Kita Tidak Boleh Saling Jatuh cinta - 02

1111 Kata
Dina menjinjit langkah pelan melewati bagian samping rumahnya untuk masuk melalui pintu belakang. Masuk melalui pintu depan sama saja dengan misi bunuh diri. Pintu belakang rumahnya yang langsung terhubung dengan dapur sangat mudah untuk dibuka, hanya perlu dicongkel sedikit saja menggunakan sebuah kayu kecil untuk membukanya. Dina menahan napas dan mencongkel pintu itu dengan sebuah paku panjang yang dia pungut di lantai. Kreek. Pintu itu mengayun pelan dan Dina pun lekas masuk dengan sangat hati-hati. Suasana di dalam rumah sangat gelap. Sepertinya semua orang sudah tertidur lelap. Baguslah. Memang itu yang diharapkan oleh Dina. Gadis itu terus melangkah pelan dalam kegelapan menuju kamar sambil menenteng sepatu sekolahnya. Dia hanya perlu melangkah beberapa saat lagi. Tap. Tap. Tap. Dina akhirnya tiba di depan pintu kamarnya. Jemarinya mulai meraih gagang pintu, tapi tiba-tiba saja lampu di ruangan itu langsung menyala. "DARI MANA SAJA KAMU, HA ...!!!" hardikan dengan nada penuh kebencian itu langsung membuat Dina terkejut. Dina sontak membeku dengan mata melotot. Sementara seorang wanita dengan rambut bergelombang terlihat melipat tangannya di dada dan menatap tajam. "KAMU DARI MANA...!?" bentaknya lagi. Dina berbalik pelan, lalu tersenyum cemas. "A-aku ...." "Lihatlah perangaimu itu. Sekarang kamu bahkan keluyuran di malam hari. Benar-benar anak yang tidak bisa diharapkan. Mau jadi apa kamu nanti? Bukannya rajin belajar malah sibuk berkeliaran tak jelas." Dina mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat, lalu menatap tajam dari balik kacamatanya. "Memangnya Mama peduli ...? Belajar ...? Untuk apa lagi aku belajar saat Mama sudah terang-terangan mengatakan bahwa tidak akan membiayai kuliah aku nantinya!" Wanita berusia 45 tahun itu tidak menjawab. Keheningan menyebar sekian detik, hingga kemudian dia kembali bersuara. "Gara-gara kamu keluyuran dan nggak ada di rumah, Varrel jadi kesulitan menyelesaikan PR-nya!" Dina menatap nanar. "Jadi itu alasannya Mama marah? Hah ... bukan karena khawatir aku telat pulang ke rumah?" Sang mama hanya berdehem dengan bibir yang masih bergerak-gerak pelan. "Varrel ... Varrel dan Varrel ...!!! Yang ada dipikiran Mama hanya dia!" teriak Dina. "CUKUP ...!!!" sang Mama menghardik keras, lalu menatap ke pintu kamar di ujung sana. "Sebaiknya kamu diam sebelum membangunkan mereka." "Walaupun aku tau bahwa aku adalah anak yang tidak diinginkan, tapi ... Bukankah semua ini keterlaluan?" tanya Dina dengan suara lirih. Sang mama tidak menjawab dan berlalu pergi meninggalkan Dina yang sudah meneteskan air mata. Pilu itu kembali datang menyapa. Padahal beberapa saat lalu Dina masih merasa sangat bahagia karena bisa melihat idolanya. Semua kesenangan yang dia rasakan seketika menguap. Tatapan gadis itu beralih pada sebuah potret yang tergantung di dinding. Di sana terlihat potret sang mama tersenyum manis bersama suaminya dan di tengah-tengah mereka juga terlihat seorang anak laki-laki berbadan gembul yang juga tertawa hingga matanya menyipit. Kalian benar, itu adalah foto keluarga. Tapi .... Dina tidak ada di sana. Dina adalah anak yang tidak diharapkan. Dina adalah anak yang tidak diinginkan. Kelahirannya ke dunia ini membawa sebuah luka dan pengalaman pahit bagi sang mama. Sang mama menjadi korban pemerkosaan di masa lalu... Kejadian itu berawal saat dia berjalan sendirian di tengah malam di gang yang sempit dan gelap. Tiba-tiba dia disekap oleh kawanan lelaki tak dikenal dan dibawa ke sebuah gedung tua yang kosong. Di sana sang mama mendapatkan perlakuan yang keji. Dia digilir secara bergantian oleh orang-orang yang bahkan hingga detik ini masih tidak diketahui identitasnya. Kejadian itu membuat mama Dina mengalami depresi berat. Dia bahkan juga terpaksa putus kuliah kala itu. Kejadian pilu itu benar-benar merenggut dan mencabik-cabik masa depannya. Namun masih ada hal mengerikan lainnya yang terjadi. Sang mama dinyatakan hamil. Awalnya dia pun berusaha menggugurkan kandungannya dengan berbagai cara. Namun janin di rahimnya tetap bertahan hingga lahir ke dunia. Bayi perempuan itu terlahir dengan sehat meskipun ibunya sudah melakukan berbagai cara untuk mencoba merusak dan membunuhnya. Kelahiran Dina memang sebuah tragedi. Sang mama bahkan enggan memberikannya ASI. Dia tidak pernah menyentuh Dina sama sekali.  Bahkan suatu ketika sang mama pernah hampir membunuhnya dengan sengaja menutupi wajah Dina yang masih bayi menggunakan bantal. Untunglah sang nenek memergokinya dan menggagalkan kegilaan itu. Dina pun tumbuh tanpa kasih sayang dari ibunya. Dina dirawat oleh sang nenek yang sudah renta. Beruntung sang mama menemukan seorang lelaki yang sangat mencintainya. Lelaki itu juga bisa menerima segala masa lalu sang mama. Lelaki itu pun menyayangi Dina seperti anak kandungnya sendiri. Lelaki itu juga yang akhirnya membawa Dina untuk tinggal bersama mereka. Akan tetapi ... Sang mama masih tetap dengan kebenciannya. Dina mengerti akan hal itu. Dia juga berusaha untuk memahaminya. Dia mengerti jika sang mama selalu teringat kejadian pilu itu saat melihatnya. Hadirnya memang sebuah mapetaka. Namun ... Apakah itu berarti dia tidak berhak untuk hidup bahagia? . . . . Malam ini Dina kembali larut dalam pedih yang membelit hati. Gadis itu termangu duduk di atas kasurnya sambil membenamkan wajahnya di antara kedua lutut. Dia merasa kesal. Dina selalu merasa cemburu melihat Varrel yang selalu mendapatkan limpahan kasih sayang. Varrel selalu saja di manja. Sang mama selalu memasakkan makanan kesukaannya. Sang mama selalu membelikan semua keinginannya. Sang mama selalu memeluk dan mengecup keningnya dengan mesra. Mereka juga kerap tertawa dan bercanda bersama. Dan Dina ... Hanya bisa menutup mata setiap melihat semua itu. Rasa cemburu selalu membelit hati. Rasa iri tentu saja tumbuh semakin subur setiap harinya. Dina tak mengelak bahwa dia juga menginginkan hal yang sama. Dia juga menginginkan sebuah perhatian. Dia juga ingin ditatap dengan lembut. Dia juga ingin mendapatkan kasih sayang. Namun Dina sadar akan siapa dirinya. Dia sadar bahwa semua itu hanya akan menjadi sebatas angan yang tidak akan pernah menjadi nyata. Sang mama bahkan tidak pernah sekalipun tersenyum kepadanya, lantas bagaimana dia bisa mengharapkan sesuatu yang lebih dari itu? Dina menyeka sisa-sisa air mata yang melekat di pipi. Kacamatanya kini sudah buram dan berembun. Dina melepas kacamata itu dan kembali mengembuskan napas panjang. Gagang kacamata itu bahkan sudah patah. Dina kembali menyambungkannya menggunakan lem super dan juga selotip di bagian luarnya. Dia tidak berani untuk meminta kacamata baru pada sang mama. Sepertinya dia harus kembali menabung uang jajan yang diberikan oleh Om Tio - papa tirinya untuk membeli sebuah kacamata baru. "Aku benar-benar merasa lelah."Dina berbisik lirih. Dina kemudian berbaring dan mengeluarkan handphone-nya. Jemarinya dengan cepat membuka folder galeri yang bertuliskan BM. Dia membuka sebuah foto dan kemudian menatapnya lekat-lekat. Sorot mata Dina terlihat sangat sayu dan lemah. Tapi tak lama kemudian bibirnya tersenyum pelan. Ada damai yang mulai membuatnya tenang. Semua memang terasa tidak masuk akal, tapi bagi Dina ... Memandang potret sosok idolanya itu saja memang mampu mengusir segala gundah. Dina pun mendesah pelan, lalu mendekap handphone itu di dada. Gadis itu kemudian mulai memejamkan mata. "Aku harap kita bisa bertemu di mimpi malam ini ...."Dina berbisik pelan dengan bulir air mata yang kembali mengalir dari kelopak matanya yang sudah terpejam. _
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN