3. Dion Winata

2045 Kata
Terlihat sebuah rumah kayu dengan lantai panggung yang cukup luas dan sangat bersih. Rumah kayu itu bercatkan warna hijau muda bercampur putih. Pondasi dindingnya memakai tembok hanya sekitar setengah meter saja. Setelah itu semua bangunan di dominasi oleh dinding-dinding kayu dan kaca jendela yang kokoh. Halamannya cukup luas dan ditutupi oleh rumput Jepang yang terawat. Suasananya terasa sangat asri dan nyaman. Ada empat buah anak tangga di depan terasnya. Di depan teras terdapat dua buah kursi dan satu meja dari rotan yang tampak artistik. Terasnya pun cukup luas. Rasanya pasti menyenangkan menghabiskan secangkir teh seraya menikmati pagi dan senja hari di sana. Memasuki rumah, kita akan di sambut dengan ruang tamu minimalis dengan sofa empuk berwarna cokelat susu. Nuansa dalam rumah ternyata berbeda dengan bagian luarnya. Jika bagian luar identik dengan warna hijau, maka bagian dalam di dominasi oleh warna-warna pastel perpaduan antara cokelat susu, cream dan juga putih. Ruang tamu itu terkesan polos dan terasa luas. Melangkah lebih dalam, terdapat tirai dari rajutan kerang-kerang berbagai rupa yang memisahkan antara ruang tamu dan ruang televisi. Ada dua kamar di sisi sebelah kiri ruang televisi itu dan satu pintu kamar lainnya di sisi sebelah kanan. Dan memasuki pintu di belakangnya, terlihat dapur yang bersih dan juga tertata rapi. Terdengar suara air yang mendidih. Panci berisi sup tahu yang masih berada di atas kompor yang menyala itu mulai bergolak dan juga mengepulkan asap. Di sebelahnya juga ada sebuah wajan yang berisi makanan khas Sumatera Barat, yaitu rendang yang sedang dipanaskan. Mejikom di sisi lain pelataran dapur itu pun baru saja mengeluarkan bunyi ‘KLIK’ menandakan nasi itu sudah matang. Dapur itu pun juga sangat luas karena langsung tergabung dengan ruang makan di sebelahnya. Ruang makan dengan meja bundar dari kayu jati asli dan empat buah kursi yang mengelilinginya. Tepat di samping meja makan itu, terdapat jendela dan pintu dari kaca yang langsung terhubung dengan halaman belakang. Tenang dan damai. Itulah dua kata yang tepat untuk menggambarkan situasi rumah itu. Tak lama kemudian terdengar suara derap langkah kaki yang berlari memasuki dapur. Sebuah jemari yang putih bersih langsung mematikan api kompor. Ia kemudian menghirup aroma sup yang menusuk hidung. Ia tersenyum. Aromanya harum khas rempah-rempah yang menyegarkan. Tangannya beralih mengambil sebuah sendok dan mencicipi sup buatannya. “Enak,” desisnya pelan. Uap dari sup yang panas itu pun membuat kacamata yang melekat diwajahnya mengembun. Ia melepas kacamata itu sebentar, lalu mengelapnya memakai ujung bajunya. Sosok itu kemudian sibuk menyiapkan semua makanan itu ke atas meja makan. Ia tak henti hilir mudik untuk menyiapkan semuanya. Namanya Dion Winata. Seorang remaja laki-laki berumur tujuh belas tahun yang memiliki hobi memasak. Dion adalah tipikal anak rumahan yang lebih senang menyendiri di dalam kamarnya daripada harus keluyuran bersama teman-teman di luar sana. Dion itu berkulit putih, tinggi, dan sedikit kurus. Rambutnya ikal dan bergelombang. Fitur wajahnya biasa saja. Tidak mancung, bermata tajam, beralis menukik seperti tokoh-tokoh utama pria dalam cerita. Dion biasa-biasa saja. Hidungnya tidak mancung dan juga tidak pesek alias sedang-sedang saja. Alis matanya cukup tipis. Matanya sedikit belo dengan bulu mata yang lentik. Bibirnya sedikit tebal dan ada tiga buah tahi lalat kecil di pipi sebelah kanannya. Fitur yang menonjol di wajahnya adalah lesung pipit di kedua pipinya yang akan terlihat jelas saat dia tersenyum. Dion masih sibuk menata piring dan berbagai peralatan makan lainnya. Setelah semuanya selesai, ia pun tersenyum senang. “Oke… sekarang aku hanya perlu mandi dan menunggu papa pulang dari kantor.” Dion lalu berlari ke kamarnya. Ia menyiapkan baju ganti dan meletakkannya di atas kasur. Setelah itu dia menjangkau sebuah handuk dan kemudian berlari lagi ke kamar mandi. Suara guruyan air pun kemudian terdengar. Dion sibuk dengan ritual bersih-bersihnya sambil sesekali bernyanyi entah lagu siapa yang ia nyanyikan. Selain memasak, hobi lain Dion adalan beres-beres rumah atau pun kamarnya. Dia sangat antusias dengan desain dan juga penataan ruangan. Tak heran bahwa keadaan kamarnya bisa berubah setiap minggunya. Saat mendapatkan ide dekorasi di kepalanya, Dion pun akan langsung mewujudkannya. Dan karena hobinya itu jugalah Dion kini memiliki sebuah cita-cita untuk menjadi seorang desain interior. Lagu dari Shawn Mendes yang berjudul Wonder mengalun keras menemani Dion yang kini sedang berganti pakaian. Ia memakai setelan baju kaos warna putih dengan celana boxer selutut berwara hitam. Rambutnya hanya di keringkan menggunakan handuk dan tidak di sisir. Jangan tanya keadaan kamarnya. Sudah pasti sangat rapi, bersih dan juga estetik. Tema kamar Dion saat ini adalah black and dark grey. Semua menjadi hitam dan abu-abu. Dinding kamarnya dicat berwarna abu-abu di dua sisi dan hitam di dua sisi lainnya. Seprai kasurnya warna hitam motif kotak-kotak dengan garis putih. Di samping kasur, ada meja nakas tempat lampu tidur dan juga jam weker. Lantai kayu di kamar itu membuat suasananya terasa hangat. Ada sebuah karpet buu-bulu lembut berwarna abu-abu juga di sana. Beranjak ke sisi lainnya, ada meja belajar yang terlihat rapi. Di atas meja belajar itu, terdapat rak buku yang didesain langsung melekat dengan dinding kamar. Buku-buku tebal dan berbagai ukuran pun berjejer rapi di sana. Berwarna-warni, terlihat seperti sebuah perpustakaan pribadi yang mengagumkan. Peralatan tulis tertata rapi. Pena-pena dan pensil terlihat tersusun di dalam gelas-gelas warna hitam yang juga artistik. Dion memang selalu mengumandangkan sebuah konsep kehidupan yang selama ini ia junjung tinggi. Konsep itu adalah… kamarku adalah surgaku. Mungkin sebagian orang akan menganggapnya sedikit aneh. Apalagi Dion adalah seorang anak laki-laki. Akan tetapi dia bukan tipikal orang yang peduli dengan komentar dan tanggapan orang lain terhadap kehidupannya. “PAPA PULANG…!!!” Suara yang terdengar dari luar itu membuat Dion bergegas keluar. Ia menyambut sang papa yang baru saja pulang bekerja. Seorang lelaki berusia lima puluhan berbadan bugar tersenyum seraya mengangkat sebuah kantong di tangannya. “Apa itu, Pa?” tanya Dion. “Donat kentang dengan bubuk gula kesukaan kamu!” Dion tersenyum senang. “Wah… dalam rangka apa nih, papa ngebeliin aku donat segala?” “Kamu ingat tidak, kasus sengketa lahan yang kemarin papa tangani itu?” Dion mengangguk. “Kasus yang bikin Papa sampai stress dan nggak bisa tidur berhari-hari itu, kan?” Sang papa menjentikkan jarinya. “Exacly… akhirnya papa berhasil memenangkan kasus itu dipersidangan.” Dion melotot. “SERIUS?” “Iya.” “Padahal kemarin itu Papa juga sempat berencana mau mundur kan, sebagai kuasa hukumnya?” “Iya, tapi papa kemudian memutuskan untuk mengerahkan segenap kemampuan dan ternyata semua menemukan titik terang.” Dion tertawa. “Cieh… Ridwan Winata memang pengacara kondang yang tidak terkalahkan.” Sang papa tertawa karena pujian dengan nada mengejek itu. Pasangan ayah dan anak itu terlihat akrab dan sangat harmonis. Sekilas keduanya juga terlihat mirip. Dion terlihat seperti versi mudanya Ridwan. Mereka sangat unik karena sama-sama mempunyai dua lesung pipi yang membuat senyumnya serupa. Yang membedakannya hanyalah warna kulit saja. Sang papa berkulit sawo matang sedangkan Dion berkulit putih seperti mamanya. “Yaudah Papa mandi dulu deh. Aku udah siapin makan malam,” pungkas Dion. Ridwan mengangguk. “Wokkeh. Sampai ketemu di ruang makan.” Dion tergelak. “Mandi yang bersih Daddy.” tukasnya bercanda. Ridwan pun tertawa, lalu juga bergegas masuk ke dalam kamarnya. ** Dion dan Ridwan sedang menikmati makan malam mereka. Ridwan memuji sup tahu bening buatan Dion yang terasa menyegarkan. Keduanya menikmati santap makan malam seraya mengobrol. Saling menceritakan bagaimana hari mereka berlalu. Tapi malam ini sang papa yang cukup mendominasi. Ia masih berbangga hati karena berhasil memenangkan kasus yang cukup rumit dan nyaris membuat ia menyerah. Dion pun menyimak cerita itu dengan antusias dan sesekali juga memuji serta meledek sang papa. Ridwan Winata adalah seorang pengacara kondang yang memang sudah aral melintang. Karirnya melesat cemerlang. Ridwan juga semakin terkenal karena banyak orang-orang penting yang memakai jasanya. Seperti para pejabat, kaum elit, hingga dari kalangan selebritis. Wajahnya pun juga sering wara-wiri di media televisi. “Makanya… kamu sebaiknya juga jadi pengacara saja seperti papa,” pungkas Ridwan. Dion menggeleng cepat. “No! Aku nggak minat sama sekali dengan ilmu hukum yang bikin sakit kepala.” “Terus kamu mau tetap menekuni bidang desain interior?” “Tentu saja.” Dion menyeringai. Ridwan mengembuskan napas panjang. “Mimpi yang sangat kekinian sekali ya anak muda. Jaman papa dulu belum ada cita-cita yang seperti itu. Semua masih seragam, cita-citanya hanya berputar pada jadi guru, pilot, pengacara, dokter dan berbagai profesi umum lainnya.” Dion mengangguk. “Untung aku lahir di jaman sekarang.” Ridwan tergelak. Keadaan kemudian berubah hening. Cukup lama. Hingga kemudian Ridwan teringat sesuatu dan kembali menatap putranya itu. “Dion…,” panggilnya pelan. “Iya, Pa?” “Rumah baru kita sudah selesai dibangun satu bulan yang lalu, jadi sepertinya kita akan pindah ke sana dalam waktu dekat,” ucap Ridwan. Dion tertegun. Tapi kemudian ia tersenyum samar. “Hmmm. Iya, Pa.” Ridwan menatap putranya itu lekat-lekat. “Kenapa? Apa kamu mau tetap tinggal di rumah ini?” Hening. Dion agaknya kesulitan untuk menjawab pertanyaan itu. “Kalau kamu keberatan untuk pindah… kita tetap bisa tinggal di sini, kok,” pungkas Ridwan kemudian. Dion mendongakkan wajahnya. “Apa bisa seperti itu?” Ridwan tersenyum. “Tentu saja bisa.” “Lalu bagaimana dengan rumah barunya?” “Nanti papa akan membayar orang saja untuk menunggui rumah itu. Dan bila kamu ingin berkunjung, kita bisa ke sana.” “Bagaimana kalau kita huni saja keduanya?” Dion mencetuskan idenya. “Boleh juga. Bosan ke sana… kita ke sini. Iya, kan? Hahaha.” Ridwan tertawa. Dion mengangguk senang. “Iya, Pa. Walaupun rumah ini sudah semakin tua, tapi….” “Tapi sudah banyak kenangan yang tercipta di sini. Iya, kan?” tebak Ridwan. “Iya.” Ridwan mengerti akan keinginan Dion. Karena itulah dia tidak memaksa putranya itu untuk pindah dari kediaman yang masih mereka tempati itu. Padahal rencana awalnya, Ridwan akan menjual rumah lama itu ketika rumah baru mereka selesai dibangun. Tapi kemudian ia tahu bahwa Dion bersedih karena rencana itu. Dion tidak menentangnya. Dia juga tidak menolak rencana Ridwan secara langsung. Tapi raut wajah Dion yang murung berhari-hari itu membuat Ridwan peka. Esoknya dia mengatakan bahwa rencana itu dibatalkan. Ridwan tidak akan menjual rumah mereka dan barulah Dion kembali menjadi ceria. “Oh iya, Pa… Papa melupakan sesuatu, ya?” tanya Dion kemudian. Ridwan mengernyitkan dahi. “Sesuatu?” Dion mengangguk. Ridwan pun coba mengingat-ingat. Tapi tidak ada satu hal pun yang terlintas di ingatannya. “Besok adalah hari ulang tahunnya Mama,” tukas Dion. Deg. Ridwan tersentak dan buru-buru berkata. “M-maaf, papa benar-benar lupa.” Dion hanya tersenyum. “Kalau begitu besok kita nyekar ke makam mama, ya! Sepulang kamu sekolah saja,” ajak Ridwan kemudian. Dion mengangguk. “Iya, Pa… besok kita akan mengunjungi mama.” Keadaan setelah itu berubah sunyi dan lengang. Dion dan Ridwan tidak berbicara lagi. Ya, mama Dion sudah berpulang ke pangkuan yang maha kuasa sejak tiga tahun yang lalu. Sang mama didiagnosis menderita kanker darah sejak Dion masih duduk di bangku SD. Setelah itu hidupnya pun dihabiskan dengan bolak-balik ke rumah sakit untuk melakukan berbagai jenis perawatan. Cuci darah, pengambilan ini, itu, banyak sekali. Sampai akhirnya sang mama tidak mampu lagi bertahan. Duka kehilangan itu jelas mengubah kehidupan Dion dan juga Ridwan. Mereka kehilangan sosok malaikat yang selalu menemani hari-hari mereka. Kematian mama Dion mengubah semua lembaran hari bahagia menjadi duka yang tak mau pergi. Hingga detik ini Dion pun masih larut dalam rasa kehilangan. Semakin ia beranjak dewasa…. Semakin ia menyadari pula bahwa figur seorang ibu memang adalah berkat terbesar yang diberikan Tuhan kepada manusia. Dan sekarang Dion sudah kehilangan berkat itu. Meskipun setelahnya Ridwan sangat berusaha keras untuk menjadi orang tua tunggal yang baik untuk Dion, tapi tetap saja…. Figur seorang ibu memang tidak akan pernah bisa tergantikan. “Aaah… tanpa terasa sudah tiga tahun saja semenjak kepergian mama kamu,” ucap Ridwan lirih. “Hmmm…,” Dion hanya merespon singkat dengan tatapan mata yang menerawang. Tampaknya dia sedang dilamun oleh rasa rindu. Ridwan meneguk ludah, lalu kemudian kembali berkata. “Kalau semisalnya papa kembali menikah… bagaimana pendapat kamu?” Deg. Dion terkejut. Aliran napasnya pun langsung tertahan. “P-Papa mau menikah lagi?” Ridwan tertawa melihat Dion yang sudah syok. “Papa hanya bercanda.” Ridwan kini tertawa, sedangkan Dion masih merasa cemas. Sebuah pemikiran gila pun mulai mengusik kepalanya. Bagaimana jika suatu saat nanti sang papa benar-benar melakukannya? Bagaimana jika suatu hari nanti sang papa benar-benar memiliki keinginan untuk menikah lagi?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN