, berniat untuk pergi ke kamarku. “Mau ke mana, Shab?” tanya Papa yang membuatku menoleh ke arah beliau. “Mau ngambil laundry, Pa,” jawabku seraya tersenyum lebar. “Tapi sebelumnya mau ke kamar dulu.” Kemudian dengan cepat aku berjalan menuju tangga berada. Sebenarnya aku ingin lari dari Darryl. Aku belum siap dikasih ceramah panjang lebar di hadapan Papa. Parahnya kalau dia sampai bilang kalau aku lah pelaku pelemparan lumpur pada mobil Romi. Bisa dimarahi habis-habisan sama Papa. Lagian, Papa tidak tahu apa-apa tentang hubunganku dan Romi. Ya, tadi pagi-pagi sekali, kulihat mobil Romi terparkir di halaman rumahnya. Melihat mobilnya saja sudah membuatku kesal. Jadinya ya begitulah. “Hei, lo gila?” terdengar suara Darryl dari arah belakangku. “Nggak ada kata lain apa, buat ngatain gue?” “Kenapa lo ngelemparin lumpur ke mobil Romi?” “Kenapa lo suka nanya pertanyaan yang lo sendiri tau jawabannya?” tanyaku malas. Darryl selalu saja begitu. Selalu pusing dengan yang kulakukan. Darryl hanya mendesah dalam, terlihat lelah dengan kelakuanku. *** Kalau dipikir-pikir, sepertinya aku adalah pemeran antagonis dalam sebuah cerita. Memiliki sifat jahat yang hanya ingin merusak kebahagiaan orang lain. Terus ujung-ujungnya kena azab. Tapi, yang jahat itu kan Romi. Aku hanya menjadi pihak yang tersakiti. Jadi, mungkin aku bukan benar-benar pemeran antagonis. Aku hanya pemeran protagonis yang tengah tersesat saja. Ah, siapa peduli antagonis ataupun protagonis. Ini hidup juga hidupku. Mau aku jahat atau baik juga terserah kepadaku. Lagian, aku jahatnya juga sama orang yang sudah jahat kepadaku. Jadi kurasa, tak masalah. Masih kukayuh sepedaku menuju tempat laundry berada. Untung sore ini terlihat sangat indah. Langitnya berwarna orange dengan awan putih tersebar di sana. Segera kuhentikan laju sepedaku ketika kulihat sebuah mobil berhenti di pinggiran jalan. Dan aku sangat yakin betul bahwa mobil itu adalah mobil Romi. Ya, sudah beberapa kali aku menganiaya mobilnya, jadi aku sangat yakin jika itu adalah mobil Romi yang tadi pagi berlumuran lumpur. Kuamati mobil tersebut baik-baik. Kini sang pemilik mobil tengah membuka pintu mobilnya dan keluar dari dalam mobil. Segera ia menoleh ke kanan dan kiri, seolah ingin menyebrang. Dan akhirnya terbersitlah ide untuk menabraknya dengan sepedaku. Terimalah pembalasan dariku! Kembali kukayuh sepedaku dengan sekuat tenaga. Semakin kencang, tabrakan akan semakin dahsyat. Aku berharap dia akan guling-guling di jalanan sampai babak belur. Kini kulihat Romi berhenti di tengah jalan. Kemudian ia menunduk seolah ingin mengambil sesuatu. Ketika jarak semakin menipis, barulah kutahu bahwa ada anak kucing di genggaman Romi. Ia tengah mengambil anak kucing yang sedang tersesat di tengah jalan. Kontan aku langsung membelokkan sepedaku ke samping kiri. Belum sempat aku mengeremnya, kini sepedaku sudah menabrak pohon di pinggiran jalan. Akhirnya, akulah yang terluka karena insiden sepeda ini. Astaga, harusnya Romi! “Bee,” kudengar Romi memanggil namaku. “Kamu nggak kenapa-napa?” tanyanya seraya mendekat ke arahku dan membantuku menyingkirkan sepeda yang menindih tubuhku. Badanku rasanya sakit sekali karena terbentur tanah dan tertindih sepeda. “Astaga, kamu kenapa bisa nabrak begini?” tanyanya lagi memandangku prihatin. “Berisik lo!” semprotku kesal. Harusnya dia yang kesakitan karena ketabrak, bukannya aku! Bagaimana bisa begini? “Lututmu berdarah,” ucapnya lagi seraya melihat ke arah lutut sebelah kiriku. “Gue nggak kenapa-napa.” “Diem dulu sebentar, aku ambilin kotak obat di mobil.” “Apaan sih, nggak usah sok peduli sama gue. Gue nggak butuh!” Aku memandangnya marah. Dia pun memandangku dengan ekpresi yang sama. “Bee,” ucapnya tegas. “Berhenti bersikap kayak anak kecil!” “Anak kecil?” tanyaku tak percaya. “Iya, anak kecil. Ngempesin ban mobilku, mau ngerebut taksi pesananku, terus ngelemparin mobilku pakai lumpur, itu semua tindakan anak kecil.” Dan mau nabrak dia pakai sepeda. Ya, memang terdengar seperti anak kecil. Tapi ini semua juga karena dirinya. Apa pun yang membuatku seperti ini juga semuanya karena dirinya. Jadi dia yang salah, bukan aku. “Kehadiranmu sudah sangat menghukumku. Setiap aku ngelihat kamu, rasa bersalahku semakin besar, Bee,” ucapnya terdengar sungguh-sungguh. “Aku pun benci sama perbuatanku ke kamu.” Pandangan Romi melembut. Bahkan kulihat raut penyesalan di wajahnya. Oh Tuhan, aku tak ingin mempercayai apa yang kulihat. Aku tak boleh luluh dengan tatapannya. “Terus kenapa lo ninggalin gue tanpa kejelasan?” tanyaku lirih. “Karena aku kira, dulu aku bisa balik lagi ke kamu.” Deg ... Deg ... Deg ... Tarik napas, hembuskan. Kenapa aku jadi ingin menangis? “Meaw ....” Aku menoleh ke arah kucing kecil berwarna putih hitam yang kini berada di sebelah Romi. Itu adalah kucing yang berada di tengah jalan tadi. “Dia mau kubawa pulang. Kasihan berkeliaran di jalan nggak ada yang rawat,” ucap Romi mengelus kucing kecil tersebut. Aku tersenyum kecil memandang kucing kecil yang terlihat lucu itu. “Aku ambilkan kotak obat dulu.” Dengan begitu, Romi pergi meninggalkanku menuju mobilnya yang terparkir di seberang jalan. Kenapa Romi selalu membuat perasaanku teraduk-aduk tidak keruan begini, sih? Aku benar-benar membencinya! Aw, badanku sakit.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN