Aku masih membenci Romi. Sangat membencinya. Tapi ada bagian dari diriku yang tak mempermasalahkan Romi lagi. Dan aku tak menyukainya, karena aku ingin membencinya seratus persen. Aku tak ingin ada bagian dari diriku yang mengabaikan rasa benciku ini.
“Kaki lo kenapa?” Suara Darryl terdengar dari arah kananku. Aku menoleh ke arah tersebut dan kudapati ia tengah berdiri di sana dengan segelas kopi di tangannya.
“Jatuh dari sepeda,” jawabku malas seraya memijit pelan lututku yang terbalut perban. Sebenarnya luka di lututku tak separah yang terlihat.
“Lo lagi latihan naik sepeda? Sampai jatuh begini?”
Darryl berjalan ke arah sofa dan berniat untuk duduk di sini bersamaku. Ia melihat kakiku yang berselonjor di sofa dan memberiku isyarat untuk menyingkirkannya. Dengan hati-hati aku menurunkan kakiku yang masih terasa nyeri. Aku meringis kesakitan yang membuat Darryl menahan kakiku. Segera ia meletakan cangkir kopi yang ia pegang di meja sebelahnya dan setelah itu, ia duduk di sofa dengan kakiku di pangkuannya.
“Parah banget emang, ya? Sampai diperban kayak gini?” tanyanya memandang kakiku prihatin.
“Romi aja yang lebay,” jawabku kesal.
“Romi?”
“Dia yang nolongin.”
“Oh,” ucapnya singkat sambil mengangguk-anggukkan kepala, tertarik.
“Awalnya gue mau nabrak dia pakai sepeda,” kataku yang membuatnya memandangku tak percaya. “Kan gue masih kesel sama dia.”
“Astaga, Shaby. Berhenti ngelakuin hal-hal bodoh dan konyol seperti itu.”
Aku mengangkat kedua bahuku cuek. Lagian, semua yang kulakukan terhadap Romi juga terjadi begitu saja. Aku tak pernah merencanakan melakukan hal-hal bodoh seperti yang pernah kulakukan. Semua itu adalah tindakan spontan.
“Ryl,” panggilku lirih yang membuatnya memandangku dengan kening yang berkerut. “Bagaimana lo ngadepin semua ini?”
Darryl seperti seorang professional dalam hal sakit hati. Dia terlihat dapat menangani semuanya dengan mudah. Merelakan orang yang dicintai untuk orang lain bukanlah hal mudah. Melihat orang yang dicintai lebih bahagia dengan orang lain juga bukanlah hal yang menyenangkan. Dan move on, itu adalah bagian tersulit dari semuanya. Tapi kulihat, Darryl dapat melakukan semuanya dengan baik.
“Gue sama Liny putusnya baik-baik,” ucapnya menampakkan senyum kecil penuh kebanggaan. “Jadi ya udah. Intinya sih, ikhlas. Dan gue harap lo juga bisa ngelakuin hal yang sama.”
Ikhlas? Bagaimana caranya?
“Coba omongin semuanya baik-baik sama Romi. Tanya kenapa dia ninggalin lo, ken—”
“Dijodohin, dia udah bilang.”
“Tapi apa dia bilang kenapa mau dijodohin? Kenapa dulu ninggalin lo begitu saja? Kenapa ngebuat lo nunggu?” tanyanya yang membuatku menggeleng lemah. “Tanya sama dia, Shab. Selesain masalah lo sama Romi. Omongin baik-baik. Gue yakin setelah semua pertanyaan lo terjawab, lo bakal lebih baik.”
“Gue takut,” ucapku lirih.
“Takut?”
“Gue takut semua alasan dia masuk akal.”
“Bagus dong,” ucapnya bingung sendiri.
“Gue takut kalau nggak ada alasan lagi buat gue benci sama dia, Ryl. Dan gue takut berakhir di lubang yang sama. Gue takut jatuh cinta lagi sama dia. Gue takut. Gue nggak mau.”
Darryl terlihat ingin mengucapkan sesuatu tapi mulutnya kembali menutup. Ia hanya memandangku tanpa berucap satu kata pun.
Kubuang pandanganku ke arah jendela berada. Di seberang sana, terlihat Liny tengah duduk sendirian di sofa seraya memegang sebuah majalah. Sejak tadi dia sibuk dengan majalah tersebut. Tak sekalipun kulihat ia beranjak dari tempat duduknya. Sepertinya, majalah adalah salah satu kesenangannya.
“Kok bisa sih, dia ninggalin lo?” tanyaku masih memandang sosok Liny di seberang sana.
“Apa?”
“Meskipun lo nyebelin, tapi lo beneran baik. Lo juga cakep. Lo penyabar, terus dewasa. Pengertian juga. Kenapa bisa dia ninggalin lo?” Aku menoleh ke arah Darryl yang kini mengernyit bingung. “Gue nggak percaya jika masalahnya hanya sebatas lo terlalu sibuk.”
“Lo muji gue? Wow.” Darryl setengah tak percaya mengucapkan hal tersebut.
“Gue nggak muji. Gue cuma ngomong sejujurnya,” ucapku tertawa kecil.
Tapi memang benar kan, Darryl seperti yang kusebutkan. Dia seperti pangeran dari negeri dongeng. Tampan, baik, bijaksana, dewasa, pengertian dan terkadang juga lucu. Ya walaupun menyebalkan, tapi dia benar-benar baik. Rasanya sangat sayang jika cowok sebaik dia dibuang begitu saja.
“Gue juga bingung, padahal gue idaman setiap wanita banget. Tapi dia malah ninggalin gue,” ujarnya dengan nada sombong.
“Dih, gue nyesel ngomong kayak gitu tadi,” cibirku yang membuatnya tertawa.
“Idaman setiap wanita.” Darryl menyombongkan diri yang membuatku pura-pura muntah. Hal ini malah membuatnya semakin terbahak.
Darryl adalah pribadi yang menyenangkan. Aku masih tidak tahu kenapa Liny bisa meninggalkannya dan memilih untuk bersama Romi.
Romi sendiri sebenarnya juga mempunyai sifat seperti Darryl. Dia cuma minus humoris dan plus romantis. Terlepas dari rasa benciku kepada Romi, aku masih menganggapnya cowok yang dewasa dan juga baik. Tidak, dia tidak baik, dia meninggalkanku. Jadi, menurutku Darryl lebih—super lebih—dari Romi. Ya, itu baru benar.
“Hei,” panggil Darryl yang membuatku mengernyit. “Kelarin masalah lo sama Romi. Setelah itu move on. Tujuan lo pindah ke sini kan buat move on. Jadi, ada maupun nggak ada Romi di sekitar lo, seharusnya lo tetap move on.”
Aku tersenyum kecil membalas ucapannya. Mungkin yang diucapkan Darryl benar. Tapi, move on adalah hal yang paling susah untuk dilakukan. Bagaimana aku melakukannya?
***
Tadi pagi-pagi sekali, papa sudah jalan bersama beberapa temannya untuk joging di simpang lima. Darryl sendiri memilih untuk di rumah menemaniku yang masih sedikit kesakitan karena kecelakaan kecil kemarin.
Karena luka di kakiku ini, aku jadi kesulitan untuk berjalan. Rasanya nyeri dan linu. Badanku pun rasanya pegal.
“Nasi goreng?” tanya Darryl yang kujawabi dengan anggukan kepala.
Darryl dengan senang hati membuat sarapan untuk kami berdua. Dan sepertinya, memasak adalah salah satu kegiatan favoritnya. Lucu juga membayangkan seorang cowok sibuk dengan alat dapur.
“Lo beneran nggak bisa masak?” tanyanya seraya meletakan penggorengan di atas kompor.
“Bisa, masak air.”
“Seriusan lo nggak bisa masak?” Darryl menoleh ke arahku dengan ekspresi terekejut.
“Nggak semua cewek tercipta dengan keahlian memasak!”
“Terus keahlian lo apa?” tanyanya terdengar seperti ledekan.
Keahlianku? Banyak lah. Tidur, makan, marah-marah, kesal, tidur lagi, ngamuk, makan, makan, makan lagi dan lagi. Lihatkan, banyak!
“Gue ahli dalam nyiksa orang,” jawabku seraya memandangnya sengit. Ya, aku cukup ahli dalam hal itu. Buktinya, Romi cukup tersiksa kan, atau mungkin tidak.
Aku punya keahlian apa?
Darryl tertawa mendengar ucapanku. Aku menatapnya sebal yang malah membuat tawanya semakin menjadi. Menyebalkan!
“Oh gue tau,” ucapnya seraya menghentikan tawanya. “Keahlian lo itu bikin orang kesel.” Dan ia kembali menertawakanku.
“Gue tabok pake p****t panci baru tau rasa lo!” kataku sebal yang membuatnya semakin terbahak.
Darryl memang menyebalkan.
Ting tong .... Ting tong ....
Terdengar bunyi bel yang membuat Darryl menghentikan aktifitas memasaknya. Ia memandangku seakan mempertanyakan siapa tamu yang berkunjung pagi-pagi begini.
“Biar gue yang buka,” ucapku seraya perlahan turun dari kursi yang kududuki.
“Lo bisa?”
“Bisalah. Pincang-pincang begini juga gue masih bisa jalan,” jawabku. Ya, karena luka di kakiku ini, sekarang aku jadi sedikit pincang. Dan kalau boleh jujur, sebenarnya badanku rasanya sakit semua, nyeri. Bahkan ada beberapa bagian di tubuhku yang kebiruan, lebam, karena jatuh kemarin. Tapi aku tak ingin menampakkan wajah kesakitan di hadapan Papa ataupun Darryl. Bisa-bisa mereka berdua panik tidak keruan.
Perlahan aku berjalan meninggalkan dapur menuju ruang tamu. Butuh waktu sedikit lebih lama untukku mencapai pintu ruang tamu dengan cara berjalan seperti ini. Setiap kali melangkah, rasanya benar-benar sakit.
Kubuka pintu ruang tamu perlahan. Kini di hadapanku sudah berdiri sosok Romi yang memperlihatkan senyum manisnya.
“Ngapain lo ke sini?” tanyaku galak tanpa berniat membuka pintu lebih lebar.
“Kaki kamu gimana? Masih sakit?” tanyanya seraya menunduk melihat kaki kiriku.
“Balik deh, sana,” usirku mencoba menutup pintu yang membuat tangannya menahan pintu agar tetap terbuka.
“Aku cuma mau meriksa kaki kamu. Biar aku obatin.” Romi masih berusaha membuka pintu yang mati-matian kudorong agar tertutup.
“Gue nggak butuh! Sana balik. Pergi dari hadapan gue!” kataku kesal.
“Bee, biarin aku obatin. Kenapa lukanya nggak ditutup perban atau plester?” tanya terdengar khawatir ketika mendapati perban di kakiku sudah hilang.
Ya, semalam aku melepaskan perban s****n itu. Aku hanya jatuh dari sepeda, patah tulang juga tidak. Tapi perban di kakiku membuatku merasa sakit parah. Jadi, aku tak menginginkan perban itu membalut kakiku.
“Nggak butuh!”
Aku masih mencoba mendorong pintu agar tertutup. Gerakan dorong-dorongan seperti ini membuat kakiku berdenyut sakit. Rasa sakitnya membuatku sedikit limbung dan mengakibatkanku terdorong ke belakang, hampir jatuh.
“Lo nggak apa-apa?” suara Darryl terdengar tepat di belakangangku. Di saat itu pula kurasakan cekalan tangan pada kedua lenganku yang membuatku masih berdiri, tidak jatuh.
Kemudian pintu di hadapanku terbuka lebar dan menampilkan sosok Romi yang memandangku khawatir. Segera ia mendekat ke arahku dan mencoba memegangiku.
“Astaga, kamu nggak apa-apa, Bee?”
“Pergi lo!” ucapku galak seraya mencoba mendorongnya pergi.
“Aku cuma mau ngobatin kakimu saja. Kalau infeksi bagaimana?”
“Gue nggak butuh,” kataku masih mencoba mendorongnya. Kuabaikan rasa sakit karena diriku yang banyak bergerak. Aku hanya ingin Romi pergi dari sini. Aku tak ingin melihatnya.
Kurasakan Darryl menarik tubuhku agar menjauh dari Romi dan memelukku erat dari belakang. Tangannya melingkar di badanku dan mengunci pergerakanku. Hal ini membuatku tak bisa banyak bergerak.
“Lepasin, Ryl.” Aku mencoba melepaskan diri dari pelukan Darryl. Namun semakin banyak aku bergerak, badanku semakin sakit.
“Hai Rom, lo udah sarapan? Ayo gabung sama kami,” ucap Darryl santai yang membuat Romi terlihat bingung. “Habis sarapan, mungkin lo bisa ngobatin kaki dia. Ayo silakan masuk.”
Masih dengan Darryl yang memelukku—sepertinya lebih ke mengikatku dengan lengannya— ia manarikku paksa agar berjalan bersamanya. Pelukan itu lama-lama melonggar bergantikan dengan lengannya yang melingkar di pundakku.
“Lo ngapain, sih?” kataku kesal seraya menoleh ke arahnya.
“Lo yang ngapain?! Gue kira lo bakalan nyoba buat nggak bersikap kekanakan lagi sama Romi. Gue kira lo mau nyelesain masalah lo sama dia.”
“Ya gimana, lihat dia aja udah buat gue kesel. Ya udah.”
“Kalau kayak begini, masalah lo nggak bakalan pernah kelar, Shab."
“Bodo,” ucapku tak peduli.
Kudengar langkah kaki di belakang kami, segera aku menoleh ke belakang dan kudapati Romi tengah berjalan mengikuti kami. Apa yang ia lakukan di sini?
“Aku cuma mengiyakan ajakan Darryl,” ucap Romi seakan tahu apa yang sedang kupertanyakan.
Sebelum aku membuka mulut untuk mengusirnya, Darryl lebih dulu membungkam mulutku dengan telapak tangannya.
“Silakan langsung ke ruang makan, Rom. Lurus aja, terus belok kanan.” Darryl memberi intruksi yang membuat Romi tersenyum kecil dan mengangguk. Setelahnya ia berjalan mendahului kami menuju ruang makan yang menyatu juga dengan dapur.
“Dengar, Shab,” ucap Darryl seraya melepaskan tangannya dari mulutku. “Selesain masalah lo sekarang. Bicarain baik-baik sama dia. Tanyain semua yang pengen lo tanyain. Setelah masalah lo kelar, gue yakin, lo bakalan lebih tenang.”
“Lihat dia aja bawaannya pengen ngamuk, Ryl.”
“Hei, gue di sini, Shab. Gue bakalan bantuin lo biar nggak pengen ngamuk.”
“Lo malah bikin gue tambah pengen ngamuk tau!” kataku kesal.
Darryl menghela napas dan memandangku. Ia terlihat mencoba untuk bersabar menghadapiku.
“Shaby, yang lo butuhin itu adalah jawaban. Setelah lo dapat jawaban atas semua pertanyaan lo, gue yakin kalau lo bakalan baik-baik saja. Bahkan gue yakin, Shaby yang gila bakalan mendadak waras.”
Mungkin yang Darryl ucapkan benar. Yang kubutuhkan adalah jawaban dari semua pertanyaanku. Aku memang sangat ingin tahu semua alasan mengapa Romi sampai meninggalkanku. Tapi aku takut jika semua jawabannya malah tambah menyakitiku.
“Jangan jadi wanita lemah,” ucapnya yang membuatku memandangnya kesal.
“Gue nggak lemah!” kataku tak terima.
Segera aku berjalan meninggalkannya. Namun baru beberapa langkah, kakiku kembali terasa nyeri dan sakit. Seketika aku berhenti dan meringis kesakitan.
“Jangan sok kuat juga.” Darryl kini memegangiku dan kemudian membantuku berjalan.
Dengan pasrah aku berjalan dengan bantuan Darryl. Aku tak menyukai Darryl yang selalu saja benar.
Setelah kami sampai di ruang makan, kulihat Romi tengah berdiri di samping meja makan. Pandangannya mengarah pada mug putih bertuliskan 'Good morning beautiful' yang berada di atas meja. Mengetahui hal itu, sontak aku bergegas mendekat ke arahnya dan berniat mengambil mug tersebut.
“Gue lupa mau buang mug ini,” ucapku seraya menyambar mug putih tersebut dan kemudian membuangnya ke tempat sampah yang berada tak jauh dariku. Setelah itu kembali kulihat ke arah Romi, pandangannya kini tertuju ke arah tempat sampah di sebelahku. Ia terlihat sedih dan kecewa.
Mug tersebut adalah mug pemberian Romi. Ia khusus membelikanku mug tersebut ketika sering kali ia lupa mengirimiku pesan singkat setiap pagi. Melalui tulisan dalam mug itu, dia berharap setiap pagi dapat memberiku ucapan selamat pagi. Dulu aku menyukainya. Aku bahkan menganggapnya sangat tulus dan romantis. Tapi sekarang, aku rasa semua itu sudah tak berarti lagi.
Aku bahkan tak menyadari bahwa aku membawa serta mug itu bersamaku. Aku sadar bahwa mug yang selalu kupegang adalah mug pemberiannya, tapi aku tak tau mengapa aku masih menggunakannya. Dan sekarang ketika aku membuangnya ke tempat sampah, rasanya ada bagian dari diriku yang ingin sekali memungutnya.
“Mungkin sebaiknya gue mulai masak,” ucap Darryl segera mendekat ke arah kompor berada.
Pandanganku kini tertuju kepada Romi. Ia balik memandangku sedih. Namun tiba-tiba senyum kecil terukir di bibirnya. Setelah itu, ia segera duduk di kursi yang berada di sebelahnya dan mengabaikanku.
Ragu-ragu aku mendekat ke arah meja makan. Kemudian dengan ragu-ragu juga aku duduk di kursi yang berhadapan dengan Romi. Kulihat sekarang ia tengah melirik ke arah tempat sampah berada.
“Ehm ....” Aku berdeham yang membuat Romi memandang ke arahku. “Jelaskan semua yang pengin lo jelaskan. Gue pengin masalah kita selesai.”
Ya, mungkin yang diucapkan Darryl benar. Aku harus menyelesaikan masalahku dengan Romi. Aku tidak boleh hidup kayak begini terus. Sudah saatnya aku bersikap dewasa. Meskipun aku tak tahu apakah penjelasannya akan membuatku lebih baik atau lebih sakit, tapi aku harus mengetahuinya. Aku harus tahu semua alasan mengapa ia meninggalkanku.