89. Akhir Laga Panas

1017 Kata
Rianti akhirnya bungkam setelah Dina bersuara. “Kamu yang cemburu, kan?” Dina mengulangi pertanyaannya. Rianti melengahkan wajah. Tidak lagi menatap Dina. Dia jengkel dengan pertanyaan itu. Dina pun geleng-geleng kepala. “Aku bener-bener nggak ngerti sama jalan pikiran kamu. Bisa-bisanya kamu cemburu sama aku? Sama aku yang jelas-jelas adalah teman kamu. Oke fine… mungkin memang hubungan kita akhir-akhir ini memang sudah merenggang. Aku pun sadar kalo sikap kamu sudah sangat jauh berubah. Tapi… aku sudah punya pacar dan pacar aku juga teman kamu sendiri! Jadi bagaimana bisa kamu cemburu sama aku yang jelas-jelas juga tidak melakukan apa-apa, ha?” Dina menyuarakan isi hati yang selama ini ditahannya. Pernyataan Dina itu membuat Rianti semakin salah tingkah dan tidak berani menatap Dina. “Jadi aku harap kamu berhenti dengan semua omong kosong kamu itu,” ucap Dina lagi. Rianti mendesah. “Emang ada jaminannya kalo lo nggak akan suka sama Dion?” Dina terpana. Benar-benar tak habis pikir dengan isi kepala Rianti padahal Dina sudah mengatakan semuanya dengan sangat jelas. “Apa lo bisa ngejamin kalo lo nggak akan suka sama dia?” Rianti menatap lekat-lekat. Seakan-akan dia menanti sebuah jawaban untuk menenangkan jiwanya sendiri yang selalu dilanda oleh rasa gelisah. Dina juga menatap Rianti lekat-lekat. Dengan wajah merah padam karena berusaha keras menahan amarah. Tapi kemudian Dina mengangguk yakin. “Tentu saja… AKU TIDAK AKAN PERNAH MENYUKAI DIA!” Rianti tak lagi bersuara setelah mendengar jawaban Dina. Fokus mereka berdua kemudian tertuju lagi pada pertandingan yang sudah memasuki menit-menit terakhir. Hanya tersisa sekitar tiga menit lagi sebelum pertandingan berakhir. Saat ini Dion dan Bagas terlihat sedang bekerja sama menggiring bola menuju gawang lawan. Bola itu terus di oper, melambung tinggi dan kemudian berakhir di kaki mereka lagi. Dion dan Bagas mengerahkan tenaga mereka. Terus berlari. Bola itu kini di arak oleh Bagas yang sudah berada di bibir gawang. Dion berdiri di sisi yang lain. Semua orang pasti mengira kalau Bagas akan langsung menendang bola itu ke gawang. Perhatian sang penjaga gawang pun juga hanya terfokus pada Bagas. Tatapan mata Bagas tertuju ke gawang itu, kakinya mengayun kencang, lalu menendang bola. Ternyata…. Bagas malah mengopernya pada Dion. “AYO DIOOON…!” pekik Bagas setelah mengoper. Si kulit bundar itu hinggap di kaki Dion. Dengan cepat dia sedikit melesat untuk memperpendek jarak dengan gawang. Dion bersiap menendang bola. Tapi pada saat itu… Perhatiannya justru tertuju ke tepi lapangan sana. Dina tersungkur ke pinggir lapangan setelah seseorang berlarian di belakangnya dan menabrak Dina. Dina terlihat meringis sebentar, lalu kemudian dia bangun kembali dengan sedikit susah payah. Dion malah terfokus pada Dina yang terjatuh itu. Dia bahkan nyaris berlari ke sana untuk melihat keadaan Dina. Bersamaan dengan itu seorang pemain lawan langsung merebut bola dari kaki Dion dan menendangnya jauh-jauh. Bagas tersentak. Menatap nanar dengan apa yang baru saja terjadi. Padahal Dion tinggal mengeksekusi umpan pendeknya itu dengan baik. Padahal Dion harusnya mencetak gol yang akhirnya akan memberikan kesempatan pada tim mereka untuk mendapatkan babak tambahan. Bagas masih menatap nanar pada Dion yang juga termenung di tempatnya berdiri. Dan beberapa saat kemudian terdengar suara pluit yang ditiup kencang dan sangat keras. Tim Rajawali pun bersorak