Tumpukan pakaian kini tampak menggunung di atas ranjang Rianti. Dia kewalahan mencari baju ganti, karena dirasa tidak ada yang cocok. Nasibnya sial sekali. Bajunya robek dan rianti rasanya sangat malu untuk menghadapi Dion kembali. Rianti nyaris mengosongkan isi lemarinya. Bukan nyaris, tapi benar-benar sudah kosong. Terlihat beberapa kecoak yang berlarian di dalam lemari kayu itu saat Rianti mengambil baju terakhir yang tergantung di sana.
“Hah… aku harus pake baju apa lagi?” desisnya.
Setelah bingung cukup lama, pilihan Rianti jatuh pada sebuah bajo kaos oversize warna hitam dengan gambar tengkorak di bagian depan dan belakangnya. Ia melengkapi penampilannya itu dengan celana jeans pendek di atas paha. Rianti sebelumnya tidak pernah percaya diri memakai celana seperti itu keluar rumah, tapi kali ini dia berani.
Dia ingin memamerkan asetnya kapada Dion. Kaki jenjang nan seksi itu pasti akan menarik perhatian Dion bukan?
Tak hanya berganti pakaian, Rianti juga memoles wajahnya kembali. Merapikan lipstick, menambah sedikit maskara dan juga merapikan rambutnya yang kusut karena berlari. Setelah itu Rianti terdiam.
“Kenapa si Dina bisa berkata seperti itu? Benar-benar menyebalkan. Apa mentang-mentang dia sudah punya pacar dan merasa sudah berpengalaman, makanya dia sok menggurui seperti itu? Cih… dia tidak tahu saja kalau alasan dia bisa mendapatkan Bagas adalah karena aku mengalah saat itu. Tapi sekarang… dia sombong sekali. Kepastian? Kenapa dia yang resah? Aku merasa nyaman-nyaman saja. Semua membutuhkan proses dan aku menikmati proses itu.” Rianti terus meracau seraya melihat bayangannya sendiri di cermin.
“Lihat saja… kali ini aku akan merajuk lebih lama. Aku akan membuat dia kesulitan. Walau bagaimana pun dia akan membujuk aku nanti, aku tetap akan diam. Aku diemin selama sehari saja dia sudah kalang kabut, tapi dia malah sok-sok an berkata seperti itu. Dia sudah mencari penyakitnya sendiri,” omel Rianti lagi.
Setelah selesai bersiap, Rianti bergegas pergi kembali keluar rumah. Tapi saat itu juga dia melihat sebuah mobil warna hitam berhenti di depan rumahnya. Rianti mengernyit. Mulaya Rianti sedikit was-was dan hampir berlari kembali masuk ke dalam rumah untuk bersembunyi. Tapi kemudian terlihat seorang lelaki dengan setelan jas turun dari mobil itu dan Rianti mengenalinya.
“Om Tio…!?”
Tio berjalan mendekat dan tersenyum ramah. “Halo Rianti.
“Halo, Om.” Rianti menyapa canggung.
“Dina-nya ada?” tanya Tio.
Rianti hendak menjawab seadanya tapi kemudian dia malah berbohong. “Dina pergi pacaran, Om.”
“Pacaran?”
Rianti mengangguk. “Iya. Akhir-akhir ini Dina agak sering main keluar. Paling kalo udah mau tidur aja dia pulang ke rumah.”
Tio tampak tersentak. “D-dia selalu main keluar?”
“Iya, Om. Aku juga nggak enak ngelarang-larang dia,” adu Rianti lagi.
“Sekolahnya bagaimana? Dina selalu masuk ke sekolah, kan?” selidik Tio lagi.
Rianti tersenyum. Memasang wajah takut-takut.
“Kenapa. Ayo katakan saja. Om tidak akan mengatakan pada Dina kalau kamu membicarakan dia,” bujuk Tio.
“Dina sering bolos, Om… dia tetap berangkat dari rumah dengan memakai seragam, tapi dia tidak muncul di sekolah,” jawab Rianti.
Tio menghela napas panjang. Walaupun hanya sebatas ayah sambung, tapi dia tulus peduli dan sudah menganggap Dina sebagai putrinya sendiri. Laporan yang diberikan oleh Rianti itu tentu membuat Tio menjadi cemas. Apalagi Dina sudah beranjak dewasa. Sedang berada di usia yang rentan. Jika tidak pandai-pandai menjaga anak gadis seusia Dina, mereka bisa saja terjerumus pada hal-hal yang buruk dan juga bisa membuat kesalahan.
Sedangkan Rianti… dia tidak merasa takut sama sekali karen sudah berbohong seperti itu. Rianti bisa berkata seenaknya karena ia tahu bahwa komunikasi antara Dina dan Tio sangatlah buruk. Dina jarang sekali mau mengangkat telepon dan juga membalas pesan papa sambungnya itu.
Itulah asalannya kenapa Rianti menjadi sangat tenang melancarkan kebohongannya. Dia ingin membuat Dina dibenci oleh sang papa sambung. Rianti selalu iri karena Dina memiliki ayah sambung yang baik dan perhatian seperti Tio. Intinya adalah… begitu banyak sisi kehidupan Dina yang ingin Rianti miliki.
Love and hate.
Cinta dan benci.
Rianti menyayangi Dina, tapi juga membencinya dengan waktu yang bersamaan.
“Apa ibu kamu ada di rumah?” tanya Tio lagi.
Rianti menggeleng. “Nggak ada, Om. Ibuk pergi ke pasar.”
Tio mengangguk-angguk. “Ah… om sudah susah payah menelepon Dina, tapi dia tidak pernah mengangkatnya. Om titip pesan saja sama kamu ya… suruh dia besok datang ke kantor om. Karena ada hal penting yang harus om bicarakan dengan dia.”
Rianti mengangguk. “Baik, Om. Nanti aku sampaikan.”
Tio kemudian mengeluarkan sebuah amplop warna cokelat dari kantongnya. “Om juga nitip ini, ya.”
Rianti mengambilnya. “Iya, Om.”
Setelahnya Tio kembali pergi. Mobil itu melaju dengan cepat, lalu menghilang di ujung jalan. Rianti memanjangkan lehernya sebentar untuk melihat. Memastikan jika mobil ayah sambung Dina itu sudah benar-benar pergi.
Rianti berdecak kesal. “Cih… dia nggak ngasih aku jajan lagi? Dasar pelit!”
Rianti menatap kesal pada amplop cokelat yang kini ada digenggamannya. Ia bermaksud untuk lanjut melangkah ke rumah Dion kembali.
Tapi kemudian…
Rianti tiba-tiba berbalik masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu. Dia langsung membuka amplop cokelat itu dan mengeluarkan isinya. Matanya membulat saat melihat uang pecahan seratus ribu rupiah yang terlihat licin dan keras itu. Rianti menghitungnya dan kemudian membelalak lagi.
“Gila! Satu juta rupiah? Bukannya om Tio memberi Dina jajan sekali seminggu? Jadi selama ini si Dina dapet jajan satu juta sebulan?”
Rianti benar-benar terperangah. Dia tidak menyangka jika jajan Dina sebanyak itu. Bagi Rianti, nominal itu sangatlah besar baginya. Sedangkan dia hanya diberikan jajan tiga puluh ribu rupiah setiap harinya oleh sang ibu. Malah lebih sering dua puluh ribu rupiah saja. Sedangkan Dina?
“Artinya dia bisa jajan lebih dari seratus ribu sehari dong?” pekik Rianti lagi.
Rianti merasa panas. Rasa iri, dengki dan cemburu dengan cepat menguasai hati. Selama ini Dina tidak pernah membahas tentang uang jajan yang diberikan oleh Tio. Selama ini Dina tetap dengan gayanya yang sederhana. Selalu membawa bekal makanan setiap harinya ke sekolah.
Rianti merasa tidak adil.
“Dia bahkan membawa masakan ibuk setiap hari ke sekolah.”
Tatapan mata Rianti terlihat penuh dengan bara amarah. Dia tidak terima. Dia merasa berhak atas uang yang diterima oleh Dina dari Tio. Karena Dina tinggal di rumahnya. Karena Dina menumpang hidup dengannya.
Entah setan apa yang sudah merasuki Rianti. Dia mengambil lima lembar uang itu dan menyembunyikannya ke dalam lemari pakaiannya, mengunci lemari itu dan juga menyembunyikan kuncinya.
“Ini tidak seberapa kok, dibandingkan dengan semua yang sudah ia dapatkan selama menumpang di rumah ini,” ucap Rianti lagi. Seraya memasukkan kembali uang itu ke dalam amplop-nya.
Rianti kemudian keluar dari kamar.
Tapi…
Dia kembali berpikir.
“Berarti selama ini uangnya sudah terkumpul cukup banyak dong? Kira-kira di mana dia meletakkannya?”
Rianti kembali masuk ke dalam kamar dan langsung memeriksa barang-barang milik Dina. Namun Rianti tidak menemukan apa-apa. Dia tidak menemukan uang di antara pakaian Dina yang terlipat rapi. Dia juga tidak melihat uang Dina di antara tumpukan bukunya.
“Tidak ada,” desis Rianyi.
Tapi kemudian tatapan Rianti tertuju pada ransel lama milik Dina yang tergantung di dinding. Ransel itu sudah tidak pernah Dina pakai lagi ke sekolah sejak Bagas membelikannya ransel yang baru.
Rianti menyipitkan mata. “Apa jangan-jangan di sana?”
Ia segera menurunkan ransel itu dan memeriksanya.
Benar saja.
Ada gulungan uang yang diikat dengan karet gelang di sana. Jumlahnya cukup banyak. Sepertinya itu adalah tabungan Dina dari uang yang rutin diberikan oleh Tio seperti ini.
“Dasar gadis licik. Kalau begini aku dan ibuk bisa miskin menghidupi dia. Sementara dia malah menimbun uang. Aaah… aku tidak menyangka dia selicik itu.”
Rianti kehilangan akal sehatnya. Dia membuka ikatan karet gelang itu. Mengambil beberapa lembar uang dari sana dan kemudian kembali meletakkan uang dan ransel itu ke tempatnya semula.
Rianti sudah mencuri.
Tak hanya sekali.
Tapi dua kali dalam waktu yang bersamaan.
Namun dia terus mencari pembenaran atas tindakan yang ia lakukan. Rianti membangun alasan-alasan yang pada akhirnya membuat dia merasa tidak bersalah sedikit pun sudah melakukan hal itu.
DIA MERASA BERHAK.
Dia bahkan merasa sudah kewajiban Dina untuk berbagi dengannya. Karena Dina menumpang hidup di rumahnya.
“Pantes dia diusir ama ibunya sendiri. Kelakuannya ternyata emang nyebelin,” oceh Rianti lagi.
Rianti agaknya sudah terlanjur sakit hati karena Dina sudah berani berkomentar tentang hubungannya dan Dion. Rianti lebih sakit hati lagi karena kini dia merasa gamang. Ucapan Dina tentang sebuah kepastian itu pun terus saja terngiang-ngiang di telinganya. Dan sekarang Rianti seakan menemukan alasan lain untuk marah.
Untuk melampiaskan kesal.
Setelah itu Rianti menatap bayangannya di cermin.
“Oke. Ayo kembali ke rumah Dion,” ucapnya kemudian.