Dion dan Dina sama-sama terkejut dengan kemunculan Bagas di ambang pintu. Bagas yang baru datang itu sedikit mendengar suara percakapan Dina dan Dion ketika ia melangkah. Tapi Bagas tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Bagas tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan.
“Apa yang sedang kalian bicarakan?” tanya Bagas.
Dina dan Dion sama-sama membeku. Padahal mereka sedang berdebat dengan sengit. Dion yang tadinya dilanda amarah berubah linglung. Dina yang tadinya murka kini juga tampak gugup.
“Ah… ini dia! Akhirnya lo nyampe juga. Gue baru aja minta Dina buat ngehubungin lo lagi. Tapi dia malah nggak mau. Jadi gue agak maksa dia,” tukas Dion kemudian.
Dina pun lekas mengangguk. “Haha. Iya. Dia nyinyir sekali menyuruh menghubungi kamu.
Kedua manusia itu kompak berdusta untuk mengamankan situasi.
Bagas akhirnya tersenyum. “Hahaha. Sorry ya… gue baru bisa pergi setelah kakek gue pergi dari rumah. Beliau soalnya jarang berkunjung. Jadi tadi orang tua gue wanti-wanti agar gue nggak pergi dulu.”
Dion mengangguk. Dia tersenyum, tapi masih terlihat canggung. “Tapi sekarang lo udah ada di sini, kan. Untunglah. Gue pikir tadi lo nggak jadi datang.”
“Mana mungkin gue nggak datang ke rumah baru lo ini.” Bagas mengedipkan matanya.
Kedua anak laki-laki itu pun tertawa dan masih berbasa-basi. Bagas memuji rumah baru Dion yang terlihat bagus dan mewah. Setelah itu obrolan mereka juga menyerempet pada pembahasan tim futsal mereka. Selagi mereka berdua asyik mengobrol, Dina pun memanfaatkan moment itu untuk menenangkan dirinya. Napasnya masih memburu. Semua persendian di tubuhnya bahkan masih terasa sangat lemas.
Hingga kemudian Bagas mengedarkan pandangannya, seperti menyadari sesuatu. “Oh iya, si Rianti mana?”
Dion tertawa. “Tadi itu ada sedikit insiden.”
“Insiden apa?” tanya Bagas.
“Bajunya robek dan sekarang dia pulang ke rumahnya untuk ganti pakaian dulu.”
Bagas melotot, lalu tertawa. “Beneran?”
“Iya.”
Bagas kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga Dion. “Terus lo ngeliat apa? TT-nya?”
Deg.
Pertanyaan Bagas itu langsung membuat sorot mata Dion berubah. Tapi kemudian dia juga tertawa.
Bagas lalu menghampiri Dina dan mengobrol sebentar dengan sang kekasih. Mereka berdua membelakangi Dion yang mulai lanjut menata buku-bukunya lagi
Dion menoleh perlahan, kini menatap tajam pada Bagas. Dia sangat benci dengan isi kepala laki-laki itu. Isi otak Bagas hanyalah s*x dan s*x saja. Kemarin malam Bagas juga mengajak Dion lagi untuk bersenang-senang. Tapi untunglah Dion bisa membuat alasan untuk menolaknya. Tapi itu bukanlah sebuah akhir. Bagas mengirimkan Dion foto-foto wanita yang sedang dimainkannya. Foto-foto tidak senonoh dan sangat tidak manusiawi.
Dion kemudian beralih menatap Dina. Dia merasa kasihan dan prihatin pada gadis itu. Dia memiliki keluarga yang kacau. Kekasihnya adalah seorang maniak s*x yang gi-la. Sahabatnya adalah toxic yang berkedok sebagai saudara.
“Haaaah.” Dion mengembuskan napas gusar.
Dan yang paling menyedihkan dari semua itu adalah… Dina juga seorang gadis yang keras kepala.
Tak lama berselang. Sosok Rianti pun akhirnya tiba. Bagas langsung meledeknya. Mereka perang mulut sebentar, membuat kehebohan di ruangan itu. Hingga kemudian Rianti mengeluarkan amplop cokelat dari kantong celana-nya, lalu memberikannya pada Dina.
Dina menatap bingung.
“Bokap lo tadi dateng ke rumah. Dia nitipin uang jajan buat lo,” tukasnya.
Dina mengambilnya. “Makasih.”
“Makanya tadi gue rada lama. Awalnya gue mau nelpon lo… atau minta lo pulang sebentar buat nemuin bokap lo. Tapi om Tio sedang buru-buru, jadi dia menitipkan itu saja dan langsung bergegas pergi,” jelas Rianti.
Dina menatapnya seperti orang d***u. Agak kaget karena kini Rianti sudah bersikap seperti biasanya. Seperti tidak ada masalah lagi.
“Aah. Jadi begitu,” tukas Dina.
Rianti mengangguk. Setelahnya dia kembali sibuk.
Waktu pun berlalu. Satu persatu barang-barang milik Dion kini sudah tertata rapi. Tumpukan dus yang tadinya menggunung kini sudah kosong semuanya. Menandakan bahwa pekerjaan mereka sudah hampir selesai.
“Lo langsung tidur di sini malam ini?” tanya Bagas.
Dion mengangguk. “Tentu saja.”
“Cieee… kamar baru,” ledek Rianti.
“Karena dateng telat, gue malah terkesan nggak banyak ngebantu. Sebagai gantinya gue bakalan pesanin makanan buat kalian,” tukas Bagas.
“JANGAN!” Dina langsung membantah.
Bagas terkejut. Dion dan Rianti pun juga langsung menatap ke arah Dina.
“I-ibuk sudah nyiapin makanan untuk kita semua,” ucap Dina kemudian.
Rianti menjentikkan jarinya. “Ah iya bener… gue juga lupa. Untung lo ingetin, Din!”
Dina masih agak kebingungan karena sikap Rianti. Tapi kemudian dia tidak mau ambil pusing. Malahan bagus jika Rianti sudah tidak merajuk lagi.
“Emmm… kalo gitu gue pesenin kopi aja, deh,” tukas Bagas.
“Tambahin pizza dong! Tetiba gue pengen pizza deh,” timpal Rianti.
Bagas mengangguk.
“Lo ada request sesuatu nggak?” Bagas menyikut Dion.
“Apa ya…” Dion berpikir sebentar. “Gue pengen yang seger-seger sih. Es dawet ada yang jual nggak ya?”
“Hahaha.” Bagas tertawa. “Ada kok. Tenang aja. Gue pesanin.”
Bagas kemudian beralih menatap Dina. “Kamu ada mau sesuatu, Din?”
Dina hanya menggeleng dan tersenyum tipis.
Kini pekerjaan mereka sudah selesai. Dion, Bagas dan Rianti duduk bersila di atas karpet bulu kecil yang dibentangkan di samping ranjang. Sementara dina kini berjalan-jalan di depan rak buku. Ia melihat-lihat buku yang ada di sana.
“Si kutu buku mulai beraksi tuh. Hati-hati nanti buku lo dirampok,” tukas Rianti.
“Hahaha. Rampok aja mana yang lo suka, Din!” timpal Dion kemudian.
Dina menoleh sebentar dan tersenyu. Tapi saat ia membelakangi mereka lagi, wajahnya langsung berubah hambar.
Dina tidak tahu kenapa. Rasanya hari ini terasa amat panjang dan melelahkan baginya. Rasanya terlalu banyak yang terjadi dalam waktu yang singkat sejak ia berada di rumah itu. Sekarang berharap cepat-cepat bisa pergi pun sudah tiada guna lagi. Dina tidak ada alasan untuk pergi, terlebih sang kekasih Bagas juga sudah bergabung bersama mereka.
Ketiga manusia di belakang Dina asyik mengobrol dan bercanda. Sementara Tatapan Dina kini tertuju pada sebuah buku yang terlihat usang. Buku dengan sampul warna merah itu menarik perhatiannya. Sebuah novel lama yang cukup legendaris.
Novel itu berjudul ‘Cinta Pertama’.
Dina tersenyum. Dia sudah lama mencari-cari novel itu. Dina tidak berhasil menemukan novel fisiknya walaupun sudah menjelajahi berbagai toko buku dan lapak-lapak penjual online. Alhasil akhirnya Dina hanya membaca versi e-book-nya saja. Tapi bagi Dina membaca buku dan membaca e-book memiliki atmosfir yang berbeda. Dina lebih suka membaca buku cetak.
Dina mengambil buku itu dan mulai membukanya. Tanpa sadar, Dina mulai membaca novel itu. Dia bahkan tidak lagi mendengar suara tiga manusia di belakangnya. Dina sudah terlempar ke dalam alur cerita dan terus membaca. Membalik halaman demi halaman itu sambil berdiri saja.
Hingga kemudian…
Selembar foto usang meluncur dari halaman yang baru saja dibalik oleh Dina.
Eh.
Dina mengernyit.
Foto itu kini menelungkup tepat di dekat kakinya.
Dina berjongkok sebentar untuk mengambilnya. Dia kemudian membalik foto itu. Terlihat potret seorang anak lelaki gendut dengan seorang gadis berambut panjang di sebelahnya. Mereka berdua sama-sama memakai seragam merah putih sekolah dasar.
Dina mengernyit, lalu sontak menatap Dion. “Apa ini potret dia sewaktu kecil, tapi siapa perempuan ini?”
Dina tergelak lagi melihat Dion yang semok dengan pipi bulat dan terlihat seperti tidak punya leher itu. Dina mengangguk samar. Sekali-kali bolehlah dia balas mengusili lelaki itu, lagipula tadi Dion sudah membuatnya kesal dengan percakapan yang super menjemukan.
Dina mengangguk lagi, lalu kemudian berbalik.
“Hei. Ini foto siapa, ya?” tanya Dina sambil mengangkat foto itu.
Eh.
“Foto apaan, Din?” tanya Rianti.
“Foto siapa?” sambung Bagas.
Dion malah mengernyitkan dahinya.
Dina tersenyum. “Sepertinya ini adalah foto Dion sewaktu SD. Dia berfoto bersama seorang gadis berambut panjang.”
Deg.
Saat itulah Dion langsung terhenyak.
Rianti langsung bangun dengan antusias. Dia ingin melihatnya. “Gue mau lihat, Din.”
Rianti berlari mendekati Dina, tapi saat akan mengambil foto itu, sebuah tangan lebih dulu merebutnya dari genggaman Dina dan dia adalah Dion.
Dina sedikit terkejut.
“Yaah. Liat dong! Gue mau liat,” rengek Rianti.
Bagas yang masih duduk di tempatnya ikut bersuara. “Ayo ambil Rianti! Terus liatin juga sama gue ke sini.”
“Dion sini fotonyaaa!” pinta Rianti.
Dion tidak menjawab. Dia malah menatap Dina dengan sorot mata yang sangat tajam. Kedua pangka gerahamnya bahkan terlihat bergesekan kuat. Suara helaan napas Dion berubah sesak. Wajar saja dia menjadi ketakutan seperti itu. Ada satu orang yang tidak boleh melihat potret gadis kecil di foto itu.
Ya, sosok gadis di sebelah Dion itu adalah Lani. Dan jika Bagas melihatnya… dia pasti akan langsung mengenalinya. Bagas pasti akan langsung tau bahwa itu Lani dan semua usaha Dion selama ini pun pasti akan berakhir dengan sia-sia.
“Diooon. Ayo dong! Gue mau liaaaaat…!” Rianti masih merengek.
Dion meremas foto itu kuat-kuat dan melangkah pergi dari kamar itu begitu saja. Membuat suasana menjadi begitu canggung.
Dina pun juga tertegun dengan sikap Dion itu. Padahal dia hanya berniat bercanda.
Sosok Rianti langsung menyusul mengejar Dion. Tapi Dina malah membeku tanpa suara dan masih bertanya-tanya.
“Kenapa dia terlihat sangat marah seperti itu?”
Sementara itu Dion bergegas menuruni anak tangga. Dia semakin mempercepat langkahnya saat sadar bahwa Rianti mengejarnya. Dion langsung masuk ke sebuah kamar di lantai bawah dan langsung mengunci pintunya.
Rianti coba ikut masuk.
Tapi…
Eh.
“Kenapa lo ngunci pintunya, sih?” teriak Rianti.
“Dion buka pintunya? Gue makin penasaran tau… emangnya foto kayak apa, sih… sampe lo ngumpet kayak gini?” tanya Rianti.
Rianti menggedor-gedor pintu itu dan terus berteriak. Tapi setelah cukup lama akhirnya dia menyerah dan kembali naik ke lantai atas dengan wajah cemberut.
Dan Dion yang bersandar di balik pintu itu pun mengembuskan napas panjang.
Dia kemudian melihat foto yang sudah kusut karena diremasnya kuat-kuat. Dion menatap nanar pada potret Lani yang tersenyum itu. Potret itu adalah kenang-kenangan ketika mereka mengikuti acara perpisahan ketika masih SD.
Dion kemudian memejamkan matanya. “Hampir saja… hampir saja aku ketahuan,” bisiknya lirih.