66. Khayalan Setinggi Langit

1760 Kata
Minggu pagi ini menjadi hari yang super sibuk untuk Dion. Dia sudah berada di rumah barunya sejak pagi buta. Saat ini sebuah truk yang cukup besar sedang membongkar barang-barang di halaman rumah. Dion tidak banyak bergerak. Dia hanya memantau saja dan memeriksa setiap barang yang turun dari mobil. Sementara sang papa, Ridwan sedang terlihat berbicara dengan pihak yang sudah bertanggung jawab dalam pembangunan rumah itu. Dion tersenyum senang. Rumah dua lantai itu lebih luas dan modern dari rumah lamanya. Nuansanya dominan warna putih bersih. Dengan pintu dan bingkai jendela berwarna kayu natural cokelat yang mengkilat. Halamannya ditanami rumput jepang yang lembut. Rumah itu memiliki empat kamar. Dua di lantai bawah dan dua di lantai atas. Di bagian depannya mengusung arsitektur ala yunani kuno dengan dua tiang besar menjulang tinggi yang menopang atap berbentuk segitiga. Rumah itu juga dilengkapi dengan taman dan juga kolam renang di bagian belakangnya. Dion kini berdiri sambil berkacak pinggang menatap rumah barunya itu. Ridwan yang sudah selesai mengobrol dengan seorang lelaki berkacamata iu pun mendekati Dion dan ikut berdiri di sampingnya. Juga ikut menatap rumah baru di depan matanya. “Bagaimana? Apa kamu suka dengan rumah barunya?” Dion menatap sang papa, lalu tersenyum. “Aku suka, Pa. Sepertinya atmosfir rumah ini juga mendatangkan aura yang baik. Papa benar… ternyata suasana baru itu memang diperlukan.” Ridwan mengembuskan napas panjang. “Yah… papa juga merasa seperti itu.” “Tapi… rasanya rumah ini terlalu luas untuk kita berdua,” ucap Dion kemudian. Ridwan tertawa. “Hahahaha. Itu tidak masalah. Kamu bisa bermain bola di lantai atas. Papa pun bisa bermain golf di lantai bawah. Dion terkikik karena guyonan sang papa. “Masih banyak furniture yang belum datang. Sepertinya akan dicicil dalam seminggu ke depan,” ucap Ridwan kemudian. “Hmm… iya. Aku tadi melihat masih banyak ruangan yang kosong melompong,” sahut Dion. “Bagian mana yang paling kamu suka dari rumah baru ini?” tanya sang papa. “Dapur.” “Kenapa?” “Dapurnya luas dan modern sekali. Isinya juga sudah lengkap. Aku sangat menyukainya,” jawab Dion. Ridwan mengedipkan matanya. “Sudah papa duga kalau kamu akan menyukainya. Awalnya pihak arsitek mendesain dapur yang kecil dan minimalis saja, tapi kemudian papa mengubahnya. Karena tahu kalau kamu hobi memasak.” Dion tertawa. “Oh iya, Pa… aku menempati kamar di lantai atas ya?” “Iya. Terserah kamu saja.” “Dan lagi….” Dion terlihat ragu untuk melanjutkan kalimatnya. “Dan lagi apa?” tanya Ridwan. “Sebenernya hari ini ada beberapa temen aku yang akan datang ke sini.” “Mana?” Ridwan menatap ke sekitarnya. “Mereka belum dateng, Pa.” “Ooo terus apa masalahnya. Baguslah… karena papa harus pergi sekarang. Papa ada keperluan lain dan harus segera berangkat.” “Hehe. Ya aku cuma mau ijin aja,” tukas Dion kemudian. Setelah itu petugas yang mengangkut barang pindahan pun melaporkan bahwa semua barang sudah selesai dibongkar. Ridwan dan Dion memeriksanya sebentar, lalu kemudian truk itu pun bergerak pergi bersama semua pekerjanya. Ridwan melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, lalu kemudian menepuk pundak Dion pelan. “Kalo begitu papa pergi dulu, ya.” “Iya, Pa.” Ridwan juga masuk ke dalam mobilnya dan kemudian melaju pergi. Sekarang tinggallah Dion seorang diri di rumah yang besar dan sunyi itu. Suasana di sekitarnya pun juga masih sepi karena memang perumahan itu masih sangat baru. Hanya terlihat beberapa bangunan saja yang sudah selesai dan sudah dihuni. Sebagian besar lainnya masih dalam proses pembangunan dan juga masih berupa lahan kosong yang ditumbuhi oleh rerumputan liar. “Hah…” Dion mengembuskan napas panjang. Ia melangkah masuk ke dala rumah dan menatap tumpukan kotak berwarna biru yang merupakan barang-barang dari kamar lamanya. “Aku hanya perlu menata semua ini,” ucapnya kemudian. Dion kemudian melirik keluar sana. “Kenapa mereka belum datang juga?” ** Sementara itu Rianti sedang menghentak-hentakkan kakinya tidak sabar karena Dina masih belum selesai bersiap. “Ayo buruan, Din… lo kenapa lama banget sih!” teriak Rianti lagi. Dina yang sedang memakai cardigan di dalam kamar mengembuskan napas kasar. “Iya-iyaaa…! ini aku hampir selesai.” “Ayo cepetan!” rengek rianti lagi. Dina akhirnya keluar dari kamar dengan tatapan sengit. “Aku itu jadi bingung karena kamunya nyinyir mulu.” “Ya, kita harus segera pergi Zeyeeeng,” tukas Rianti sambil mengedip-edipkan mata cepat dengan sangat centil. Dina memutar bola matanya malas. “Lagian kenapa aku harus ikutan coba?” “Ya, harus dong! Kita kan udah jadi bestie. Anggak aja latihan untuk masa depan,” jawab Rianti. “Latihan untuk masa depan?” Dina menautkan alis tidak mengerti. “Iya. Kalo nanti kita sudah sama-sama menikah… otomatis kita berempat jadi keluarga besar dong. Akan sering berkumpul, saling membantu dan lain-lain. Aww… ngebayanginnya aja udah bikin gue nggak sabar.” Dina mendorong kening Rianti dengan jari telunjuknya. “Sadar, Buk! Mimpi anda terlalu jauh.” Rianti mendengkus. “Itu namanya harapan. Emang lo nggak berharap dinikahi sama Bagas nantinya?” Dina terdiam. Sungguh obrolan yang terasa sangat sia-sia baginya. Dia memilih untuk tidak menanggapi pertanyaan Rianti itu dan mengambil sebuah rantang berisi makanan yang sudah disiapkan oleh ibu Rianti. “Ayo kita pergi,” tukas Dina kemudian. Rianti juga mengambil rantang yang lainnnya, lalu bergegas menyamai langkah kaki Dina. “Kenapa lo nggak jawab pertanyaan gue, ha?” Dina tetap menebalkan telinga. Dia tidak mau membicarakan hal yang tidak masuk akal itu. Namun meskipun Dina tidak merespon, Rianti tetap saja meracau tanpa henti. Karena jaraknya yang cukup dekat, mereka berdua hanya perlu berjalan kaki. Udara pagi ini terasa sejuk. Itulah kenapa Dina memakai cardigan. Dina hanya mengenakan celana longgar, baju kaos yang sedikit kedodoran dan mengikat rambutnya asal-asalan saja. Sementara Rianti tampil on point dengan make up minimalis dan bajunya yang terlihat fashionable. Dia mengenakan celana jeans warna biru yang cukup ketat. Menampilkan kaki jenjang dan p****t bohainya. Untuk atasannya Rianti memakain turtle neck lengan panjang warna hitam yang juga memperlihatkan lekuk tubuhnya. Postur tubuh Rianti memang sangat bagus karena dia rajin berolah raga. “Kenapa penampilan kamu heboh banget, sih?” tanya Dina. “Harus dong!” Dina mendesah. “Orang-orang pada ngeliatin kita. Mungkin mereka mengira kalo kamu adalah seorang majikan yang sedang berjalan dengan babunya.” Rianti tergelak. “Hahaha. Ya, elu kenapa berpakaian kayak gini?” “Ah, bodo amat ah.” Dina mencibir. “Si Bagas udah on the way belum?” tanya Rianti lagi. Dina mengedikkan bahu. “Nggak tau.” “Kok nggak tau, sih?” “Ya, emang nggak tau.” Rianti menatap sewot, tapi kemudian dia tersenyum lagi. “Coba lo bayangin deh… jika seandainya nanti kita sama-sama menikah. Gue nikah sama Dion… lo nikah sama Bagas. Terus kita juga bulan madu bareng. Eh, taunya kita juga sama-sama hamil dan kemudian punya anak seumuran. Aaaaaa keren banget nggak sih? Kita bener-bener akan sama-sama terus.” Dina terdiam. Entah kenapa rasanya dia justru tidak menginginkan hal itu terjadi. “Tapi kalo kehamilan bukan sesuatu yang bisa kita rencanakan. Tapi untuk nikah bareng dan bulan madu bareng masih bisa, kan?” Rianti cengengesan. Dina benar-benar merasa tidak nyaman dengan topik pembicaraan itu. Menurut Dina, Rianti mengkhayal terlalu jauh. Mereka bahkan masih SMA, tapi Rianti sudah membicarakan tentan pernikahan, bulan madu dan anak. Sangat menjengkelkan. “Terus nanti kita juga punya rumah yang bersebelahan. Gimana menurut lo?” tanya Rianti lagi. Tap. Langkah kaki Dina terhenti. Membuat langkah Rianti ikut terhenti juga dan menatap heran pada Dina. “Kenapa lo berenti?” tanya Rianti. Dina meneguk ludah. Dia menatap Rianti tajam setelahnya. “Aku rasa semua yang kamu bicarakan itu terlalu jauh.” “Dih, kaku amat sih, lo… gue juga tau kok. Gue kan cuma berandai-andai aja. Kenapa lo malah serius banget?” Rianti balas melotot. “Lagian nggak salah juga, kan? Namanya juga harapan. Dan semuanya itu harapan yang baik.” Dina memejamkan matanya sebentar, lalu mengembuskan napas panjang. “Apa? Kenapa lo malah sewot kayak gini, ha?” desak Rianti. Dina membuka matanya. “Aku sebenarnya tidak mau mengatakan ini karena takut kamu terluka, tapi….” kalimat Dina terhenti. “Tapi apa?” Dina berkacak pinggang. “Ayo ngomong aja! Terluka apaan? Emangnya gue selemah itu, ha? Ayo buruan ngomong!” Dina yang sudah terlanjur kesal itu pun membuka bibirnya lagi. “Sebelum kamu berkhayal jauh seperti itu… kamu harus memastikan terlebih dulu perasaan Dion kepada kamu.” Deg. Rianti tersentak. Tampak jelas kedua manik matanya itu bergetar. “Sebelum kamu membayangkan tentang pernikahan, bulan madu, anak dan rumah masa depan… ada baiknya kamu meminta sebuah kepastian terlebih dahulu. Sampai detik ini dia belum menyatakan perasaannya sama kamu, kan?” tanya Dina dengan napas sesak. Rianti semakin terhenyak lagi. Dina pun menyapu wajahnya dengan telapak tangan, lalu menatap Rianti lagi. “Kamu boleh marah karena aku berkata seperti ini… tapi satu hal yang harus kamu tau adalah… aku mencemaskan kamu. Aku takut kamu terluka. Makanya aku mengingatkan kamu….” Hening. Rianti tampak kesulitan untuk sekedar menghela napas. “Aku juga tau kalau semua harapan kamu itu baik. Tapi tetap saja… kesakitan dalam hidup adalah saat kita terlalu berharap kepada manusia,” ucap Dina lagi. Rianti mengangkat wajahnya menatap Dina. Sorot matanya kini berubah sayu. Dina pun menatap Rianti dengan wajah khawatir. “Aku mengatakan ini, karena… karena aku sudah terlalu sering mengecap kekecewaan dari harapan yang terlalu banyak. Dari harapan yang terlalu tinggi. Jadi… aku hanya tidak ingin kamu merasakan luka yang sama.” Rianti mengembuskan napas pelan, lalu kemudian lanjut berjalan. Dina menyusulnya dan menatap Rianti yang kini hanya terus melangkah dengan tatapan mata yang nanar. Sepertinya dia marah. Dia bahkan tidak mau melihat wajah Dina. Dina pun juga memilih bungkam. Dia pun masih diliputi rasa kesal. Terserah Rianti marah dan merajuk pun Dina tidak lagi peduli. Mereka berdua kini berjalan dalam bisu. Tidak lagi berkata-kata. Bahkan kemudian Rianti mempercepat langkahnya. Dina coba menyamai, tapi Rianti melangkah lebih cepat lagi. Dina akhirnya mengalah. Dia sengaja melambatkan langkah kakinya dan membiarkan Rianti melaju lebih dulu di depan sana. “Terserah saja… aku mengatakannya demi kebaikan dia,” bisik Dina. Sementara itu Rianti tampaknya memikirkan semua perkataan Dina. Rianti merasa marah. Tapi sejatinya dia tidak marah terhadap Dina. Dia marah pada keadaan karena semua yang dikatakan Dina itu sepenuhnya benar. Terkadang Rianti lupa. Bahwa hubungannya dan Dion seperti berjalan di tempat. Tidak ada lagi kelanjutan, tidak ada juga kepastian. Dina benar. Sebenarnya Rianti harus memastikan lebih dulu perasaan Dion sebelum berkhayal lebih jauh. Rianti membenci kenyataan itu. Tapi kemudian Rianti berpikir lagi. Dia jadi bertanya-tanya. Kenapa Dion tidak juga menyatakan perasaannya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN