65. Pindah Rumah

1114 Kata
Dan setelah hari itu… Mereka berempat benar-benar lebih sering menghabiskan waktu bersama. Dina dan Rianti selalu menemani kedua lelaki itu berlatih futsal dan setelahnya mereka berempat akan bersenang-senang. Perlahan-lahan Dina mencoba untuk bersikap sebiasa mungkin terhadap Dion, meskipun semua itu pun terasa sangat sulit baginya. Dina harus terbiasa dengan kehadiran Dion. Dina harus terbiasa menatapnya, mendengar suaranya. Kali ini seusai latihan futsal, mereka bermain ke sebuah pasar malam yang ramai dipadati pengunjung. Ke empat anak muda itu bersenang-senang. Mereka berburu makanan-makanan khas jajanan yang enak, mencoba beraneka ragam wahana yang ada dan juga menikmati keseruan-keseruan yang ada. “Beli pentol yuk! Kayaknya enak, deh.” Rianti menunjuk sebuah gerobak yang berjualan pentol di depan sana. “Minumannya apa? Itu ada es serut di sebelah sana. Sepertinya seru juga. Anggap aja nostalgia jajanan kita sewaktu masih kecil,” sahut Dion. Bagas mengangguk setuju. “Tapi kenapa antriannya rame banget ya?” ucap Rianti lagi. “Bisa-bisa kita cuma ngasbisin waktu kalo cuma buat nunggu.” Bagas berpikir sebentar. “Hmmm … bagi tugas aja, deh. Lo ikut gue aja Rianti! Antri di es serut. Dion sama Dina ke sana, antri pentolnya.” Eh. Dina langsung mendongak. “Aku sama kamu aja.” “Udah nggak apa-apa. Ini tuh biar kita membaur dan jadi akrab satu sama lain,” tukas Bagas. Sayangnya Rianti pun menyetujui itu. Dia langsung menyeret Bagas pergi. “Iya. Udah kalian ke sana ya….” Hening. Dina hanya bisa menghela napas pasrah. Dion yang kini berdiri di sebelahnya tampak tenang dan santai. “Ayuk beli pentolnya,” ajak Dion kemudian. Dina mengangguk. “Oke.” Keduanya berjalan menuju antrian yang cukup ramai. Dina berusaha tetap tenang. Dia juga berusaha melawan dirinya sendiri. “Belinya berapa? Lima ribu saja per-porsinya?” tanya Dina. Dion memutar bola matanya. “Cukup?” “Aku rasa cukup.” “Ya udah beli aja lima ribu empat bungkus.” Dina mengangguk dan setelah itu keadaan pun berubah sunyi lagi. Antrian yang ramai terpaksa membuat mereka berdiri cukup lama di sana. Seakan barisan orang-orang di depan mereka terasa tidak bergerak sama sekali. Dion diam-diam melirik Dina yang berdiri di sampingnya. “Akhem… apa buku yang gue kasih waktu itu lo pake?” tanya Dion. Dina menatapnya. “Nggak.” “Heh! Terus lo apain, ha? Apa jangan-jangan lo buang?” Dion menatap nanar. Dina mengulum senyum dan hanya melipat tangannya. “Cih. Lo emang kejam ya. Lo nggak tau betapa keras usaha gue buat menyalin semua catatan itu dalam waktu semalam, tangan gue sampe kapalan. Mata gue sampe perih. Gue jadi nggak punya waktu buat ngerjain tugas gue sendiri yang akhirnya ngebuat gue diusir dari kelas keesokan harinya, ” tukas Dion. “Siapa suruh ngejatuhin buku aku ke air. Dan juga… aku nggak pernah minta kamu untuk mengganti buku itu, ” balas Dina. Dion terperangah. “Waaah. Lo emang berhati dingin ya. Terserah sih. Yang penting sebagai bentuk rasa bersalah gue udah berusaha bertanggung jawab dan juga meminta maaf.” Dina sedikit menarik ujung bibirnya untuk tersenyum. Tapi secepat itu juga dia kembali memasang wajah datar. “Jadi lo beneran ngebuang buku itu?” tanya Dion lagi. Dina menatapnya. “Iya. Aku sudah membuangnya.” Dion hanya bisa meniup wajahnya yang terasa panas. Mereka kemudian bergerak semakin dekat menuju abang pentol yang masih sibuk mengambilkan pesanan para pembeli. “Lo pake parfum pomelo, ya?” Dion kembali bersuara. Dina terkejut. “B-bagaimana kamu bisa tahu?” Dion tersenyum. “Ada seorang gadis yang dulunya juga sangat suka dengan parfum wangi Pomelo.” Dina mendongak karena Dion lebih tinggi darinya. “Siapa?” “Lani.” “Lani?” “Iya, Lani.” “Siapa dia?” “Seseorang yang berharga, tapi sudah tidak ada lagi di dunia ini,” jawab Dion. Dina membeku. “M-maaf.” “Kenapa juga lo yang harus minta maaf. Ada orang lain yang seharusnya mengatakan itu, tapi malah bersikap biasa saja. Hidupnya bahkan terlihat sangat bahagia dan sentosa.” Dina mengernyit bingung. “Maksud kamu?” Dion menyeringai. “Tidak ada apa-apa.” “Apaan sih, nggak jelas,” sergah Dina kemudian. Akhirnya mereka mendapatkan cilok itu dan kembali menghampiri Bagas dan Rianti yang juga sudah mendapatkan es serut. Ke empatnya lalu beranjak ke sebuah lapangan berumput yang diterangi oleh cahaya lampu jalan taman itu. “Rumputnya basah nggak, sih?” tanya Rianti. “Udah duduk aja!” Dina lekas menariknya. Keempat anak muda itu pun menikmati santapan pentol yang panas dan pedas itu. Kombinasinya terasa pas dengan es serut yang manis dan dingin setelahnya. “Hey… hari minggu depan gimana kalo kita pergi liburan bareng?” ajak Bagas tiba-tiba. Eh. Dina melotot. Dalam beberapa hari terakhir ini, mereka nyaris sudah bertemu setiap hari. Apakah masih perlu liburan bersama? “Duh… mau banget!” Rianti langsung memekik senang. “Gimana? Lo bisa nggak?” Bagas beralih menatap Dion. Dion tersenyum. “Sorry ya… tapi gue nggak bisa.” Dina menatap Dion. Sedikit mengulum senyum. Dina senang karena Dion menolak ajakan itu. “Kenapa?” tanya Rianti. “Hari minggu besok gue mau pindah rumah,” jawab Dion. “Lo pindah ke mana?” tanya Bagas. “Ke kompleks perumahan baru di belakang rumah gue.” Rianti yang menjawab pertanyaan itu. Dina menghela napas panjang. Sudah terbayang diotaknya bahwa nanti dia pasti akan lebih sering lagi melihat wajah Dion. “Gimana kalo kita bantuin Dion pindah rumah aja!” ide gila meluncur dari bibir Rianti. “Boleh juga tuh!” Bagas menjentikkan jarinya. Dion tertawa. “Hahaha. Nggak usah sih. Soalnya udah pake jasa pindahan kok. Lagipula nggak terlalu banyak barang yang dibawa. Soalnya barang-barang di rumah lama tetep dibiarin di sana. Paling cuma ngebawa barang-barang penting dan isi kamar.” “Nah kita bakalan bantuin pindahan kamar lo aja, pasti banyak yang harus di tata, iya, kan?” Rianti tersenyum. Dion merasa segan. Tapi Rianti terus memaksanya. “Oke deh. Anggap aja kalian sekalian main-main ke rumah baru gue,” pungkas Dion kemudian. “Yeeeey. Kita akan ke rumah baru Dioooon!” Rianti berteriak girang. “Tapi lo nggak keberatan kan, Din? Lo bakalan ikutan juga kan?” tanya Dion. Pertanyaan itu membuat Dina menelan pentol yang akan ia kunyah hingga tercekik. Dion tergelak dan Dina melihatnya. Sang kekasih buru-buru membukakan tutup botol air mineral dan memberikannya pada Dina. “Hati-hati dong… pelan-pelan makannya.” Dina meneguk air itu dengan tatapan tajam mengarah pada Dion. Kenapa lelaki itu selalu saja suka ‘menembaknya’ langsung ketika berbicara? Semua tatapan mata pun tertuju pada Dina. Menanti jawabannya. “A-aku oke-oke aja sih,” jawab Dina kemudian. Rianti langsung bertepuk tangan. “Oke fiks. Udah final. Hari minggu besok kita akan ngebantu Dion pindahan rumah.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN