67. Dua Gadis Berhati Panas

1258 Kata
“SELAMAT DATANG…!” Dion menyambut kedatangan Rianti dan Dina dengan senyuman hangat. Rianti langsung menatap rumah mewah itu dengan tatapan takjub. “Wah… rumah lo bagus banget. Kalo rumahnya kayak gini… gue jadi pengen sering-sering main ke sini.” “Hahahaha. Boleh aja kok. Lo boleh main ke sini kapan aja,” tukas Dion. Rianti tersenyum. “Tapi nggak usah deh. Takutnya lo ntar malah bosen liat wajah gue mulu.” “Ya, nggak lah,” bantah Dion. Rianti tertawa. Dion pun beralih menatap Dina. “Bagas mana?” “Mungkin masih diperjalanan ke sini.” “Itu apa yang lo bawa?” tanya Dion lagi. Menunjuk pada rantang yang ditenteng oleh Dina. Tidak hanya satu, tapi keduanya. Saat merajuk tadi, Rianti meninggalkan rantang yang dia bawa begitu saja. Akhirnya terpaksa Dina-lah yang membawa kedua rantang itu degan susah payah. Dina membuka bibirnya. “Ooh ini--” “Itu makanan buatan ibuk aku,” potong Rianti. Dina yang tadinya hendak menjawab kembali merapatkan bibir. Sedangkan Rianti hanya menatap culas sebentar, lalu kembali tersenyum menatap Dion. “Wah… gue jadi ngerasa nggak enak nih. Malah ngerepotin jatohnya,” ucap Dion. Rianti lekas menggelengkan kepala. “No… no… no…. sama sekali nggak merepotkan.” Dion mengangguk tanda mengerti. “Ooh. Oke deh. Kalo begitu ayo masuk!” Rianti langsung menyelonong seraya tersenyum girang. Sementara Dina tampak lemas tak bertenaga. Suasana hatinya sudah tidak nyaman karena perdebatan dengan Rianti. Ditambah lagi sejak awal dia memang sudah malas untuk ikut serta. Dina bahkan sudah membicarakan hal itu pada Bagas di telepon, tapi sang kekasih tetap memaksanya untuk ikut. Sebelum melangkah masuk, Dina menatap rumah itu sebentar, lalu berbisik pelan. “Apa suatu saat aku bisa tinggal di rumah yang mewah seperti ini?” Dia kemudian tersenyum. Menertawai dirinya sendiri karena sudah mengatakan hal konyol seperti itu. Dia bahkan sudah menjadi anak yang terbuang dan tidak memiliki rumah yang benar-benar miliknya. Miris sekali. Dina mengasihi dirinya sendiri. Dion pun kemudian membawa kedua gadis itu mengelilingi rumah barunya. Mulai dari lantai bawah. Rianti tak henti memuji dan menatap takjub. Suaranya terdengar memantul di ruangan yang masih kosong itu. Sementara Dina hanya mengikuti dan diam tak bersuara. Dia hanya melihat-lihat dan tidak berkomentar seperti Rianti. “Dapurnya cantik sekali!” pekik Rianti girang. “Iya.” “Tapi… bukannya lo dan bokap lo nggak akan pernah masak?” tanya Rianti. Dion mengerutkan kening. “Kata siapa? Gue selalu masak kok. Malahan salah satu hobi gue adalah memasak.” Rianti melongo. “Masa sih?” “Iya.” “Gue pikir kalo lo cuma tinggal berdua sama bokap lo… lo bakalan beli makanan aja setiap harinya,” tutur Rianti. “Nggaklah. Gue selalu masak dan bahkan jarang beli makanan di luar.” Rianti tersenyum. “Hmmm… ternyata lo suka masak ya.” “Iya.” Dina yang juga menyimak pembicaraan itu pun hanya mencebikkan bibir. Tapi sayangnya, mata elang Dion menyadarinya. “Kenapa, Din? Lo nggak percaya kalo gue bisa masak?” Dina menggigit bibirnya. Walaupun Dion sudah sering seperti itu, tetap saja Dina tidak pernah terbiasa saat Dion tiba-tiba berbicara kepadanya. Dina hanya tersenyum. “Lain kali lo bisa liat gue masak dan nyicip masakan gue, kalo lo nggak percaya,” ucap Dion lagi. “Hahaha. Nggak usah.” “Ketus amat lo. Sana hubungin Bagas. Kenapa dia belum muncul juga,” suruh Dion lagi. Dina hanya membuang muka. Sementara Rianti pun juga tidak menyahut obrolan Dina dan Dion. Dion menatap kedua perempuan itu secara bergantian. Dia mengenryit. Rasanya ada yang aneh. “Kalian berantem, ya?” tanya Dion. Deg. Dina dan Rianti kompak melotot kaget. Membuat Dion tersenyum dan semakin yakin bahwa mereka berdua memang sedang bertengkar. “Kalian beneran berantem, ya? Hahaha?” tanya Dion lagi. Rianti tertawa canggung. “Hahahaha. Nggak kok. Oh iya, kita mau beres-beres kamar lo kan?” dia juga langsung mengalihkan pembicaraan. Dion mengangguk. “Iya. Nggak banyak juga yang harus dikerjakan sebenernya. Cuma bongkar barang dan nata-nata dikit aja.” “Kalo gitu yuk langsung kita angsur aja.” ajak Rianti. Dion beralih menatap Dina lagi. “Lo nggak coba hubungi Bagas? Kenapa dia belom datang juga?” Dina mengembuskan napas kasar. “Aku akan coba menghubungi dia.” Dina sebenarnya malas, tapi dia terpaksa melakukannya. Dia coba menelepon Bagas. Panggilan itu sudah tersambung, tapi Bagas tidak kunjung menjawabnya. “Dia nggak jawab teleponnya,” ucap Dina kemudian. “Ya udah, sih… lebih baik kita mulai duluan aja,” tukas Rianti kemudian. Tapi tepat ketika akan melangkah menyusul Rianti dan Dion, ponsel di genggaman Dina berdering. Membuat langkah Dion juga Rianti terhenti dan menatap padanya. Ternyata itu adalah panggilan dari Bagas. “Halo… kamu di mana? Aku udah di rumah Dion,” ucap Dina. Terdengar suara helaan napas Bagas yang sangat jelas. “Haah. Maaf ya, Din. Kayaknya aku bakalan datang telat atau mungkin nggak bisa datang ke sana.” Bola mata Dina bergetar. “K-kenapa?” “Soalnya tiba-tiba kakek datang berkunjung dan aku jadi nggak bisa pergi,” jawab Bagas. Dina pun meneguk ludah. “Tapi coba kamu usahakan dulu… kemarin kamu malah maksa aku untuk tetap pergi, tapi kamu sendiri yang malah nggak datang.” “Iya, nanti coba aku usahakan ya. Pokoknya nggak usah menunggu aku… kalo bisa aku akan datang, tapi kalo nggak… ya mau gimana lagi.” “Oke, deh.” Dina bersuara lemas. Panggilan itu pun berakhir. “Gimana?” tanya Dion. “Dia mungkin akan datang terlambat, tapi mungkin juga tidak bisa datang,” jawab Dina. Akhirnya mereka bertiga mulai bergerak tanpa Dion. Hal pertama yang dilakukan adalah membawa barang-barang ke kamar Dion yang terletak di lantai atas. Rianti hanya memilih dus-dus yang kecil dan ringan. Sedangkan Dina mengangkut apa pun yang dia bisa. Kegiatan itu cukup melelahkan karena mereka harus bolak-balik menuruni anak tangga. Dina mencoba mengangkat sebuah dus yang cukup besar dan berat. Dion yang melihatnya pun tampak ragu untuk melarang, tapi juga tak bisa melihat Dina mengangkat dus yang berat itu. Dion terus memerhatikan Dina. Berharap gadis itu meletakkan dus itu kembali ke tempatnya dan mengambil yang lain saja untuk dibawa. Tapi ternyata Dina tetap mengangkatnya. Wajahnya langsung memerah. Dion pun juga buru-buru mengambil sebuah dus dan berjalan di belakang Dina. Dina mulai menaiki anak tangga dengan memangku dus yang berat itu. Dia bahkan kesulitan untuk melihat anak tangga di depannya. Sosok Rianti kini sedang berada di dalam kamar Dion. Dina terus melangkah menaiki tangga itu. Sementara Dion yang berada di belakangnya menatap cemas. Dia takut Dina terpeleset. Baru saja Dion memikirkannya, tiba-tiba ia tersentak saat melihat tubuh Dina yang mulai oleng. Dina terpeleset karena kakinya tidak menjejaki anak tangga dengan tepat. Dion mtelotot kaget. Dia langsung melempar dus yang dia bawa dan kemudian… Menyambut tubuh Dina di dekapannya. Deg. Dina membeku dengan bibir pucat dan mata melotot. Dus yang tadi ia bawa kini berguling-guling jatuh, hancur dan membuat isinya berserakan. “Haah… hah… hah….” Dina masih menghela napas sesak. Nyaris saja. Dia bisa geger otak jika terjatuh di anak tangga yang licin itu. Sejenak Dina masih membeku di dekapan Dion yang terasa hangat. Dion pun juga masih menatap Dina dengan tatapan marah. “Kenapa lo malah ngebawa dus yang berat itu, ha?” Pertanyaan itu membuat Dina tersadar. Dia buru-buru menjauh. Bersamaan dengan itu Rianti juga berlari keluar kamar dan kini berdiri di atas sana. Dina tersentak. Dia takut Rianti melihat apa yang sudah terjadi. Tatapan Rianti kini tertuju pada barang-barang yang berserakan di sepanjang anak tangga itu. Rianti mengernyitkan dahinya, lalu menatap Dion. “Kenapa semua berserakan seperti ini….?” tanya Rianti.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN