Dion sedang duduk di perpustakaan sambil membaca sebuah buku tua tentang sejarah kesenian kuno. Bacaan itu terasa menarik baginya. Sejak berselisih dengan Bagas, Dion jadi punya waktu sendiri setiap jam istirahat. Biasanya Dion selalu harus mengikuti Bagas. Entah itu bermain bola atau hanya sekedar mengobrol bersama. Sejujurnya Dion malah menyukai situasi seperti sekarang ini. Dia memang sudah jengah untuk berpura-pura akrab dengan Bagas. Keinginan Dion untuk menguak tabir tentang kematian Lani pun terasa memudar. Karena Dion sadar semuanya tidak berguna lagi. Semuanya tidak akan mengubah apa-apa. Semuanya tidak akan mengembalikan Lani yang sudah pergi untuk selama-lamanya. Ibu Lani sendiri bahkan sudah menyerah pada kasus itu. Sudah melupakan semuanya dan kembali melanjutkan hidup.
Dion kini tersadar bahwa satu-satunya hal yang bisa ia lakukan untuk Lani saat ini hanyalah mendoakannya. Dan tentang Dina… Dion tidak bisa menampik bahwa dia memiliki perasaan kepada Gadis itu. Akan tetapi Dion juga tidak bisa menolak fakta, bahwa Dina tidak tertarik padanya. Bahwa Dina mencintai Bagas. Kalau pun Dion membeberkan semua sisi gelap yang dimiliki oleh Bagas, tentang kebiasaan buruknya, tentang perangainya, apa Dina akan percaya?
Dion tidak mau terlihat seperti badut yang bodoh dan ia pun ingin menghentikan semuanya.
Dion berhenti membaca buku itu sebentar, lalu menghela napas panjang. Tatapannya tertuju pada jendela kaca di sampingnya. Dari sana Dion bisa melihat keluar sana. Anak-anak dengan sergaam putih abu-abu mereka sedang ramai di luar. Menikmati waktu istirahat mereka.
Dion mengembuskan napas kasar lagi, lalu mengigit bibirnya sendiri. “Hah… kenapa aku memutuskan pindah ke sekolah ini segala?”
Dion agaknya menyesali keputusan gi-la yang sudah diambilnya itu. Alasan lain kenapa Dion terlihat putus asa adalah, karena usahanya untuk menarik perhatian Dina sama sekali tidak berarti. Dion bisa merasakan dengan jelas bahwa Dina memang hanya menganggapnya sebatas teman saja.
Dion tersenyum, lalu tergelak menertawai dirinya sendiri. “Semua memang kesalahanku. Bisa-bisanya aku tertarik pada perempuan yang sudah mempunyai pacar.”
Dion geleng-geleng kepala, lalu lanjutkan membaca membukunya.
Tapi beberapa saat kemudian, Dion menatap gusar saat melihat sosok Rianti yang datang menghampirinya. Rianti langsung duduk di hadapan Dion, lalu bertingkah sok cantik seperti biasanya.
“Hei! Ternyata lo di sini. Gue udah nyariin lo ke mana-mana,” tukas Rianti.
Dion hanya sedikit menyunggingkan senyum dan itu pun dia lakukan dengan susah payah.
“Lo udah makan? Kita ke kantin dulu yuk!” ajak Rianti.
“Lo nggak liat kalo gue lagi baca buku?” Dion menatap kesal.
Rianti mengernyit sebentar. Sedikit kaget dengan sikap ketus itu. Tapi kemudian dia tersenyum lagi. Seolah-olah tidak peduli dengan Dion yang jengkel. Rianti tahu bahwa kedatangannya tidak disukai oleh Dion, tapi dia tidak akan pergi dari sana.
Suasana menjadi hening beberapa saat.
Dion lanjut membaca bukunya. Sedangkan Rianti hanya duduk tenang menatapnya.
Rianti memang tidak bersuara lagi, tapi Dion tetap tidak bisa tenang sama sekali. Dion melirik Rianti, saat itu juga Rianti langsung tersenyum padanya.
Senyuman itu malah membuat Dion semakin risih. Dia akhirnya bangun berdiri, tapi Rianti langsung berbicara.
“Gue mau bicara sama lo sebentar….”
“Apa lo nggak tau kalo diperpustakaan itu nggak boleh ribut?” tanya Dion.
Rianti menatap serius. “Sebentar aja.”
Dion tidak peduli dan bermaksud untuk melangkah pergi.
“Lo gagal mencetak gol itu karena Dina, kan?” tanya Rianti.
Deg.
Dion terkejut. Langkahnya terhenti. Dia memutar tubuhnya menatap Rianti dan akhirnya kembali duduk di bangkunya. Menatap Rianti tajam. Sementara gadis itu menatapnya seraya mengulum senyum.
“Apa maksud lo?” tanya Dion.
Rianti mengembuskan napas kasar sejenak. “Gue tau kalo waktu itu konsentrasi lo buyar karena melihat Dina yang jatuh. Iya, kan?”
Kedua bola mata Dion tersentak, terlihat jelas bahwa dia gugup. Tapi kemudian Dion tersenyum. “Omong kosong macam apa itu!”
“Gue rasa itu bukan omong kosong. Sekarang gue jadi bertanya-tanya apa alasan lo mau pindah ke sekolah ini sebenarnya. Apa benar karena lo ingin lebih dekat dengan Bagas… atau karena lo pengen deket sama Dina?” Rianti tersenyum.
Dion menatap jengkel. Wajahnya terasa panas sekarang. “Lo ngomong apa sih?”
“Lo cuma perlu menjawab pertanyaan gue tadi. Bener kan? Konsentrasi lo buyar karena melihat si Dina terjatuh?”
“Gue nggak perlu menjawab pertanyaan yang super konyol itu!” bantah Dion.
“Semua akan berubah jadi serius kalo Bagas mengetahuinya… mengetahui alasan kenapa lo gagal mengeksekusi umpan darinya itu,” ucap Rianti lagi.
Dion benar-benar terperangah. “Mau lo apa sih? Apa sekarang lo sedang mengancam gue, ha?”
Rianti malah tertawa kecil. “Apa sekarang lo merasa terancam? Berarti semua benar dong. Iya, kan?”
Dion meneguk ludah. Ternyata Rianti jauh lebih licik dari dugaannya. Rianti kini sedang mempermainkan Dion dengan kelemahan Dion yang sudah diketahuinya.
“Jadi alasan lo menolak gue juga karena Dina?” Rianti kembali bertanya.
Dion tidak menjawab. Hanya menatap tajam dengan telapak tangan yang mengepal kuat. Sementara itu Rianti melipat tangannya, lalu mengangguk-anggukkan kepala pelan.
“Bahkan gue ngerasa kalo lo lebih tenang karena tidak berteman dengan Bagas, iya kan?” tanya Rianti.
Dion akhirnya kembali bangun. “Gue nggak ngerti dengan semua omong kosong lo itu.”
“Lalu jika bukan karena Dina… apa jangan-jangan lo sengaja gagal?”
Lagi-lagi pertanyaan yang membuat kening Dion bellipat. “Apa lagi maksud lo, ha?”
Rianti juga berdiri. “Karena memang hanya ada dua kemungkinan. Pertama adalah konsentrasi lo buyar karena melihat Dina terjatuh. Kedua… lo memang sengaja mengagalkan semuanya karena dendam masa lalu.”
Dion menatap nanar. “Dendam masa lalu?”
Rianti mengangguk. “Iya. Bisa saja selama ini lo nggak pernah tulus berteman dengan Bagas. Bisa saja semua yang lo lakuin ini cuma fake! Palsu! Karena lo menunggu waktu yang tepat untuk membalas rasa sakit hati lo….”
Dion menyapu wajahnya dengan telapak tangan. Merasa syok karena Rianti bisa membaca dirinya.
“Otak lo sakit! Apa sekarang lo sedang menulis novel atau apa, ha?” Dion masih berusaha untuk mengelak.
Rianti tertawa. “Tapi kedua jawaban itu pun pasti akan membuat Bagas murka.”
“Apa lo seperti ini karena gue menolak elo, ha?” tanya Dion. “Denger ya... sikap lo yang seperti ini hanya akan ngebuat gue semakin ilfeel sama lo!”
Setelah berkata tajam seperti itu, Dion pun melangkah pergi. Namun kemudian Rianti kembali berbicara.
“PENGAGUM RAHASIA…,” ucapnya.
Deg.
Lagi-lagi Dion tersentak. Dia berbalik pelan menatap Rianti yang kini juga memandangnya.
“Pengagum Rahasia… itu adalah nama akun i********: lo yang selama ini menghibur dan menjadi teman baik Dina di sosial media, kan?” tanya Rianti dengan mata yang menatap tajam.