Kekalahan tim Garuda dalam pertandingan final itu pun menjadi momentum perang dinging antara Dion dan Bagas. Sudah beberapa hari berlalu, namun Bagas sepertinya masih belum bisa menerima kenyataan. Dia masih merasa kesal kepada Dion. Bagas tak lagi menegur sapa Dion. Mereka juga tidak lagi berkumpul bersama untuk bermain. Bagas hanya dilamun oleh rasa kecewa yang teramat sangat. Karena ia memang sudah sangat percaya pada Dion. Niat hati Bagas ingin ‘mengangkat’ Dion. Membuat agar gol penyelamat tim itu berasal dari kaki Dion, sahabatnya, tapi ternyata… Dion malah melakukan kesalahan fatal yang akhirnya membuat mereka kalah telak.
Dina mengembuskan napas kasar dan kembali melirik Bagas yang duduk di depannya. Bagas duduk terpekur di kursi taman sekolah. Sedangkan Dina berdiri di hadapannya. Sudah beberapa hari ini juga Bagas menjadi badmood bahkan terhadap Dina sendiri.
“Padahal baru kemarin itu kamu menasehati aku agar menerima Dion sebagai teman kita. Tapi sekarang malah kamu yang memutus sendiri hubungan pertemanan itu,” ucap Dina.
Bagas membuang muka. Sepertinya ia enggan membahas tentang Dion.
“Ayolah! Kamu nggak boleh bersikap kekanak-kanakkan seperti ini. Lagi pula dia sudah meminta maaf, kan.” Dina kembali berkata.
Bagas menatapnya. “Kamu kenapa jadi belain dia?”
“Ya ampun, Bagas. Aku bukannya belain dia. Tapi aku cuma berkata apa adanya. Lagian aku yakin kalo kamu juga nggak mau musuhan sama Dion kan?”
Bagas terdiam.
Dia memang sangat menyukai Dion sebagai sahabatnya. Dia sangat senang bermain bersama Dion.
“Aku sudah melihat bagaimana kamu berteman dengan orang lain, tapi kamu memperlakukan Dion secara berbeda. Aku tahu kamu senang berteman dengannya iya, kan? Tapi sekarang kamu malah menyulut perselisihan,” tukas Dina lagi.
“Aku hanya kecewa!” Bagas akhirnya bersuara. “Aku hanya kecewa dan masih marah sama dia. Aku emang nggak mau musuhan sama Dion. Tapi untuk saat ini rasa kesal di hati aku itu belum bisa reda. Aku masih emosi setiap kali melihat Dia. Aku belum bisa.”
Dina mengangguk. “Kalau begitu aku pun juga nggak bisa berbuat apa-apa.”
Bagas menatap Dina, lalu tersenyum getir. “Aku cuma nggak percaya aja kalau dia gagal mengeksekusi umpan yang sangat bagus itu. Dia hanya perlu menendang sedikit saja. Dia bahkan tidak perlu mengerahkan banyak tenaga untuk menendang bola itu ke gawang. Jika aku bersikap egois saat itu, aku bisa saja langsung menendang bola ke gawang, tapi aku menghargai dia sebagai partnerku. Aku memercayai Dion sebagai rekan yang aku andalkan, tapi….”
Dina menatap Bagas lekat-lekat. Gurat wajah kecewa itu memang terlihat jelas di wajah Bagas. Menyiratkan sejuta kecewa yang belum juga pergi dan sirna.
Dina akhirnya duduk di samping Bagas, lalu menepuk-nepuk pundaknya pelan. “Iya… iya… aku mengerti kalau kamu masih belum bisa maafin Dion. Tapi aku hanya nggak mau kamu terlalu lama menyimpan amarah.”
“Kenapa? Apa karena kamu peduli sama Dion?” tanya Bagas.
Dina menggeleng. “Tentu saja bukan. Justru karena aku peduli sama kamu.”
“Sama aku?”
“Iya. Aku nggak mau kamu menyimpan amarah terlalu lama, karena itu hanya akan merusak diri kamu sendiri,” jelas Dina. “Coba pikirkan lagi baik-baik. Emosi dan amarah itu hanya membuat diri kamu sendiri resah, kan? Sementara semua sudah berlalu. Semua sudah terjadi. Kita tidak bisa lagi kembali memutar waktu dan juga mengubah masa lalu. Apa dengan memendam amarah hasil pertandingan kemari itu bisa berubah?”
Bagas menggeleng.
Dina pun lanjut berbicara. “Enggak, kan? Jadi intinya semua perasaan marah kamu saat ini hanya sia-sia saja. Hanya akan menyiksa diri kamu sendiri.”
Bagas menggaruk kepalanya sendiri. “Aku hanya bingung dan juga nggak tau lagi sekarang harus berbuat apa.”
Dina tersenyum. “Yang harus kamu lakukan hanya dua saja.”
“Apa itu?”
“Pertama terima semua yang sudah terjadi alias ikhlas. Dan yang kedua adalah move on dari semuanya.”
“Hanya itu saja?” tanya Bagas.
“Kalau kamu move on… kamu bisa beranjak memikirkan hal yang lainnya. Mungkin kamu dan Dion bisa saja mendapatkan kesempatan lain yang lebih bagus. Bukannya dulu kamu juga pernah mengatakan, bahwa kamu berencana ingin membentuk tim sendiri bersama Dion. Siapa tahu tim itulah nanti yang akan mengantarkan kamu pada prestasi yang lebih baik. Iya, kan?” tanya Dina.
Sepertinya Dina sangat berusaha keras untuk menjernihkan pikiran Bagas yang sudah terlanjur buram.
Bagas terdiam lama. Memikirkan setiap perkataan yang terlontar dari bibir Dina. Setelah cukup lama terdiam, akhirnya terlihat Bagas mengangguk-anggukkan kepalanya samar.
“Kamu benar juga. Aku masih punya banyak mimpi yang lebih besar lagi,” lirih Bagas.
Dina mengangguk. “Iya. Terus satu hal lagi. Apa kamu udah nggak pengen main bola bareng Dion lagi? Kamu sendiri yang mengatakan bahwa dia adalah partner terbaik yang pernah kamu temui sejauh ini.”
“Aku masih ingin terus bermain bersamanya,” kata Dion.
Dina mengulum senyum. “Lalu dengan kamu bersikap acuh padanya, menatap sengit dan membuang muka padanya, apa kamu pikir dia masih akan mau bermain bola bareng kamu?”
Bagas seperi tersadar, lalu menggelengkan kepala. “Dia tidak akan mau.”
“Jadi sekarang kamu tahu, kan harus apa?” tanya Dina lagi.
Bagas tidak menjawab, tapi kedua sudut bibirnya terangkat. Dia tersenyum dan menatap Dina lekat-lekat.
Aksi Bagas itu pun malah membuat Dina mengernyit bingung.
“Kenapa kamu malah senyum-senyum seperti itu menatap aku?” tanya Dina.
Bagas tersenyum lebih lebar lagi. Sebuah senyuman yang terlihat tulus.
“Sejak kapan kamu jadi dewasa seperti ini, Din?” tanya Bagas.
Dina berdehem dan sedikit mengibaskan rambutnya. “Aku emang selalu dewasa seperti ini. Kamu saja yang nggak pernah menyadarinya.”
Bagas tergelak, lalu memandang Dina lagi dengan tatapan penuh cinta. Bagas harus mengakui bahwa perasaannya terhadap Dina semakin hari semakin tumbuh subur. Bagas perlahan-lahan bahkan bisa menepikan otak kotornya tentang Dina. Tentang keinginan-keinginan nafsu duniawi yang sangat lekat dengan kehidupannya. Semakin lama Dina semakin terlihat menarik di mata Bagas.
Semua itu membuat Bagas ingin coba mengubah dirinya menjadi lebih baik. Dia ingin meninggalkan kebiasaan buruknya. Meskipun prosesnya mungkin akan panjang dan juga tidak mudah. Tapi Bagas kini memiliki sebuah tekad di hatinya. Bagas seperti memiliki sebuah misi baru.
Yaitu menjadi manusia yang lebih baik lagi untuk Dina.
“Kenapa kamu malah bengong, sih?” sergah Dina.
Bagas tersadar dan kemudian berkata. “Aku sayang kamu Din… sangat sayang sekali….”