“Ya ampun, tapi lo baik-baik saja kan, Shab?” Pertanyaan itu sukses membuatku mengatupkan bibir rapat. Mencoba untuk menahan air mata yang hendak keluar. Aku tak mau menangis lagi untuk masalah yang sama. Aku lelah. Delia langsung menyambar tubuhku. Ia memelukku erat sambil menepuk-nepuk pelan punggungku. Seketika tangisku pecah. Dadaku sesak sekali rasanya. Hingga membuatku kesulitan bernapas. Aku telah selesai bercerita tentang semuanya. Tentang Darryl yang membohongiku. Tentang Romi yang juga membohongiku. Tentang Liny yang ternyata hamil. Semuanya. Bahkan tentang semua hal indah yang kualami bersama Darryl sebelum kejadian kemarin itu pun kuceritakan. Sampai akhirnya sebuah pengakuan menghancurkan kenangan indah tersebut. “Gue nggak tahu harus ngomong apa, Shab,” kata Delia masih