Dina berlari kencang setelah turun dari ojek yang dia tumpangi. Dia sudah terlambat dua puluh menit. Saat ini jarum jam sudah hampir menunjukkan pukul setengah enam sore. Dina cemas jika Bagas sudah selesai latihan dan kini menunggunya. Dina berlari kencang memasuki arena tempat Bagas berlatih futsal. Namun begitu tiba di sana, Dina terkejut.
"R-RIANTI...!"
Dina melotot dengan jari telunjuk mengarah pada Rianti yang sedang duduk cantik di ujung sana.
Menyadari kehadiran Dina, Rianti pun melambaikan tangannya dengan bersemangat. Sedangkan Dina masih terkejut karena melihat Rianti di sana.
Tatapan Dina kemudian beralih ke lapangan. Di sana terlihat Bagas dan Dion yang memakai seragam yang sama.
"Dina...! ayo buruan ke sini!" hardik Rianti kemudian.
Dina melangkah mendekat, masih dengan wajah bingung.
Rianti langsung menarik tangan Dina untuk duduk di sampingnya.
"Ternyata Dion bergabung kembali dengan tim atas permintaannya, Bagas." Rianti melaporkan.
Dina menatapnya. "Permintaan Bagas?"
"Iya. Jadi sebenernya dari awal itu Dion emang berpotensi untuk gabung sama Tim. Tapi saat itu Bagas sakit hati sama Dion. Gara-gara konflik kalian waktu itu. Tapi sekarang lo bisa liat sendiri tuh... Mereka malah jadi akrab dan kompak bermain di lapangan." Rianti mengangkat dagunya ke depan sana.
Dina meneguk ludah.
Ia kembali melihat Dion dan Bagas. Kedua lelaki itu sedang bekerja sama untuk membangun sebuah serangan. Si kulit bundar terus berpindah dari kaki keduanya hingga berhasil menembus gawang.
"GOOLLLLLL...!!!" Rianti melonjak girang.
Dina menatap sengit karena terkejut oleh teriakan Rianti.
Di lapangan sana, Dion dan Bagas berpelukan untuk merayakan gol yang mereka ciptakan.
"Lihat deh! Mereka jadi akrab begitu. Lucu banget, kan?" pekik Rianti lagi.
Dina justru menatap nanar.
Entah kenapa rasanya dia tidak menyukai kedekatan Bagas dan Dion. Rasanya Dina tidak mau melihat Bagas berteman dengan Dion. Berbeda dengan Rianti yang tampak senang melihat keakraban Dion dan Bagas, Dina tidak demikian.
Dia malah diliputi oleh perasaan cemas.
Dina pun juga tidak mengerti.
Akan tetapi nalurinya seakan langsung memperingatkan tanda bahaya.
"Kenapa semua malah jadi seperti ini?" bisik Dina lirih.
"Apa? lo ngomong apa?" tanya Rianti.
Dina menggeleng. "Nggak. Aku nggak ngomong apa-apa."
Setelahnya Dina hanya termenung dengan tatapan kosong. Dia menjadi tidak bersemangat. Ada dua hal yang membuat suasana hatinya terasa buruk. Pertama sudah jelas karena kehadiran Dion. Kedua adalah karena Rianti yang terlalu hiperaktif. Terlalu bersemangat hingga membuat Dina lelah menghadapinya.
Sampai kemudian bunyi pluit yang ditiup panjang mengakhiri sesi latihan itu. Para anggota tim berbaris sejenak mendengarkan rangkuman dari pelatih. Sang pelatih kini merekap latihan mereka dan langsung mengevaluasinya. Memberikan masukan yang dirasa penting agar permainan mereka semua menjadi lebih baik. Setelah itu barulah mereka semua membubarkan diri.
Dion dan Bagas kini berjalan beriringan menghampiri Dina dan Rianti.
Rianti bergegas bangun. Memberikan sebuah handuk kecil dan juga air mineral kepada Dion.
"Ini...," ucap Rianti malu-malu.
"Thanks. "Dion tersenyum. Dia menyeka lehernya dan juga meminum air itu.
Rianti pun tampak terpesona melihat Dion yang kini banjir keringat. Lelaki itu terlihat kian jantan dan sexy di matanya. Membuat Rianti malu menatapnya, tapi juga merasa sayang jika tidak melihat. Alhasil dia hanya curi-curi pandang dan terus tersenyum malu-malu.
Sementara Dina...
Dia malah termenung dan tidak sadar bahwa Bagas sudah berdiri di hadapannya.
"Hei!" sergah Bagas.
Dina terkejut. "Ah. L-latihannya sudah selesai, ya?" Dina menatap lapangan yang sudah kosong.
Bagas berjongkok di depan Dina dan tersenyum. "Kenapa kamu malah melamun? lagi mikirin apa emangnya?"
Dina menggeleng. "Nggak kok. Mungkin aku cuma sedikit lelah aja. Karena tadi buru-buru di jalan. Takut kamunya keburu selesai latihannya."
Bagas kemudian melirik Rianti dan Dion. "Lihat deh mereka. Semakin mesra saja, ya."
Dina juga menatap mereka berdua, lalu hanya tersenyum.
"Aku juga mau dong," ucap Bagas kemudian.
"Mau apa?" tanya Dina.
Bagas menunjuk handuk kecil di sebelah Dina dengan mengangkat dagunya. "Aku mau disekain keringatnya sama kamu."
Dina menyipitkan mata. Tapi kemudian dia mengambil handuk itu dan mulai menyeka wajah Bagas yang berkeringat itu dengan lembut.
Aksi Dina itu rupanya dilihat oleh Dion. Tapi saat Dina menatap kepadanya, Dion langsung membuang muka.
Setelah beristirahat sebentar, Mereka berempat kemudian berkumpul dalam satu titik.
"Kita berdua nggak tau kalo kalian itu latihan di tempat yang sama. Kalo kalian udah satu tim lagi. Kalo tau begitu gue dan Dina bakalan bareng aja datang ke sini. Iya, nggak Din," tukas Rianti.
"I-iya," jawab Dina singkat.
Bagas merangkul Dion yang berdiri di sampingnya. "Hahaha. Iya. Kita berdua sekarang juga sudah menjadi bestie seperti kalian bedua. Iya, kan Dion?"
Dion pun hanya tersenyum.
Rianti tersenyum senang. "Memang sudah seharusnya seperti ini."
Bagas mengangguk setuju. Suasana hatinya tampak sangat bagus sekali. Dion pun melirik Bagas perlahan. Tentu saja suasana hatinya begitu bagus. Karena semalam Bagas sudah bersenang-senang dengan menyiksa seorang gadis.
"Sekarang kita ke mana nih, bagusnya?" tanya Bagas kemudian.
Dina langsung menatapnya. "Kita? maksudnya?"
Bagas mengangguk. "Iya, Kita. Kita berempat."
Dina meneguk ludah. Dia melirik Dion sebentar, lalu memalingkan wajah kembali.
"B-bukannya kamu mau ditemanin buat nyari hodie di pusat perbelanjaan?" tanya Dina. "Lagi pula Rianti dan Dion mungkin juga punya rencana sendiri."
Bagas menatap Dion. "Lo mau ke mana emangnya?"
Dion mengangkat bahu. "Kita nggak punya rencana apa-apa kok."
"Kalo gitu yaudah. Kita cari makan aja bareng-bareng." Bagas mengemukakan idenya.
"Boleh juga, sih." Rianti ikut bersuara.
Dina tentu menatap cemas. "T-tapi...."
"Ya. Sebaiknya kita emang main bareng aja. Biar semakin SERU!" Dion memotong ucapan Dina.
Dina pun hanya bisa menghela napas pasrah dan Dion pun menyadari kegelisahan Dina. Setelahnya Mereka langsung beranjak pergi.
Seperti dua pasangan kekasih yang melakukan double date, meskipun Dion dan Rianti belum memiliki kepastian dalam hubungan mereka.
Dua motor itu kadang berjalan beriringan. Dion dan Bagas juga saling bercanda. Rianti tampak senang sekali. Sementara Dina hanya menundukkan wajah di balik punggung Bagas. Dia sama sekali tidak merasa senang.
Di sisi lain, Dion terkadang sengaja memperlambat laju motornya hingga ia agak tertinggal.Membuat posisinya sejajar dengan Dina yang duduk di boncengan. Dan saat itu juga Dina langsung menoleh menghindarinya.
Kentara sekali.
Ketidaknyamanan Dina terlihat sangat jelas.
Dion pun menyadarinya.
Dia sangat mengerti bahwa Dina tidak menyukai keberadaannya.
Namun sikap Dina itu justru membuat Dion semakin terpancing untuk mempermainkannya. Dion terus saja sengaja memperlambat laju motornya dan terus sengaja menatap Dina.
Mereka sengaja mencari lokasi makan yang agak jauh. Kedua motor itu pun terus melaju di bawah langit senja yang memerah.
Sampai akhirnya Mereka berhenti di sebuah restoran yang terletak di pinggir kota. Suasananya sangat lengang. Restoran itu mengusung tema pulau Dewata, Bali.
"Hari ini gue yang traktir!" ucap Bagas begitu dia turu dari motor.
Dina pun juga langsung melotot. Lagi-lagi Dina keberatan dengan sikap Bagas. Tapi Bagas tidak ngeh dengan tatapan Dina dan tetap tersenyum senang.
"Ayo kita masuk!" ajak Bagas lagi.
Dina dan Bagas duduk bersebelahan. Dina tentu berharap agar Rianti yang duduk di hadapannya. Tapi sialnya...
Malah Dion yang duduk di sana.
Suasana makan bersama itu berlangsung heboh dan ramai. Bagas begitu bersemangat menceritakan kemampuan Dion dalam bermain bola.
Rianti pun menyimak cerita itu dengan antusias.
Sementara Dina hanya diam membisu. Sama sekali tidak berminat untuk bergabung dalam obrolan itu.
"Pokoknya gue yakin tim kita bakalan juara Nasional karena sudah ada penyerang handal di sini!" Bagas mengusap-usap punggung Dion.
"Hahaha." Dion hanya tertawa.
"Emang kapan turnamennya di mulai?" tanya Rianti.
"Awal bulan depan," jawab Bagas.
Rianti menganggukkan kepala.
Dion kemudian menatap Rianti. "Oh iya. Katanya lo mau ngasih sesuatu sama gue?"
Rianti mengangguk. "I-iya."
Bagas pun langsung mengejek. "Ehem... Ciyeeee....!"
"Apa?" tanya Dion. "Apa mungkin kantong yang sedari tadi kamu bawa itu?" Dion menatap kantong kertas berwarna putih di samping Rianti.
Rianti mengangguk malu-malu. Dia kemudian meletakkan kantong itu ke atas meja dan mendorongnya pelan.
"Apa ini?" tanya Dion.
"Liat aja!" tukas Rianti.
Dion langsung memeriksanya. isinya adalah tas couple yang sebelumnya dibeli Rianti.
"Tas?" Dion menatap antusias. "Bagus banget tasnya. Lo yakin ngasih gue tas ini? dalam rangka apa?"
"Nggak dalam rangka apa-apa, kok," jawab Rianti.
Bagas kemudian menyahut. "Udah terima aja. Gue juga punya tas seperti itu. Sama persis. Tas couple."
"Heh!" Rianti langsung melotot karena Bagas mengatakannya.
"Hahahaha." Bagas tertawa. "Emang tas couple-kan?"
Dion mengernyit. "Tas couple?"
Rianti mengangguk malu. "I-iya. Jadi ini tuh tas couple. Gue punya yang versi perempuannya. Sama persis juga dengan milik Dina. Gue pengen tas ceweknya doang sebenernya. Tapi ternyata nggak bisa dibeli terpisah. Harus sepasang."
Rianti beralasan dan Bagas langsung mencibir.
"Halah... ngeles aja lo! kalo lo emang mau ngasih Dion ya kasih aja... nggak usah banyak alasan," sergah Bagas.
Rianti mengepalkan tinjunya pada Bagas, tapi kemudian dia langsung menurunkan tinjunya itu karena sadar Dion menatapnya.
"Makasih ya. Gue akan pake tas ini sampe buluk," ucap Dion kemudian.
Rianti mengangguk dan tersipu malu.
"Jadi lo juga punya tas yang sama kayak punya Dina?" tanya Dion lagi.
"Iya."
Dion melirik Dina. "Tapi kenapa si Dina dari tadi diem aja, ya? lo demam, Din?"
Deg.
Dina melotot. Terkejut karena Dion berbicara padanya.
Dengan terpaksa Dina pun harus menjawab pertanyaan itu.
"Ah. Nggak kok," jawab Dina.
Dion mengulum senyum. "Terus kenapa lo dari tadi diem aja?"
"Iya, ih. Gue nggak denger suara lo dari tadi," timpal Rianti.
"Kamu kenapa, Din? apa kamu nggak enak badan?" Bagas ikut bertanya. Dia menempelkan telapak tangannya di kening Dina untuk memeriksa suhu tubuhnya.
Dina menghindar dan lagi-lagi tersenyum dengan susah payah. "Aku baik-baik saja."
Dion menatap tajam. Tapi bibirnya tersenyum. "Apa mungkin lo ngerasa nggak nyaman karena ada gue di sini?"
Duar.
Jeblaaar.
Dina seperti tersambar petir. Dia menatap Dion lekat-lekat. Bagaimana bisa lelaki itu menodongnya tanpa basa-basi. Bola mata Dina bergetar memandang Dion. Tapi lelaki itu malah tersenyum dan balas menantang tatapan itu.
"Hahaha. Nggaklah!" malah Bagas yang bersuara.
"Bener. Ngapain si Dina nggak nyaman ama lo. Nih anak emang salah makan tadi kayaknya. Atai terlalu overdosis ngerjain tugas sekolahnya." Rianti menambahkan.
Tapi Dion masih menatap Dina. "Tapi dia masih belum ngejawab tuh!"
Dina meneguk ludah. Dion benar-benar menyebalkan.
"Ayo ngomong, Din," bisik Bagas. "Jangan bikin Dion salah paham sama sikap kamu."
Dina terperangah. Sekarang hanya dia satu-satunya yang berperan jahat dalam cerita ini. Padahal sebelumnya Bagas amat teramat membenci Dion. Tapi sekarang dia malah meminta Dina untuk bicara pada lelaki itu.
Lucu sekali.
Dina tersenyum dengan bibir bergetar. "Kenapa juga aku harus ngerasa nggak nyaman karena kehadiran kamu."
Dion mengangguk. "Syukurlah kalau begitu."
"Intinya begini." Bagas langsung berbicara. "Yang berlalu itu biarlah berlalu. Kita mulai saja lembaran baru oke? toh kedepannya kita akan lebih sering bertemu. Akan sering bersama-sama."
"Gue setuju!" tukas Rianti bersemangat.
Dion tersenyum. "Sejujurnya sih, gue emang seneng gaul ama kalian semua. Tapi... gue nggak mau kalo kehadiran gue ternyata nggak diharapkan."
Dina meniup wajahnya yang terasa panas. Kenapa Dion masih saja menyindirnya? Kenapa Dion masih saja berusaha memancingnya?
"Jangan berpikir seperti itu lagi," sergah Bagas.
Mereka kemudian tertawa. Tentu saja kecuali Dina.
Kasihan sekali Dina.
Dia terlihat tersiksa dalam keramaian itu. Dina ingin situasi itu cepat berakhir, tapi sepertinya Rianti, Dion dan Bagas masih terlalu bersemangat. Mereka bahkan sudah memesan tambahan menu berupa cemilan dan jus buah agar bisa lebih lama menghabiskan waktu di tempat itu.
Saat ini Bagas dan Rianti sedang berlomba-lomba membuka aib masing-masing. Keduanya asyik sekali dan Dion pun juga ikut jahil meledek keduanya.
Dan obrolan mereka pun terhenti ketika Dina bangun dari duduknya. Semua mata pun langsung mengarah padanya.
Dina tersenyum canggung. "Aku ke toilet sebentar."
"Iya," jawab Bagas.
"Apa perlu gue temenin?" Rianti menawarkan diri.
Dina menggeleng dan kemudian melangkah pergi.
Obrolan kocak dan ramai itu pun kembali berlanjut. Tapi Dion tak lagi tertarik. Matanya tiap sebentar melirik ke arah toilet juga. Tapi ia tidak bisa langsung berdiri dan pergi ke toilet juga. Akan terlalu kentara. Terlalu mencurigakan dan terlalu beresiko juga. Dia sudah tidak tahan ingin bicara dengan Dina. Dion sangat terganggu dengan sikap Dina yang terlihat jelas tidak menyukai keberadaannya.
Tatapan Dion beralih pada gelas jus alpukatnya. Dia meraihnya pelan sambil kembali berkomentar.
"Hahaha. Jadi dulunya Rianti tomboi, ya?" tanya Dion.
"Iya," jawab Bagas.
Rianti merengut dan langsung membalas Bagas dengan membuka aib-aib Bagas yang ia ketahui.
Sementara itu Dion mulai mengangkat gelas jusnya dan kemudian.
"ASTAGA...!" Dion berpura-pura kaget saat jus itu tumpah di bajunya.
"Lo nggak hati-hati, sih." Rianti langsung sibuk mengambilkan tisu.
"Lo ngapain dah. Hahahaha." Bagas geleng-geleng kepala.
"Itu bajunya jadi basah dan lengket," ucap Rianti lagi.
Dion geleng-geleng kepala. "Gue bawa baju ganti sih. Baju kaos di tas."
"Ya udah buruan ganti sana. Dari pada lo nanti di kerubungi semut," tutur Bagas.
Dion mengangguk. Dia mengambil tasnya, lalu melangkah ke toilet.
Seraya melangkah dia pun tersenyum.
Dion buru-buru mempercepat langkahnya.
Sementara itu...
Dina menatap bayangannya di kaca toilet dengan mata sayu.
Rasanya melelahkan sekali. Padahal dia tidak ikut bersuara. Padahal dia hanya duduk dengan tenang saja.
Setelah itu Dina membasuh tangannya. Dia berharap hari ini cepat usai.
Dina keluar dari toilet, tapi jantungnya nyaris melompat keluar saat melihat Dion berdiri di hadapan pintu itu.
Deg.
Dina melotot kaget.
"K-kamu!"
Dion menyeringai.
"A-ada apa?" Dina berusaha tenang.
Dion menatapnya lekat-lekat. "Gue tau lo sama sekali nggak nyaman dengan keberadaan gue."
Dina langsung membuang muka.
"Gue juga tahu lo benci sama gue," tukas Dion lagi.
Dina meneguk ludah, lalu mencoba pergi. "Jangan buat masalah lagi. Bukankah kamu baru saja akrab dengan Bagas? jadi aku mohon... jangan membuat keributan lagi."
Dion tertawa kecil. "Kalau lo takut ada keributan. Kenapa lo seperti ini?"
Dina memberanikan diri menatap sepasang mata yang tajam itu. "Aku kenapa? aku tidak melakukan apa-apa."
"TERLALU JELAS!" Dion menekankan kata-katanya. "Sikap lo itu terlalu jelas, Din. Lo terlalu menampakkan kalau lo nggak nyaman karena keberadaan gue."
Dina pun sudah merasa jengah. "Ya. Aku memang tidak nyaman. Setelah semua perselisihan yang terjadi, setelah semua permasalahan yang ada... apa mungkin aku bisa merasa nyaman, ha? dan lagi... sekarang kamu dekat dengan Rianti bukan. Jadi aku mohon jangan sampai timbul kesalahpahaman kedua kalinya. Cukup dengan Bagas saja. Aku tidak mau ada drama selanjutnya."
"Kalau lo nggak mau ada drama, lo harus berhenti bersikap seperti ini," ucap Dion.
"Kenapa?" tanya Dina.
Dion menatapnya lekat-lekat. "Karena kalo lo terus-terusan berusaha menghindar... gue justru semakin terpancing untuk ngedeketin lo."
"Aneh! kamu memang aneh!" tukas Dina.
Dion mengangguk. "Yah. Gue emang aneh."
Dina tersentak. Dan Dion pun kembali mengeluarkan ultimatumnya.
"Jadi kalo lo nggak mau ada masalah lagi... lo harus berhenti bersikap seperti ini. Sikap lo itu ngebikin gue muak. Sikap lo yang menghindari gue seperti sampah itu sangat menjengkelkan. Cih... apa yang terjadi di masa lalu itu pun bukan salah gue sepenuhnya. Mungkin emang gue yang mengganggu lo lebih dulu. Tapi... lo juga punya andil. Terkadang lo juga membalas umpan-umpan gue. Buktinya kita bahkan sempat bepergian dan juga mengobrol panjang lebar bukan? bertepuk itu tidak bisa sebelah tangan. Tapi sekarang... lo malah memperlakukan gue seperti sampah!" Dion berkata panjang lebar meluapkan kekesalannya.
Dina pun terdiam.
Semua ucapan Dion itu membuatnya tidak berani lagi bersuara. Dina pun menyadari bahwa sikapnya memang terlalu berlebihan. Dia terlalu menunjukkan ketidaksukaannya.
Dion mengembuskan napas kasar. Mencoba menenangkan dirinya sendiri yang dilanda emosi karena sikap Dina yang menurutnya sudah sangat keterlaluan.
"Lo harus inget ucapan gue tadi!" Dion mengarahkan telunjuknya ke arah Dina. "Gue juga manusia... gue juga punya perasaan."
Dion pun melangkah pergi setelah menyelesaikan kalimatnya. Meninggalkan Dina yang kini terhenyak. Dengan suara helaan napasnya yang terdengar sesak.