senang merayakan kemenangan mereka. Mereka kalah. Tim Garuda tidak berhasil menjadi pemenang dalam laga yang sudah mereka persiapkan sejak jauh-jauh hari. Keadaan berubah suram. Satu persatu pemain berangsur ke tepi lapangan dengan wajah lelah. Rianti yang tadinya bersemangat bersorak pun kini juga tertegun. Dia menyadari satu hal yang mulai mengusik pikirannya. Rianti kembali menatap Dion di ujung sana, lalu beralih menatap Dina yang kini meringis di sampingnya setelah terjatuh itu. Kenapa? Rianti kini mulai bertanya-tanya. Dia merasakan sebuah perusahaan ganjil yang langsung menganggu pikirannya. Kenapa timing-nya sangat pas sekali? Kenapa Dion tidak jadi menendang bolanya saat Dina terjatuh? Rianti menelan ludah dengan susah payah. Instingnya pun memberi peringatan dengan cepat. Rianti menyadari satu hal setelah kejadian itu. Dina memang tidak menyukai Dion. Tapi… DION-LAH YANG MENYUKAI DINA. Sementara itu di tengah lapangan sana… Bagas pun menghampiri Dion yang masih terpekur. Sejenak Bagas hanya diam sambil berkacak pinggang. Bagas pun bingung bagaimana harus berkata-kata dalam situasi saat itu. “Lo itu kenapa sih? Harusnya lo tadi itu bisa mencetak gol dengan mudah!” pekik Bagas kemudian. Dion hanya terpekur. Dia masih menatap nanar ke ujung sepatunya sendiri. “Sebenernya gue bisa aja langsung mencetak gol! Gue bisa mencetak angka! Tapi gue melihat lo di sana! Gue percaya sama lo, tapi….” Bagas tidak bisa menyelesaikan kalimatnya dan mengembuskan napas frustasi. Dion menatap Bagas sebentar, lalu kemudian menekurkan kepalanya lagi. “M-maafin gue….” Bagas merasa kesal. Sungguh menjadi sebuah penyesalan baginya karena sudah mengoper bola itu kepada Dion. “Kenapa? Kenapa lo tiba-tiba kehilangan fokus dan konsentrasi seperti itu, ha?” tanya Bagas. Dion mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Dia tidak mungkin menjawab pertanyaan itu. Dia tidak mungkin mengatakan bahwa konsentrasinya buyar karena melihat Dina yang terjatuh. “Gue bener-bener kecewa sama lo.” Bagas berkata lirih dan kemudian juga beranjak pergi. Dion pun mengembuskan napas sesak. Bersama peluh yang masih mengucur di wajahnya. Dia menatap Bagas yang melangkah pergi. Juga menatap anggota tim lain yang kini tampak sedang berbisik-bisik dan juga menatap padanya. Semua orang tentu akan menyalahkan Dion atas kekalahan itu. Semua orang kini akan menganggap bahwa kegagalan mereka adalah karena Dion penyebabnya. Keadaan yang membuat Dion merasa sesak untuk sejenak. Dan setelah itu keadaan benar-benar terasa buruk bagi Dion. Akhir dari pertandingan itu sekaligus menjadi penutupan laga turnamen yang sudah berlangsung. Sang jawara kini menerima piala besar dan juga hadiah berupa uang tunai dengan nominal yang cukup fantastis. Sorak sorai kegembiraan itu begitu menggema. Diiringi oleh suara tepuk tangan dan juga teriakan penonton. Kilatan lampu kamera juga tak henti-henti menyorot sang tim pemenang. Sementara itu… Tim Garuda tampak sendu. Yang paling terpukul atas kekalahan itu adalah Bagas. Ia kini terduduk lesu dengan tatapan kosong. Kedua pundaknya masih naik turun karena napas yang sesak. Dia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa Dion mengabaikan umpan darinya. Bahwa Dio malah termenung hingga akhirnya bola di kakinya bisa direbut dengan mudah oleh tim lawan. Bagas pun kini larut dalam tanda tanya. Kenapa? Kenapa Dion tidak bisa memberikan jawaban atas pertanyaannya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN